Antara Cinta dan Obsesi
Oleh: Ardhya Rahma
Suara gebrakan botol kecap di atas meja menghentikan obrolan riuhku bersama beberapa sahabat. Begitu kerasnya suara hantaman tersebut hingga mampu membungkam canda ria kami yang sedang melepas lelah sepulang kuliah. Bukan cuma kami yang terhenyak, tapi semua mata di warung bakso langganan memandang ke arah pria yang berdiri dan menuding gadis yang tadi duduk di sebelahnya.
Ternyata, sumber kehebohan ini adalah kedua orang tersebut. Saat ini, pria tersebut berdiri dengan tubuh tegang dan wajah memerah memendam amarah. Sepertinya dia lupa sedang berada di mana hingga membanting dengan keras botol kecap itu dan mengabaikan keberadaan kami teman-teman kuliahnya.
“Maksud kamu apa? Aku mahasiswa bodoh yang cuma ngandalkan jabatan bapaknya, hah?!” Randi bertanya penuh emosi pada Tiara yang menunduk.
Dengan terbata-bata Tiara menjawab, “Bu-bukan itu, Mas. Ta-tadi kan kita semua sedang berbicara tentang profesi orang tua masing-masing. Lantas kubilang Mas yang paling beruntung karena punya ayah seorang dekan.”
“Itu sama saja kamu bilang tanpa Bapak, aku enggak bisa kuliah karena bodoh,” sahut Randi kasar.
“Aku, aku tidak bermaksud seperti itu, Mas. Maafkan aku kalau kata-kataku tadi membuatmu marah.” Tiara terlihat panik berusaha meminta maaf dengan meraih tangan lelaki yang masih berdiri dan terlihat sangat emosi tersebut.
“Lain kali mikir dulu kalau ngomong! Rupanya otakmu butuh disegarkan!” Randi berlalu setelah menyiramkan segelas es teh di kepala Tiara.
Aku dan Sinta membekap mulut, kaget melihat ulah Randi. Toni dan Arman pun juga terperanjat. Kami sama-sama tak percaya Randi sanggup melakukan hal itu. Tidakkah dia sadar ulahnya telah mempermalukan Tiara?
Kami semua tertegun beberapa saat hingga isak tangis Tiara menyadarkan. Aku yang duduk di sebelah Tiara segera memeluk tubuhnya yang gemetaran karena syok. Aku mencoba menenangkannya. Kudengar suara Toni dan Arman memaki Randi, serta Sinta mencoba menenangkan mereka. Aku tahu mereka pasti marah melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, tapi fokus kami sekarang adalah menghibur Tiara. Baru beberapa saat kemudian dia mulai tenang dan mau meminum teh manis hangat yang dipesan Sinta.
Sejak awal aku tidak suka ketika melihat Randi berusaha mendekati Tiara. Randi kakak kelas kami, satu fakultas, tapi berbeda jurusan. Penampilannya yang keren membuat dia menjadi idaman para perempuan di kampus kami. Hal itulah yang membuatku heran ketika dia justru memilih Tiara sebagai kekasihnya. Bukan karena Tiara tidak pantas, justru sebaliknya. Mereka terlihat sempurna sebagai sebuah pasangan. Randi yang keren dengan Tiara yang manis dan lembut. Justru kesempurnaan yang membuat iri orang lain itulah yang membuatku tidak nyaman. Kesempurnaan yang hanya tampak di permukaan.
Sebagai sahabat, aku tidak suka melihat Randi yang selalu mengatur Tiara. Karakter Tiara yang penurut membuat dia mengikuti saja kemauan kekasihnya itu, meski merasa tidak nyaman. Hanya kami berempat; aku, Sinta, Toni, dan Arman, orang terdekatnya yang bisa melihat ketidaknyamanan tersebut.
Tiara bukan lagi dirinya ketika bersama Randi. Meski dia seorang pendiam dan selalu kalem dalam bertingkah laku, tapi keceriaannya tetap tampak ketika berkumpul dengan kami para sahabatnya. Berbeda ketika berada di dekat Randi, dia terlihat tidak bebas bersikap. Sayangnya seribu kali aku utarakan pendapat, dia selalu punya alasan menyanggahnya. Sinta bilang percuma menasihati orang jatuh cinta karena bagi mereka tai kucing berasa coklat.
Pendapat Sinta terbukti benar. Berapa kali pun Randi menyakiti hati Tiara dengan perkataannya, dia selalu mampu meluluhkan hati gadis tersebut dengan seikat bunga dan puisi. Lantas, mereka pun kembali berjalan bersama dengan mesra, seolah tak terjadi apa pun.
Saat ini pun sama, meski beberapa kali hati Tiara patah oleh kata-kata kasar Randi. Namun, baru sekarang ini perkataan kasarnya diikuti oleh kekerasan fisik. Meski tubuh Tiara tidak terluka, tapi aku tahu batinnya sangat terluka sudah dipermalukan sedemikian rupa. Aku berharap kali ini Tiara mau memutuskan jalinan kasih dengan Randi. Sayangnya, harapanku tidak terwujud. Gadis itu kembali memaafkan kekasihnya ketika Randi menghujaninya dengan kata-kata manis yang terselip pada beberapa buket bunga.
Bahkan hingga satu tahun kemudian, kisah kasih mereka masih diwarnai hal seperti itu. Tiara yang selalu memaafkan kesalahan apa pun yang diperbuat Randi. Sebaliknya, Randi selalu tak tahu malu terus mengulang kesalahan yang sama.
Aku sampai heran melihat kenaifan Tiara. Menasihatinya berulang kali pun percuma. Akhirnya, aku membiarkan apa pun yang dilakukannya dan mencoba tidak mendengarkan ketika dia mengeluhkan sikap Randi. Bukan tak peduli, tapi aku bosan menerima curahan hatinya. Apalagi dia sudah tahu sikapku atas hubungan mereka.
Hari ini kami diwisuda. Sejak berangkat dari indekos, Tiara sudah terlihat cemas. Dia khawatir Randi akan marah. Ada dua alasan yang membuatnya gelisah; dia tidak ingin dijemput dan memilih tidak mengenakan high heels yang dibelikan Randi.
Aku dan Tiara turun dari mobil yang membawa kami dan orang tua Tiara ke kampus. Terlihat halaman ballroom milik kampus sudah mulai dipenuhi para wisudawan dan wisudawati beserta orang tua masing-masing. Setelah berpamitan dengan orang tuanya, aku dan Tiara pun mulai mencari kelompok kami.
Tengah kami berjalan, mendadak sosok Randi menghalangi.
“Kamu kenapa ninggalkan aku?” tanyanya.
“Aku tak meninggalkanmu, Ran. Aku sudah bilang pergi bersama orang tuaku,” jawab Tiara dengan sabar.
“Kan, aku bisa jemput kalian,” sergah Randi.
“Orang tuaku bawa mobil, Ran. Lagi pula ada adikku dan Nadya. Pasti enggak cukup kalau naik mobilmu,” jawab Tiara kalem.
“Maksudmu, mobilku jelek?!” sergah Randi sambil melirikku tajam.
Sepertinya dia mengira akulah penyebab keputusan Tiara menolak dijemput. Aku pun balik menatapnya tajam, seolah menunjukkan tak takut intimidasi darinya.
“Aku enggak bilang mobilmu jelek, tapi mobil sedanmu memang tidak muat menampung kami.” Tiara mulai kelihatan tidak sabar menghadapi Randi.
“Lantas, kenapa kamu tidak pakai high heels hadiahku?” tuntut Randi.
Tiara sedikit gelagapan menjawab pertanyaan tersebut. “Sandal itu sempit. Kakiku sakit makinya untuk waktu lama. Apalagi aku berkebaya. Makanya aku pakai sandal lama ini biar lebih nyaman.”
Aku tahu Tiara sedikit berbohong. Sebenarnya high heels itu tidak sempit. Hanya saja, Tiara tidak nyaman mengenakannya ketika berkebaya. Daripada kakinya lecet dan dia tidak bisa berjalan ketika dipanggil, dia memilih mengenakan high heels lama. Melihat Randi tak percaya dan mulai marah, aku memutuskan untuk membantu menjauhkan Tiara.
“Sudah … sudah. Tuh, kami sudah dipanggil untuk berbaris. Sebaiknya kami segera ke sana.” Aku menarik tangan Tiara untuk mengajaknya berlalu.
“Oke. Setelah acara aku harus bicara denganmu, Tiara. Berdua saja!” sergahnya sambil menatapku tajam.
Hampir delapan bulan berlalu sejak itu. Aku yang sudah bekerja, sibuk dengan aktivitas baru. Begitu pula dengan para sahabatku. Komunikasi masih intens kami lakukan melalui chat WA maupun video call. Itu yang membuat kami semua tahu Tiara sudah bertunangan dengan Randi dan tidak mengundang.
Tiara bilang dia tidak mengundang karena tidak mengadakan pesta pertunangan. Acaranya mendadak, Randi melamar dan langsung minta bertunangan. Kami pun tidak mempermasalahkan, toh masih bisa diundang ke pesta perkawinan. Namun, aku segera menelepon Tiara karena mencemaskannya.
“Kamu benar-benar mau bertunangan dengannya?” tanyaku.
“Iya. Kenapa? Kamu tidak percaya? Perlu kufotokan cincin pertunanganku?” jawab Tiara dengan nada kesal.
“Bukan begitu, kamu jangan marah dulu. Aku percaya, kok. Sebagai sahabat, aku hanya ingin kamu bahagia.”
“Aku bahagia, bahkan sudah tak sabar menanti pernikahan kami beberapa bulan lagi,” sahut Tiara.
Pembicaraan kami berakhir, layar ponselku pun sudah padam, tapi entah mengapa masih ada rasa cemas yang terselip di hati. Mungkin karena kami pernah tinggal bersama selama empat tahun hingga aku hafal ketika Tiara menutupi sesuatu.
Aku hampir melupakan pembicaraan kami sampai seminggu kemudian ada telepon yang mengabarkan tentang seorang wanita bernama Tiara dibawa ke rumah sakit. Aku orang terakhir yang menghubunginya.
Dengan cemas aku bergegas menuju rumah sakit setelah izin dari kantor. Ternyata seseorang menghubungi 112 setelah melihat Tiara terkapar di parkiran sebuah restoran. Dari para saksi, dia terlihat bertengkar dengan seseorang dan dihajar, kemudian ditinggalkan tergeletak.
Polisi memberikan pertanyaan cukup banyak untuk mengorek keterangan. Dari para saksi, mereka hanya mendapatkan info sepotong-sepotong. Polisi hanya tahu Tiara dihajar oleh seorang lelaki tanpa tahu identitasnya. Meski hatiku berkata Randi yang telah menganiaya Tiara, tapi polisi tak perlu tahu, biarlah Tiara sendiri yang memastikannya.
Tiga hari kemudian Tiara dipindahkan ke kamar, itu pun setelah dia menjalani operasi hidung. Hidung patah, mata robek, dan empat gigi depan patah. Kondisinya yang babak belur, membuat orang tua sahabatku itu menangis pilu. Bahkan, ayahnya ingin menghajar lelaki tersebut kalau polisi sudah berhasil menangkapnya.
Sayang polisi belum bisa menangkap pelaku karena Tiara masih bungkam ketika diinterogasi. Alasan kesehatan yang membuat dia bisa menghindari pertanyaan tersebut. Namun, sebagai sahabatnya dan merasa kenal terduga pelaku, aku berusaha mengorek keterangan dari Tiara.
“Randi yang melakukannya, ‘kan?” tanyaku.
Tiara terdiam.
“Aku tahu Randi yang sudah menghajarmu. Jangan membohongiku,” desakku.
“Untuk apa kamu bertanya itu. Toh, sudah terjadi, tak perlu diungkit lagi,” sahut Tiara sedikit ketus.
“Justru aku akan terus mengungkit hingga kamu berkata jujur, ” tandasku.
“Untuk apa?” tanya Tiara.
“Agar kejadian ini tak terulang lagi. Aku ingin kamu bahagia dan tak mau kamu menderita seperti ini,” tegasku.
“Aku bahagia, kok. Aku hanya harus dihukum atas salahku. Tak perlu dibesar-besarkan,” sahut Tiara lagi.
“Jangan selalu membelanya. Kamu harus menjauh darinya!” pintaku.
“Aku tak bisa!” teriak Tiara. “Randi itu ibarat udara bagiku. Kalau aku menjauhinya. Aku akan sesak. Kehabisan udara. Aku hanya perlu menjaga sikap agar dia tak marah!”
“Mau sampai kapan?” tuntutku.
“Seterusnya. Seumur hidup. Kalau kamu sahabatku. Kamu harus mengerti bahwa Randi itu separuh jiwaku. Kami tak terpisahkan!”
Aku pun terdiam. Kehilangan kata-kata melihat Tiara tenggelam dalam lautan cinta yang salah.
Surabaya, 2020
Bionarasi
Ardhya Rahma, penulis novel Matahari untuk Aditya. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan travelling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor: Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.