Kado Terindah
Oleh: Lintang Ayu
Kupandangi sekali lagi wajahku di depan cermin. Rambut telah disisir, kumis serta cambang di rahang sudah dicukur bersih. Kemeja putih dan celana khaki warna hitam telah terpakai rapi. Tak lupa aku mengambil sepatu pantofel hitam di atas rak sepatu dan segera kukenakan.
Senyumanku mengembang saat melihat bayangan diri di depan cermin.
“Tampan,” gumamku.
Setelah memastikan penampilan telah sempurna, aku segera beranjak dari dalam kamar. Menuruni tangga, menuju ruang tengah tempat aku meletakkan buket bunga.
Ibu mungkin akan marah jika tahu bunga kesayangannya telah diambil tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Aku jadi membayangkan wajah cantik yang sudah mulai menua itu mengomel sepanjang hari karena kehilangan salah satu bunga kesayangannya.
“Maafkan anakmu yang tampan ini, Bu. Ini semua untuk Liez,” gumamku lirih sembari menciumi buket bunga hasil rangkaianku sendiri.
Bunga mawar putih sudah dalam genggaman, kotak kecil berisikan cincin berlian pun sudah aku taruh di tempat aman.
“Sempurna!”
“Liez, tunggu aku, Sayang,” ucapku. Kulihat jam di tangan sebelah kiri.
Sebentar lagi, pasti Liez sudah sampai. Aku harus bergegas, ucapku dalam hati.
Dengan langkah tergesa aku keluar dari dalam rumah.
***
Kakiku telah menginjak lobby Russel Caffe, dada berdetak dengan cepat, peluh pun mulai mengucur. Aku berjalan masuk dengan gelisah. Setelah setahun berlalu, di tempat ini, aku kembali lagi. Menemui gadis yang selalu mewarnai hari-hariku, Liez.
Kuambil kotak cincin berlian di dalam saku celana. Cincin yang telah lama Liez impikan. Mengenang waktu itu, membuatku tertawa, saat melihat wajah manyunnya. Ya, bukannya aku tidak peka, hanya saja, melihatnya merajuk itu menyenangkan sekali. Wajah cantiknya menjadi semakin menggemaskan.
Kalian tahu? Wajah semringahnya berubah menjadi muram seketika. Aku memang seusil itu padanya. Dia akan terus saja mengomel, dan aku pun dengan setia menerima setiap omelan serta cubitan manjanya.
Momentum seperti itulah yang aku rindukan. Liez Al Fajri, entah pelet apa yang telah dia berikan padaku. Sejak pertemuan pertama, Liez telah mencuri seluruh hatiku.
Kebersamaan kami selama beberapa tahun terakhir ini, sungguh membuat hidupku semakin berwarna. Gadis mungil bermata indah, berhidung mancung serta berlesung pipi yang menambah manis di setiap senyumannya.
Setelah mengantarkan Liez pulang, aku segera kembali ke toko perhiasan tadi dan langsung membeli cincin yang Liez pilih. Cincin yang akan aku sematkan dijari manisnya.
Hari ini sudah kurencanakan sejak lama. Tepat di hari ulang tahunnya aku akan memberikan kado terindah buat gadis berlesung pipi itu. Senyumku pun mengembang.
“Aku mencintaimu, Liez. Sampai kapan pun, walau maut memisahkan kita. Aku mau yang terbaik buat kamu. Tetaplah bahagia, Sayang,” doaku.
Dengan langkah pasti, kutapaki tangga menuju rooftop, tempat yang biasa kami tempati di setiap hari-hari spesial kami. Pandanganku mengedar mencari sosok yang selalu kurindukan.
Dadaku semakin bertalu saat melihat wajah cantik Liez tengah duduk memandangi langit. Aku berjalan mendekat ke arahnya.
“Gimana, Sayang? Indah, kan?” ucap seorang lelaki tampan yang duduk di depan Liez.
“Iya, Mas.” Liez menjawab disertai anggukan.
Aku masih terdiam di sudut ruangan. Aku hanya berjarak beberapa langkah saja dari meja mereka. Memperhatikan setiap gerak gerik dua insan di hadapanku itu.
Kulihat Dimas mengambil tangan Liez dan menggenggamnya. Kini pandangan gadisku beralih menatap wajah tampan lelaki itu. Bibir tipisnya mengembang, menampilkan senyuman nan manis.
“Sayang, selamat ulang tahun. Semoga panjang umur, selalu cantik, selalu tersenyum dan bisa mengikhlaskan semuanya,” ucap Dimas.
Kedua ibu jarinya mengelus lembut jemari Liez. Tatapannya penuh dengan cinta .
“Terima kasih, Mas Dimas,” ucap Liez.
“Ok! Sekarang sudah waktunya tiup lilin,” ucap Dimas.
Tak berapa lama, seorang pelayan datang membawakan kue ulang tahun yang cantik. Serta sebuket bunga mawar putih kesukaan Liez.
Happy birthday Liliez ….
Happy birthday Liliez ….
Happy birthday ….
Happy birthday …..
Sayang ….
Dengan penuh semangat, Dimas menyanyikan lagu ulang tahun untuk Liez. Di sudut lain, aku pun ikut menyanyikannya. Senyumnya masih mengembang, kedua tangannya ikut bertepuk tangan.
“Make a wish dulu, Sayang,” ucap Dimas.
Liez memejamkan mata beberapa saat. Setelah itu, ia meniup lilin berbentuk angka dua puluh lima di atas kue ulang tahun yang dihias dengan sangat indah.
“Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga kamu bahagia selalu, Amiin.”
Tepat pada saat aku mengucapkan doaku untuk Liez, lilin yang dia tiup padam.
Liez memotong kue dan menyuapkannya ke mulut Dimas. Lelaki jangkung itu segera membuka mulutnya. Dimas pun membalas dengan menyuapi gadisku.
Aura penuh kasih terpancar dari wajah mereka. Ada sedikit rongga di dalam dada ini menyaksikan dua insan saling pandang dengan penuh cinta.
Hatiku bagai disayat sembilu, saat melihat Liez mulai menitikkan air mata. Dimas segera mengusap butiran bening yang jatuh dari sudut mata indahnya.
“Kamu mengingatnya?” tanya Dimas.
Liez menggangguk, isaknya mulai terdengar.
“Ikhlaskan, Sayang. Dunia kalian sudah berbeda. Kamu harus tetap melanjutkan hidupmu,” ucap Dimas.
Badanku terasa kaku, bibir pun menjadi kelu. Aku tak pernah suka melihat Liez seperti itu, memendam cinta dan kepedihan secara bersamaan.
Aku ingin dia bahagia, ingin melihat senyuman selalu menghiasai wajah cantiknya.
Ada remasan kuat di dalam dada saat melihat kesedihan di mata indahnya.
“Liez, berikan kado terindah untuk dirimu sendiri, Sayang,” gumamku.
Liez mendongakkan kepala, menatap lembut ke dalam bola mata coklat milik Dimas, seakan mencari jawaban dari apa yang telah dicarinya selama ini.
Gadisku memejamkan mata kembali. Seakan mencari kekuatan di dalamnya. Ia mengembuskan napas panjang.
“Mas Dwi Bani Khalman, aku ikhlas melepasmu,” ucap Liez.
Tak jauh dari tempatku berdiri, cahaya putih bersinar terang. Perlahan tubuhku mulai menghilang.
Sebelum tubuh ini benar-benar pergi, aku melihat mereka berpelukan. Senyum pun mengembang. Akhirnya setelah tiga tahun kematianku, sekarang, tubuh ini bisa kembali dengan tenang.
“Jaga Liez, Dimas. Aku tahu kau mampu membahagiakannya,” ucapku sebelum tubuh ini benar-benar lenyap termakan cahaya putih itu. []
Lintang Ayu, ibu beranak dua yang sangat mencintai fiksimini.
Editor: Imas Hanifah N