Sungai Wah
Oleh: Diah Estu Asih
Sudah dua hari ini kampungku kedatangan bapak-bapak berseragam. Mereka datang dengan mobil dan beberapa menggunakan sepeda motor. Selain mereka, ada beberapa orang yang membawa kamera. Ilham bilang mereka adalah wartawan. Kerja mereka memfoto para polisi yang sedang melakukan penyelidikan. Penyelidikan yang dilakukan adalah mengenai Sungai Wah yang memakan korban lagi kali ini.
Aku hitung-hitung, sudah banyak sekali korban di sungai itu. Setiap tahun, saat musim hujan dan sungai mulai banjir, ada saja korbannya. Biasanya terjadi saat musim ikan juga. Kalau dalam setahun sungai tidak memakan korban, maka parit pun bisa menjadi pemakan korban lain. Pokoknya, selama aku tinggal di kampung ini, selalu ada orang meninggal di sungai, parit atau sawah. Kejadiannya bermacam-macam, dari yang masuk akal sampai tak bisa diterima akal.
Namun, baru kali ini polisi sampai datang. Biasanya warga desa melakukan eksekusi sendiri, lalu menguburkan mayatnya. Bahkan, korban yang mayatnya baru ketemu satu minggu kemudian pun warga desa ini melakukan pencarian sendiri. Semuanya secara bergantian masuk ke dalam sungai, meraba-raba dasar sungai dengan kayu dan kaki. Mereka bekerja dari pagi sampai pagi lagi, hingga mayatnya ditemukan.
Selama di sini, mayat itu yang paling membuatku merinding sampai sekarang. Saat itu masih musim menanam padi. Keluarga Pak Joyo menggarap sawah yang lokasinya di dekat sungai. Di zaman itu, pinggiran sungai masih dipenuhi pepohonan rimbun yang tidak begitu tinggi. Cabang-cabangnya meliuk di atas sungai, menarik sekali untuk dijadikan tempat bergelantungan. Narmi, anak Pak Joyo yang kemudian bergelantungan di pohon-pohon itu. Beberapa saat dia masih dalam pengawasan orang tuanya, tetapi tiba-tiba saja menghilang setelah orang tuanya mendengar suara berdebur air. Mereka yakin Narmi telah tenggelam.
Warga desa segera mencari di tempat Narmi bergelantungan sampai radius lima puluh meter dari titik lokasi. Rasanya tidak mungkin kalau Narmi terseret arus karena saat itu kondisi sungai masih tenang. Namun, sampai berhari-hari jasad Narmi tidak ditemukan. Warga sudah melakukan berbagai ritual, dari meminta bantuan tetua desa sampai memaggil orang pintar dari berbagai daerah. Mereka percaya bahwa Narmi disembunyikan oleh penunggu sungai. Benar saja, hari ketujuh pencarian, tepatnya setelah subuh, jasad Narmi mengambang di tempatnya bergelantungan. Masih utuh dan seperti mayat baru.
Setelah kejadian itu, pohon-pohon di dekat sungai langsung ditebang. Penebangan pohon itu menimbulkan kontroversi antarwarga. Ada yang bilang pohon itu dihuni oleh para kuntilanak dan jika ditebang, maka isi perut kuntilanak akan memenuhi pinggiran sungai. Itu lebih berbahaya. Namun, akhirnya pohon tetap ditebang karena takut kejadian meninggalnya Narmi akan terulang lagi.
Sementara itu, kejadian kali ini sungguh biasa saja. Seorang gadis SMA pulang sekolah melewati jalan di dekat sungai, lalu dibegal oleh seorang pemuda. Beritanya heboh tiga hari yang lalu saat orang tua gadis datang ke kampung ini dan mengatakan bahwa anaknya belum pulang. Kabar terakhir, gadis itu mengatakan akan pulang melalui jalan pintas di dekat Sungai Wah. Warga langsung beraksi begitu mendengar beritanya. Tetua tidak menunggu lama untuk melakukan ritual supaya mengetahui di mana lokasi gadis. Setelah ditemukan dan Tetua memberi arahan kepada warga, mereka beraksi melakukan pencarian. Gadis itu ditemukan di semak-semak dekat pinggir sungai dalam kondisi tidak berpakaian. Namun, pihak keluarga mencegah warga yang akan mengambil mayat itu.
“Ini harus ditindaklanjuti. Saya mau polisi yang menangani.” Begitu kata Ayah si gadis. Meskipun warga sudah mennyarankan agar langsung diambil saja, dia masih bersikeras memanggil polisi.
Semak-semak itu meninggalkan jejak yang cukup banyak saat aku datang melihat. Jasad si gadis dimasukkan ke dalam bungkus warna kuning dan dimasukkan ke dalam mobil, lalu dibawa pergi dari sana. Sekitar radius sepuluh meter dari jasad, polisi memasang batas warna kuning. Semua orang dilarang melewati batas itu.
“Rambutnya ke mana-mana. Ada yang di atas pohon sawit sama di tengah jalan,” kata Helmi berbisik.
Aku yang berdiri di sampingnya berusaha mengintip melalui celah orang-orang yang berkerumun. Helmi mempunyai tubuh lebih tinggi dan dia tadi sempat melihat dari jarak lebih dekat, makanya dia lebih tahu daripada aku.
“Bagaimana wajahnya, Hel?”
“Luka-luka. Kamu tahu bagaimana dia bisa sampai seperti itu?”
Aku menggeleng sebagai jawaban. Sudah sejak lama aku tidak main-main ke tempat ini. Aku hanya datang saat ada kejadian seperti sekarang. Penghuni kampungku pun juga melakukan hal yang sama. Kami semua telah nyaman dengan berdesakan di gubuk bekas pupuk orang China yang dulu berkebun di sini.
Warga desa mulai berbisik-bisik saat polisi tak kunjung meninggalkan lokasi. Mereka risih sekali dengan kehadiran bapak-bapak berseragam itu, juga orang-orang yang membawa kamera dan memfoto lokasi kejadian. Tetua desa pun tak banyak mengeluarkan pendapat. Ia terlihat begitu sungkan kepada para bapak berseragam dan orang pembawa kamera itu.
Hingga sore tiba, mereka baru meninggalkan lokasi. Aku mengikuti Helmi yang berjalan di belakang mereka. Mumpung masih terang, sebentar lagi kalau matahari mulai menampilkan warna jingga, suara jangkrik dan hewan-hewan aneh akan muncul. Saat seperti itu sungai ini akan sangat mengerikan.
Hari ini mereka bergerombol datang lagi. Aku dan Helmi mengikutinya lagi di belakang mereka. Polisi mendekati lokasi mayat si gadis, tidak lama kemudian semakin mendekat ke pinggiran sungai. Tetua desa langsung mendekat dengan berani.
“Banyak isi perut di sekitar pinggiran sungai ini, jangan mendekat,” katanya berbisik.
Polisi itu mengangguk sekilas, lalu tersenyum kecil, tapi wajahnya sedang terheran-heran. Polisi mulai melangkah semakin dekat ke sungai, lalu tetua itu mengingatkan lagi. Polisi hanya tersenyum lagi.
“Jangan masuk, Pak. Saat seperti ini sungai pantang disentuh manusia.”
“Saya hanya mau melihat sedikit, di sini banyak ikannya, ya?”
Aku dan Helmi langsung tertawa dibuatnya. Bapak berseragam yang sangat ngeyel. Helmi menyikut lenganku, lalu melirik ke pohon besar di belakang kami. Dengan isyarat mata aku suruh dia menaiki pohon, lalu dia menaikinya dengan gesit. Aku berdiri di bawahnya, lalu aku mengamati lagi polisi yang semakin masuk ke dalam sungai. Setelah saatnya tepat, aku langsung memberi isyarat pada Helmi.
Kekuatan Helmi membuat pohon bergerak seperti tertiup angin yang sangat besar. Semua perhatian langsung tertuju pada kami. Aku meminta Helmi melanjutkan sampai satu menit. Semua orang ribut dan kebingungan karena pohon-pohon lain tidak bergerak. Sementara di sungai sana, pusaran air mulai menggulung dengan tenang. Tubuh polisi itu mulai ditelan air perlahan, tapi dia tidak sadar. Begitu tersadar pastilah tubuhnya sudah tidak ada di permukaan. Dia terlambat meminta pertolongan. Setelah tubuh polisi itu menghilang, aku menyuruh Helmi berhenti. Bulu kuduk warga dan orang-orang berseragam serta pembawa kamera merinding semua. Aku dan Helmi tertawa.
“Mari pulang, itu korban terakhir tahun ini,” kata Helmi setelah turun dari pohon.
“Mereka bilang padamu?”
“Aku sempat mendengar pembicaraan mereka.”(*)
Lampung, 09 November 2020
Tentang penulis
Diah, perempuan penikmat kata dan rasa.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.