Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 8)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 8)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 8)
Oleh : Dyah Diputri

D untuk Diaz.
Jemari tangan Arum bergetar menyentuh ponsel Boy. Boy sengaja menyilakan Arum ke kamar jika tidak mau diganggu saat menelepon Diaz. Namun, sekalipun sudah berada di kamar Boy sendirian—karena Boy tidur di sofa ruang tengah—kegugupan Arum belum bisa dinetralisir. Melihat barisan nama yang sepanjang 200-an kontak telepon, refleks membuatnya pusing. Tulisan itu seolah-olah membesar dan mengecil, bertumpuk-tumpuk, juga berputar-putar. Padahal, sebenarnya pandangannyalah yang berkunang-kunang. Keringat dinginnya juga bermunculan.
Ayolah! D untuk Diaz!
Arum mencoba menyirnakan ketakutannya sendiri. Bagaimana hendak merebut hati Bu Andini, kalau kemampuan membacamu separah ini? rutuknya lagi.
Dua menit kemudian Arum berhasil menemukan namanya, tentu saja setelah menaik-turunkan layar berkali-kali. Baru dia sadari, Boy sengaja menyimpan kontak Diaz dengan huruf besar-besar agar Arum tak kesulitan mencari. Namun nyatanya, Arum butuh waktu lumayan lama untuk itu.
Ditekannya simbol gagang telepon, kemudian dia lekatkan ponsel ke pipi, telinganya mawas mendengar nada sambungan panggilan. Sejenak dia merasa bahagia karena akan mendengar suara Diaz setelah dua hari tak bertemu. Akan tetapi, selintas tanya melesat tak kalah cepat. Apa yang harus dia katakan kepada Diaz?
Rindukah?
Ngotot melawan Bu Andinikah?
Ataukah salam perpisahan?
Ah, Arum tak pernah siap untuk mengucapkan apa pun, setidaknya untuk saat ini. Perasaanya tercebur dilema. Menelepon Diaz pun akan sama menyakitkannya bagi pria itu. Meski tak begitu yakin kalau Diaz mengkhawatirkannya, tetapi Arum mengerti—posisi Diaz lebih sulit darinya.
Panggilan itu tak berujung sapa. Arum mematikannya, tepat saat Diaz hendak mengangkatnya. Kemudian, diselipkan ponsel Boy ke bawah bantal ketika ada panggilan balik dari Diaz.
Arum menggigit bibir, kecewa dengan dirinya sendiri.

