Ide-Ide yang Berloncatan
Oleh: Lutfi Rosidah
Kau ingat saat pertama kali kita bertemu? Aku adalah gadis dengan dua pita di kedua kepang rambut, kaca mata tebal dan baju gombrong yang kupakai sekenanya, lengkap dengan sepatu boot yang warnanya sudah memudar. Sedangkan kau, seorang pemuda yang berambut klemis, berkemeja dengan dasi melingkar di leher, bersepatu pantofel dan–bagian ini tak pernah kukatakan padamu–berwajah tampan. Aku tak begitu tertarik dengan kehadiranmu yang tetiba duduk di seberang meja. Aku terlalu sibuk menenangkan ide-ide yang mulai berloncatan keluar dari lubang di kepala. Mereka riuh, bergantian berbisik bagaimana harus kugambarkan tokoh utama dalam novelku. Aku tersedak ketika satu dari mereka mengusulkan pria asing di depanku–kau–menjadi tokohnya.
Kupastikan saat itu kau bukan orang yang istimewa. Kau hanya menjadi salah satu makhluk yang sok akrab dan menggunakan kelebihan parasmu sebagai senjata pamungkas. Kau bertemu orang yang salah, Bung. Aku bahkan tak terkesan dengan kisah cintamu yang kau pamerkan di antara percakapan kita berikutnya.
Aku tak mengira jika di waktu mendatang, kau mengatakan: aku adalah gadis yang menarik perhatianmu pada pertemuan pertama kita. Kukira, itu hanya bualanmu untuk mendramatisir hubungan kita. Kau kira aku akan segera jatuh hati dengan sanjunganmu. Tapi kau salah sangka, bukan? Ternyata butuh kegigihan, usaha dan waktu yang cukup panjang untuk mendekatiku.
Kupikir kau sudah habis kesabaran setelah mendapatkan tujuh kali penolakan dariku. Usiaku memang sudah terlewat dua puluh enam tahun. Usia yang sudah sangat pantas, memulai sebuah hubungan lebih dari sekadar teman. Tapi kau tahu, aku tak pernah kesepian. Ide-ideku selalu berisik memenuhi meja di mana pun aku membuka buku catatan.
Kau menyebut dirimu pejuang tangguh. Baiklah, aku mengakuinya. Kau rela menemaniku mendengarkan ide-ideku yang cerewet hingga berjam-jam dan mengulanginya keesokan hari. Hingga aku benar-benar percaya padamu. Belakangan baru kutahu bahwa kalian–kau dan ideku–bersekongkol.
Kalian merencanakan siasat belakangku. Ideku terus saja menyebut namamu, sedang dirimu selalu saja muncul di setiap waktu.
“Bagaimana kepalamu bisa mengeluarkan ide begitu banyak?” Tanyamu di suatu saat, ketika aku sibuk merangkum ocehan ideku tentang kisah kita yang bakal dinovelkan.
“Mereka begitu saja keluar dari kepalaku, aku tak tahu bagaimana mereka beranak pinak di kepalaku.” Kau menoleh pada dua ide yang meloncat dari kepalaku.
Mereka dengan gerakan lamban menaiki pundakmu yang bidang. Sesaat kau mengangguk-angguk mendengar bisikan mereka.
“Mereka ingin aku menulis surat cinta untukmu,” ungkapmu, disertai tepuk tangan keduanya.
Hanya ide sederhana yang tanpa kausadari membuatku tersipu untuk ke sekian kali. Kau berhasil menyentuh bagian terdalam diriku.
Kau menjentikkan telunjukmu pada ideku yang paling kecil yang hanya diam menatapmu, tak bergabung dengan puluhan ide yang terus mengerubungi telingaku. Aku melotot melihat kelakuanmu. “Aku kagum pada mereka. Seperti tak pernah habis keluar dari kepalamu.”
Sebuah ide paling besarku berkacak pinggang. Dia meracau dengan mulutnya yang mungil. Kau tersenyum. Kau tahu? Ide itu membisikkan tentang sebuah kisah perebutan kekuasaan di sebuah negri. Ide besar yang mungkin tak akan bertahan lama. Keacuhan manusia yang membuat mereka mati, setelah beberapa pekan semua ide yang kutuangkan dalam sebuah artikel akan terlupakan dan mereka menguap tak berbekas.
Berbeda dengan ide yang berloncatan seperti serombongan bocah kembar identik di telapak tanganku. Mereka sangat berisik dan percaya diri. Mereka selalu tampak bersemangat. Itu hanya ide sederhana tentang naluri manusia. Tapi betapa banyak orang-orang yang suka membacanya. Kau akan tertawa jika kukatakan ide apa mereka. Lalu terbukti, ketika kau memandangku dengan mata sayu dan mengeratkan tubuhmu padaku usai kau membaca salinan ideku.
“Kau bisa segila itu, Sweety?”
“Seharusnya kau tahu dari awal.”
“Kau membuatku panas membaca salinan idemu. Ah! Aku tak ingin jauh darimu.”
Seperti yang selalu terjadi, kau akan merengkuhku setelah membacanya. Tangan kekarmu bisa berubah begitu lembut saat menyentuhku. Aku menyukainya. Perlakuanmu membuat ide-ide di kepalaku diam. Mereka seolah ikut terhanyut dalam nuansa romantis. Mulut mereka terbungkam bersama lumatan lembut bibirmu.
Aku berharap waktu berhenti berputar. Membiarkan segala ideku tenang di dalam kepala dan meletakkan pena dari tanganku.
Jika waktu sebelumnya aku menghabiskan malam di depan komputer, menuangkan ide-ide yang setia berloncatan dan terus berbisik di telingaku, sekarang aku tak sempat menghiraukan mereka. Kau akan menarikku ke dalam dekapanmu, membisikkan kata cinta, mengalahkan bisikan riuh mereka. Perlahan tapi pasti, ide-ide tak muncul lagi. Kepalaku tak lagi menghasilkan ide cemerlang.
Aku tak begitu peduli, hadirmu sudah lebih dari cukup. meski di waktu kemudian aku akan sangat merindukan mereka.
Aku terkesima, di saat usia kita menginjak kepala 5, tepat ketika aku menandatangani kontrak penulis pertamaku, kau datang melamarku. Sebentuk cincin bermata biru, kau sematkan di jari manisku.
“Jadilah pendamping hidupku, Sweety,” ucapmu sambil berjongkok di depanku
“Apakah ini belum terlambat?”
Aku tak peduli ketika sebuah ide melompat dan mendarat di dahimu. Kita mengacuhkannya. Detik itu hanya ada kau di pikiranku.
Aku tak ingat ada konsekuensi dari sebuah tanda tangan. Aku lupa meminta ide-ideku tinggal. Mereka terus berloncatan menjauhiku. Aku mengejar mereka, melewati lorong-lorong sunyi, jalan-jalan becek, hingga mereka menceburkan diri di antara ombak lautan.
Aku berteriak memanggil mereka kembali, aku tak akan berarti tanpa mereka. Tubuhku sudah terlalu renta, otakku sudah sudah terlalu lelah untuk melahirkan ide yang baru. Aku sudah terlalu lupa. Saat itu kau menggenggam tangaku, mengusap air mataku.
“Apakah aku tak cukup menggantikan mereka?”
Aku pasrah dalam pelukmu, membiarkan air laut membasahi kedua kaki renta kita.(*)
Lutfi Rosidah, keluarga adalah prioritasnya.