Judul: Vila Mawar
Karya: Isnani Tias
Dika, Anton, Ridho, Tika dan Dian–lima karyawan swasta–menghabiskan liburan akhir pekan di daerah berhawa sejuk dan dingin. Mereka melakukan perjalanan saat sore hari. Menjelang senja, dalam perjalanan tiba-tiba langit berubah warna menjadi hitam, kilatan putih memecah awan, diikuti suara yang menggelegar.
“Aahhh …!” teriak Tika sembari menutup telinga, matanya terpejam dan badan bak tersengat aliran listrik.
Seisi mobil terperenyak dibuatnya. Dian berusaha menenangkan Tika, tetapi tangisnya semakin pecah.
“Tenang, ya? Kita aman berada dalam mobil. Apalagi kalau ada aku, si ganteng seantero ini,” ujar Ridho seraya melirik dari kaca spion depan, karena dia sedang mengendalikan gagang bundar yang ada di depannya.
“Fokus saja menyetirnya, jangan ngegombal,” sahut Dian yang sedang merangkul bahu Tika.
Cuaca semakin tidak bersahabat. Air dari langit tumpah ke bumi dengan derasnya, itu menimbulkan kabut yang sangat pekat. Beruntung jalanan yang mereka lalui tidak terlalu berkelok-kelok, hanya sedikit menanjak.
“Kita terpaksa harus mencari penginapan dekat sini. Kabutnya tebal, hujan pula,” papar Ridho yang tetap fokus ke depan.
“Ok. Di sana sepertinya ada penduduk yang berkumpul di warung kopi,” telunjuk Dika mengarah ke depan, “kita bisa bertanya pada mereka.”
Laju mobil pun perlahan melambat dan berhenti tepat di depan warung yang dimaksud oleh Dika tadi. Dika bergegas turun dari mobil, lalu bertanya pada salah satu pelanggan warung itu. Setelah itu, dia kembali lagi masuk ke dalam mobil.
“Penuh semua vila ataupun losmen dekat sini, tapi hanya ada satu vila kosong namanya Vila Mawar yang letaknya di atas,” ujar Dika kepada teman-teman.
“Baik, tak masalah. Kita rehat di sana dulu saja,” ucap Ridho.
Mobil mereka melaju mengikuti pemandu yang mengetahui letak villa tersebut.
Lima belas menit berlalu, akhirnya mereka sampai ke Vila Mawar. Letaknya tersembunyi dari jalan raya, sepertinya jauh juga dari rumah penduduk. Mereka pun turun dari dalam mobil, dan mengedarkan pandangan sekitar. Berhubung minim penerangan dan bulan tertutup awan gelap, mereka agak samar-samar melihat pemandangan di sekitar, hanya papan nama bertuliskan Vila Mawar yang terlihat jelas.
Vila yang mereka jadikan tempat menginap bernuansa kuno. Seluruh bagian rumah berupa papan kayu jati, kecuali langit-langit. Salah satu dari kelima karyawan tersebut yang bernama Anton, merasakan sesuatu yang ganjil dari vila ini, tetapi dia memilih untuk diam. Khawatir teman-temannya ketakutan, khususnya Tika.
“Ini Kakek Karto, penjaga vila ini. Kalau sudah Bapak mau undur diri,” ucap pemandu tadi yang mengantarkan mereka.
“Iya, Pak. Terima kasih sudah mengantarkan kami,” jawab Dika seraya menyalami bapak tersebut dengan tiga lembar puluhan ribu rupiah.
Kakek Karto membukakan daun pintu vila yang selama dua puluh satu tahun dirawatnya. Mereka segera masuk, karena hawa dingin di luar menusuk-nusuk tulang.
“Silakan Mas, Mbak. Ini kamar-kamarnya yang bisa ditempati. Pesan saya, jangan membuka ruangan yang ada di belakang dekat dengan kolam renang itu, ya?” Tangan Kakek Karto menunjuk ke arah yang dimaksud. “Jika perlu apa-apa, Kakek berada di kamar kecil dekat dapur.”
Semua menganggukkan kepala dan meluncur ke kamar masing-masing untuk melepas lelah, setelah diberi penjelasan oleh Kakek Karto.
Malam semakin larut, kesunyian menyergap vila itu. Terdengar hanya suara binatang-binatang malam.
“Di-Dian, bangun. Aku mau pipis,” bisik Tika sembari menggoyang-goyang tubuh Dian.
“Hemmm … pergi sendiri sajalah.”
“Ayolah! Aku takut ke kamar mandi sendirian,” rengek Tika.
Mau tidak mau, akhirnya Dian bangkit dari tidurnya. Mereka berdua berjalan perlahan dengan bergandengan tangan, Dian merasakan telapak tangan Tika terasa dingin.
Cahaya ruang tengah dimatikan, hanya di dapur dan kamar mandi penerangan masih menyala.
“Di, jangan ditinggal, ya? Cuman bentar, kok,” pinta Tika.
“Tenang, tak akan kutinggal. Aku mau ke dapur ambil minum buat kita.”
Dian menuju dapur yang tidak jauh dari kamar mandi. Entah kenapa, leher Dian seolah-olah ada yang meniup. Padahal tidak ada angin yang masuk ke dapur. Dian pun merasakan bulu halusnya berdiri, hawa dingin semakin menusuk, bayangan putih tampak mengintip di luar jendela dapur. Dirinya menyadari ada yang mengintip dari arah jendela, ia pun melirik. Akan tetapi bayangan itu sudah menghilang. Dian langsung berlari menuju kamar mandi.
“Ti, Tika … masih lama? Ayo, dong, cepat keluar!”
Dian mengetuk pintu kamar mandi, tetapi tidak ada jawaban, hanya suara air dari dalam yang terdengar. Nama Tika dipanggilnya terus-menerus, tetap tidak ada jawaban. Akhirnya, ia memberanikan diri membuka pintu kamar mandi, ternyata tidak terkunci dari dalam. Dian tengok ke dalam kamar mandi, hasilnya nihil. Tubuhnya semakin dingin, dan bergetar ketika melihat sosok hitam besar berambut panjang sekali muncul di pojok pintu dapur yang terhubung dengan kolam renang.
“Aaarggg! Per-pergi-pergi, jangan ganggu aku!” jerit Dian histeris.
Keesokan harinya ….
Tika terbangun dengan mata setengah terpejam, lalu tangannya meraba-raba teman tidurnya, tetapi jemarinya hanya merasakan selimut yang kosong tanpa penghuninya. Seketika mata Tika terbuka lebar untuk memastikan teman tidurnya ada atau tidak di atas ranjang. Pandangannya pun berkeliling ke penjuru kamar.
“Dian … Dian kamu di mana sekarang?” teriak Tika sembari tangannya membuka kanopi pintu.
“Memangnya Dian ke mana?” tanya Ridho saat mendengar teriakan Tika.
“Kalau aku tahu, ngapain kupanggil-panggil Dian,” ketus Tika. “Bantuin mencari Dian, dong!
Kebetulan para cowok sudah bangun semua, sedang duduk santai di ruang tengah sambil nonton TV sembari menikmati teh hangat ditemani roti bakar yang tadi disajikan oleh Kakek Kardi.
“Sebenarnya dari semalam kita tiba di vila ini, perasaanku sudah tak enak,” ujar Anton
“Perasaan seperti apa yang kamu maksud itu, An?” sahut Dika penasaran.
“Sulit untuk dijelaskan, intinya vila ini mengandung aura mistis,” ungkap Anton.
Teman-teman Anton langsung memelototkan mata mereka, dengan ekspresi tercengang.
“Kalau gitu kita jangan diam saja, segera mencari Dian. Semoga tidak terjadi apa-apa,” ucap Ridho.
Mereka pun berpencar mencari sosok Dian di dalam dan luar vila.
“Diiaaan … Dian …!” teriak Anton sembari berlari ketika menemukan tubuh Dian tergeletak di dekat kolam renang.
Teriakan Anton terdengar oleh indra pendengar teman-temannya. Mereka langsung menuju sumber suara berasal.
Anton mengecek urat nadi Dian. Beruntung nadinya masih berdenyut, dengan segera Anton membangunkan Dian. Pemilik raga akhirnya tersadarkan juga, Anton membantunya untuk duduk.
“Aku di mana? Ada apa kalian berkumpul di sini semua?” tanya Dian yang kebingungan.
Tika langsung memeluk Dian, ia yang paling cemas ketika Dian tidak ada di sampingnya saat bangun tidur tadi.
“Kamu berada di dekat kolam renang. Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu tidur di luar?” tanya Dika penasaran.
Dian pun menjelaskan apa yang dialami semalam, dan dia sendiri juga tidak tahu sampai bisa tidur di dekat kolam renang.
“Semalam aku tidur terus sampai pagi, tidak terbangun, kok!” Penjelasan Tika membuat teman-temannya semakin bingung.
“Terus siapa, dong, yang bersama aku kemarin?”
“Aku jadi merinding. Ayo pergi dari sini,” pinta Tika yang mulai ketakutan.
Teman-temannya pun setuju dan bergegas masuk ke kamar masing untuk membereskan barang-barang mereka.
“Ayo, cepat!” seru Ridho yang sudah siap dulu.
“Tapi kita harus tunggu Kakek Karto dulu, tak sopan jika main pergi saja,” ujar Dika. “Kita tunggu di luar vila saja.”
Ketika mereka sudah di luar vila mau menuju ke mobil untuk meletakkan barang-barang, tetapi dibuat terkejut dengan dua ban depan tiba-tiba tanpa angin.
“Kalian semua tidak bisa keluar dari Vila Mawar ini.”
Suara itu membuat lima karyawan swasta tersebut terkejut, dan membalikkan badan mereka ke arah munculnya suara. Ternyata, Kakek Karto sudah memegang golok di tangan kanannya sambil mendekat dengan mata memerah. (*)
Sidoarjo, 18 Desember 2020.
Isnani Tias, seorang ibu dari dua bidadari cantik yang mulai belajar menulis.