***

Diaz memandang bangunan panti asuhan An-Naura itu dengan tatapan nanar. Di dalam mobil yang diparkir di seberang panti, dia termenung sendirian. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Terlalu malam untuk disebut jam pulang kantor. Kalau dia berbalik arah dan pulang ke rumah, mungkin orangtuanya sudah lelap terbawa mimpi. Namun, pria itu memutuskan untuk hening lebih lama lagi.
Dering telepon dari Boy—yang dia tahu adalah koki di restoran Arum—tak berhasil tersambung. Panggilan balik darinya juga tak diacuhkan. Apa mungkin Boy sedang bersama Arum? Apa mungkin Arum benar-benar kecewa dengannya dan mamanya, sehingga menghindar dan tak mau bicara dengannya? Pertanyaan-pertanyaan konyol itu menekan batinnya, mencetuskan rasa bersalah yang menjadi.
“Rum … aku rindu,” lirihnya.
Dua hari ini dia menyempatkan diri ke restoran, ke kontrakan Arum, hingga berhenti di panti asuhan itu. Namun, Arum seakan-akan menghilang tanpa jejak. Sungguh, dia ingin bertemu, memeluk dan meyakinkan semua akan baik-baik saja, juga membuat gadis itu tersenyum malu seperti biasanya.
Malam itu, sepulang dari rumah Arum, Diaz segera kembali ke rumahnya. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh mamanya, ada banyak kalimat yang harus mamanya tahu tentang hatinya. Tentang Arum dan harapan indah bersamanya.
“Arum itu murid Mama di Jepara dulu. Ingat, Mama pernah bilang punya murid paling lemot? Ya, Arum itu!” jelas Bu Andini.
“Ma, lalu apa hubungannya sama niat Diaz menikahi Arum?”
“Jelas ada, Diaz! Mau jadi apa kamu kalau nikah sama perempuan bodoh seperti dia? Sudah langganan tidak naik kelas, sikapnya juga aneh dan penyendiri. Dia itu bahkan tidak lulus ujian nasional!”
“Itu dulu, Ma!” Diaz tak sengaja menaikkan intonasi suaranya.
Pak Jaya berusaha menengahi perdebatan ibu-anak itu, tetapi pada akhirnya lebih penasaran dengan cerita baru yang didengar dari istrinya. Agak aneh juga kalau perempuan yang menurut Diaz sukses mengembangkan bisnis, masa lalunya justru punya nilai buruk di mata Bu Andini.
“Latar belakangnya bagaimana, Ma?” tanya Pak Jaya.
“Dia itu cuma tinggal berdua sama neneknya di Jepara. Neneknya jualan kue pesanan orang. Entah, dia itu kelelahan bantu neneknya atau bagaimana. Yang jelas, setelah pengumuman kelulusan waktu itu, anak bodoh itu hilang, nggak ada kabar, Pa!”
“Namanya Arum, Ma. Arum. Kenapa Mama selalu menyebutnya seperti itu?” Kuping Diaz panas rasanya.
“Terserah kamu nyebut apa, pokoknya Mama nggak bisa nerima dia sebagai mantu. Titik.” Bu Andini sama keras kepalanya dengan Diaz. Wajahnya tampak bersungut-sungut dengan raut kesal yang kentara.
Jika Arum dua hari tak pulang ke rumah kontrakannya, maka Diaz dua hari pula tak pulang ke rumahnya. Setelah mendengar ucapan Bu Andini yang tak masuk akalnya itu, dia memilih tidur di mobil yang ditepikan di depan rumah Arum—kemarin—dan di depan panti sekarang ini.
Lamunannya melayang ke masa pertemuan pertama dengan Arum. Diaz salah menerka Mila sebagai pemilik restoran saat akan mengucapkan terima kasih atas pelayanan restoran itu. Tanpa sengaja pula Arum berjalan ke arahnya dan mengangguk takzim sebelum Mila mengenalkannya.
Diaz jatuh hati sejak detik itu. Baginya, Arum serupa bunga matahari yang tidak menunjukkan wajah sebelum fajar menyapa. Namun, saat ia mekar, semangatnya mengalir tanpa sengaja ke orang-orang di sekitarnya. Cantiknya hanya bisa dirasakan oleh orang yang peka.
“Aku jujur saja. Aku belum pernah pacaran. Tapi aku menyukaimu. Aku serius untuk hubungan ini,” ucap Diaz saat menyatakan perasaannya, hanya beberapa hari setelah pertemuan pertama.
“Aku juga belum pernah pacaran. Dan aku juga menyukaimu. Entahlah, kenapa. Tapi orang bilang, cinta tidak butuh alasan, kan?” Arum menyambut niat baik Diaz. Dia percaya kata hatinya, bahwa niat baik hanya berasal dari orang yang baik, dan dia yakin Diaz adalah orang baik itu.
Meski jarang bertemu, apalagi melakukan kencan seperti pasangan berpacaran lainnya, tetapi hubungan mereka terbilang aman-aman saja. Rasa cinta dan percaya, itu saja kekuatannya.
Malam semakin beranjak larut. Diaz masih ada di dalam mobilnya. Sekali lagi dia meraih ponsel dan melakukan panggilan, berharap masih bisa tersambung dengan Arum, di mana pun gadis itu berada. Kalaupun gadis itu sudah tidak berada di dekat Boy, setidaknya dia bisa memberikan pesan cintanya lewat Boy.
Pada nada dering kelima, panggilan tersambung. Seketika hati Diaz berdebar kencang. Aku merindukanmu, Rum, batinnya.
“Halo.” Suara di seberang sana menyapa. Suara Boy.
Diaz kecewa. Bukan suara Arum yang didengarnya. “Tadinya kupikir Arum yang mau bicara denganku. Ternyata kamu,” ucapnya tak bersemangat. “Jadi, dia nggak sama kamu, ya?”
“Besok dia mau ketemu sama kamu. Panjaitan blok 4-D nomor sembilan belas. Rumah Bu Wanti.” Setelah mengatakan itu, Boy menutup telepon.
Wajah Diaz tampak berbinar. Lembut senyumnya tergurat jelas. Segera saja dia menghidupkan mesin mobil dan berbalik arah. Pulang. Ya, dia harus pulang untuk berganti pakaian. Arum menunggunya besok. Tak peduli apakah mamanya masih menekuk wajah dan tak memberi restu, cintanya berhak diperjuangkan.

Bersambung ….

 

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply