Punuk-Punuk Milik Mereka

Punuk-Punuk Milik Mereka

Punuk-Punuk Milik Mereka

Oleh : Ade Trias

 

Jika aku boleh memilih, sebenarnya aku ingin dilamar oleh seorang pria sederhana yang hangat dan ramah. Aku ingin memiliki pendamping yang santun dan menyenangkan, bukan dia yang bergelimang harta tapi dingin hatinya. Namun, apa hendak dikata. Perjodohan yang dilakukan oleh Ayah tidak dapat kutolak. Setelah aku pulang mengabdi—yang hanya dianggap buang-buang waktu—Ayah langsung menjalankan misinya. Aku hanya bisa memasrahkan diri kepada nasib.

Sore itu saat matahari mulai turun, Ibu masuk ke kamarku, membawa kotak berukuran sedang dengan pita emas melintang di atasnya. “Nanti malam pakai gaun ini, Ra, sekalian sama jilbabnya,” katanya seraya meletakkan kotak itu di meja. Ada banyak sekali rantai besar yang ikut melilit kotak, selang seling dengan pita yang cantik  

Aku menelan ludah, menatap ngeri ke gulungan rantai yang sesekali berwarna merah, terbakar api. Namun, aku tidak protes, hanya mengangguk, malas berdebat. Aku akan segera masuk ke dalam penjara, dengan rantai-rantai yang menjerat tangan dan kaki.

Dadaku berdegup kencang saat membuka kotak itu. Gaun cokelat terang dengan sehelai kain yang digunakan untuk membungkus rambut itu kuletakkan lagi. Aku sama sekali tak berniat mencobanya. Ular-ular yang membelit kainnya membuatku bergidik ngeri membayangkan tubuhku jika dibalut kain itu.

Matahari sudah hampir terlelap di peraduan saat Ibu memekik di pintu kamarku. “Ya ampun, Ra, kenapa pakai baju ini?” Ia histeris melihat penampilanku.

“Zahra nyaman pakai ini, Bu ” Kujawab sekenanya.

Ibu menggelengkan kepala. “Tidak pantas. Masa mau terima lamaran pakai baju kedodoran begini. Ganti!”

Lagi, aku hanya bisa pasrah. Kubiarkan Ibu berbuat sesukanya, memaksaku memakai baju kekecilan ini. Ular-ular segera merambat di sekujur tubuhku. Lidahnya yang bercabang menjulur ke mana-mana. Tubuhku dibelit sangat kuat hingga tak dapat bernapas.

“Bu, pashmina ini terlalu kecil. Biar Zahra pakai yang lebih lebar,” tawarku saat Ibu memasang kain di kepalaku.

“Tapi jelek, Ra, kamu kelihatan gendut.”

Aku menggeleng. “Zahra nggak mau keluar kalau pakai yang itu, malu,” kataku, menunjuk pashmina penuh ular di tangan Ibu.

Ibu menghela napas. “Ya sudah, terserah kamu saja.” Aku tahu Ibu tidak suka melihatku berpakaian lebar.

Suara mobil memasuki halaman depan terdengar. Tamunya sudah datang. Aku keluar, berniat membantu Ibu menyambut mereka yang sudah ditunggu.

Tamu-tamu itu sudah duduk rapi di kursi saat aku berniat mengantar suguhan. Dahiku berkerut. Banyak sekali punuk di dalam ruangan ini. Ukurannya besar, menonjol dengan sangat tinggi. Dari sekian banyak punuk yang ada di sini, punuk milik unta dengan baju biru terlihat paling besar. Dengan nampan yang berisi banyak gelas, aku kesulitan melewati punuk itu.

Saat unta-unta itu menoleh ke kanan dan ke kiri, punuk-punuk mereka ikut bergerak ke sana ke mari, bergoyang-goyang tak beraturan, membuat hiasan dinding berantakan. Aku sampai berpegangan pada lengan kursi karena tubuhku mengenai punuk terbesar milik unta berbaju biru.

Saat salah satu unta itu meminta izin untuk memakai toilet, aku mengantarnya. Ia berjalan anggun dengan punuk yang bergoyang-goyang. Dua unta lain menyusul, lalu yang terakhir, unta tua dengan punuk kecil, ikut meminta izin memakai toilet. Mereka menyerahkan tali panjang yang mengikat lehernya kepadaku, meminta agar aku menunjukkan arah.

Agak sulit menggiring unta-unta ini. Punuk yang besar membuat langkah kaki mereka menjadi lambat. Aku tidak bisa membuat mereka berjalan cepat karena punuk itu saling tabrak satu sama lain.

Aku bisa bernapas lega saat kawanan unta pulang bersama calon suamiku. Namun, rupanya semua baru saja dimulai. Sejak malam itu, aku jadi sering menggiring kawanan unta, memegang talinya, mengikuti mereka ke mana-mana. Kadang aku menggembala mereka di gedung mewah. Pernah pula aku menggiring mereka ke toko kue. Tapi yang paling sering, aku menggembalakan mereka di tengah mal. Unta-unta itu amat menyukai barang mewah. Punuk-punuk unta bergoyang tak henti-henti jika mereka melihat barang yang disukai.

Rantai emas yang mencengkeram pergelangan kaki dan tanganku makin kuat tiap matahari terbit, sementara kaitan di leherku semakin ketat saat matahari terbenam. Tingkah laku para unta semakin liar. Aku kewalahan menggembala mereka ke sana ke mari.

Saat matahari terbit untuk yang keseratus kali, rantai emas telah berhasil mengikat jantungku. Seekor unta mendekat, membimbingku duduk di depan kaca benggala yang bersinar. Aku menurut. Ia mulai mengubahku menjadi putih, seputih Putri Salju.

“Hentikan!” seruku saat unta itu mulai menyusun punuk untukku. “Aku tidak akan memiliki punuk.”

Unta itu tersenyum, tak memedulikan.

“Hentikan kubilang!” Aku mengiris punukku yang mulai tinggi, membuat unta itu histeris. “Biarkan punuk-punuk itu menjadi milik mereka, aku tidak akan memilikinya!” Aku tegas melawan, membuat si unta kebingungan.

Namun, saat aku tengah melanjutkan aksi mengiris punuk di kepala, kawanan unta menerobos masuk. Ibu berdiri, memimpin kawanan itu. Mereka semua menyeringai. “Selamat datang di kawanan kami, wahai unta baru.” (*)

 

Ade Trias adalah wanita kelahirang Pringsewu, 11 November 1991, yang gemar menuangkan imajinasi melalui rangkaian kata.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply