Naga di Kepala Ibu
Oleh : Ade Trias
Aku ingin sekali merebahkan diri di kasur. Aku juga ingin melepas kepala barang sejenak agar aku bisa memperbaikinya. Kepalaku rusak. Saat sedang digunakan, sering kali keluar asap tebal dari atas rambut, juga dari lubang telinga. Kepalaku pasti korsleting. Aku yakin itu.
Titik air yang turun dari langit menampar wajahku tanpa ampun. Aku mempercepat langkah agar tidak terlambat sampai di rumah. Aku harus bergegas jika tidak ingin bertemu naga. Sial, air-air ini malah menyerang dengan lebih brutal. Aku ingin berteduh, tapi takut bertemu naga, jadi aku terus berlari menerobos hujan.
“Kenapa bajumu basah, hah? Kau menambah pekerjaanku siang ini!” Ibu menyambutku di pintu. Seekor naga besar bergelung di lehernya. Ekornya melilit kaki, sedangkan bagian tubuhnya yang atas melilit kepala Ibu.
“Aku … aku ….”
“Anak bodoh! Dosa apa aku hingga memiliki anak idiot sepertimu!”
Naga itu menyemburkan api, tepat mengenai wajahku. Rasa panas segera menjalar ke seluruh tubuh. Aku menunduk, berusaha memasukkan wajah ke dalam kantong kemejaku yang basah. Berada di dalam kantong itu pasti lebih baik dari pada berdiri di sini. Kantong itu basah, aku bisa meredam panas dari mulut naga dengan kain basah.
Naga mendaratkan pukulan di kakiku. Ekornya menyabet dengan sangat keras. Pedih sekali rasanya. Aku sampai harus melindungi kakiku dengan tas.
“Ratna, cukup! Mau kau pukul sampai mati pun dia tidak akan mengerti!” teriak peri yang duduk di kursi roda. Sayap-sayap rapuhnya membawa kursi itu mendekat. “Apa yang akan kau lakukan? Dia menerobos hujan agar bisa pulang tepat waktu, agar kau tidak marah!”
“Saya minta maaf, Bu ….”
Aku berharap peri itu mengayunkan tongkatnya agar naga yang melilit tubuh Ibu pergi. Aku ingin peri itu membunuh naga besar itu. Bukannya melakukan apa yang kuharapkan, peri itu malah mengulurkan tangannya.
“Masuklah, Jo … ganti baju ya,” katanya lembut. Senyum yang merekah di bibirnya membuat matahari terbit dari belakang lemari besar, membuat ruangan yang tadinya gelap kini menjadi terang benderang. Hangat sinarnya membuat baju yang kukenakan mengering dengan sendirinya.
Aku suka sekali saat peri berhasil membuat matahari terbit dari tempat-tempat yang menakjubkan. Kadang matahari terbit di belakang lemari, seperti saat ini. Kadang matahari terbit dari balik kursi roda, kadang dari balik rak piring, atau belakang mesin cuci. Matahari juga pernah terbit di atas kompor yang menyala, membuat api membesar dan membakar seluruh dapur.
Saat itu, naga yang melilit Ibu langsung menyemburkan api dari mulutnya. Ekornya menyabet kaki, tangan, juga kepalaku. Aku babak belur. Untung saja peri segera datang dan menerbitkan kembali matahari yang telah gosong di atas kompor. Dia mengganti matahari gosong yang hitam legam itu dengan matahari baru yang masih kecil dan berwarna cerah kekuningan. Sungguh, di mana pun matahari terbit aku selalu menyukainya, tapi aku paling suka matahari yang terbit di balik punggung peri.
Naga itu selalu takut dengan matahari terbit, meskipun itu dari belakang lemari. Dia beringsut hendak pergi, tapi aku tahu kepalanya masih mengintipku dari balik punggung Ibu.
Peri itu masih menungguku saat aku selesai mengganti baju. Ia membimbing tanganku, membawaku terbang, lalu mendaratkan tubuhku di atas kursi empuk. “Makan yang banyak. Kau harus menghabiskan sup ini supaya tidak masuk angin.”
Peri yang sibuk ke sana ke mari membuat naga besar ciut nyali. Ia hanya mengintip dari celah kecil di samping lemari pendingin, tidak berani mendekat. Rasakan kau!
Sayap-sayap peri membawaku terbang lagi. Kali ini dia mendaratkanku di atas awan empuk yang nyaman sekali. Aku bisa merebahkan diri di sana, sembari meletakkan kepala di dekat sayapnya.
“Aku akan melepas kepalaku,” kataku pelan. Kuharap peri akan berbaik hati membenahi kepalaku yang rusak. Tidak ada tukang servis kepala sehebat peri. Setiap kali aku menyerahkan kepalaku yang rusak kepadanya, dalam waktu singkat peri itu akan memasangnya lagi dalam keadaan yang lebih baik.
Kepalaku sudah kembali dipasang saat seruan peri terdengar di luar kamar. “Kau tidak akan mendapatkan anak itu!”
“Tapi dia anakku, Bu! Aku juga berhak merawatnya. Aku bisa mencarikan Jonathan terapis terbaik di kota.”
“Selama istrimu tidak mau menandatangani perjanjian, aku tidak akan ….”
Ibu masuk, menutup pintu yang terbuka sedikit. Tidak ada naga yang melilit tubuhnya. Aku suka Ibu yang tidak dililit naga.
“Tidurlah, Jo.”
Aku menggeleng. Aku ingin berlama-lama menatap Ibu yang tidak dililit naga.
“Ibu minta maaf, Jo.”
Ibu bicara banyak sampai suaranya mendengung. Aku tidak bisa menangkap huruf yang terbang ke sana ke mari. Setiap mataku berhasil menangkap satu huruf, maka huruf itu akan segera lenyap, berganti dengan huruf lain. Saat itu, saat aku tengah berusaha menangkap huruf yang terbang ke sana ke mari, naga itu datang lagi. Kali ini dia melilit kepala Ibu. Tapi ada yang aneh! Naga itu tidak menyemburkan api. Dia hanya terus melilit kepala Ibu.
“Minum ini, Jo. Kita pergi bersama-sama, ya ….” Ibu membelai kepalaku, lalu menyodorkan mulut botol ke dalam mulutku. “Minumlah, Ibu juga akan minum setelahmu.”
Sekarang aku tahu kenapa naga suka menyemburkan api dari mulutnya. Dia pasti ingin mengeluarkan panas yang menjalar di lehernya. Aku juga mengeluarkan napas panas, tapi tidak ada api yang menjilat-jilat. Kukira Ibu akan menyemburkan api seperti yang biasanya dilakukan oleh naga, tapi mulutnya malah mengeluarkan busa. Mulut Ibu seperti mesin cuci yang mengeluarkan banyak gelembung dari tabung. Semakin dibuka, semakin banyak busa yang keluar. Mulutku juga mulai mengeluarkan busa. Busa yang keluar semakin banyak hingga aku tidak bisa lagi menahannya. Saat matahari terbit dari balik kursi roda yang digerakkan oleh sayap peri, mataku tertutup karena cahaya matahari yang terlalu silau. (*)
Ade Trias adalah wanita kelahirang Pringsewu, 11 November 1991, yang gemar menuangkan imajinasi melalui rangkaian kata.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata