Semoga Bertemu di Surga

Semoga Bertemu di Surga

Semoga Bertemu di Surga

Oleh: Ika Mulyani

 

Aku melihat jam beker di atas bantal. Masih ada satu jam sebelum masuk waktu magrib. Teringat kehebohan subuh tadi, kuambil buku agenda dari dalam laci di salah satu dari dua lemari kecil di kamar. Lemari itu tempatku menyimpan segala “harta karun”, termasuk buku agenda spesial ini. Buku tempat aku menulis apa saja. Seringnya curhat saat dihukum karena terlambat setor hafalan misalnya; atau sedih karena kehabisan makanan, dan ternyata masakan Ummi di rumah pun tandas. Kadang aku juga menulis puisi atau kata-kata bijak yang kudengar dari para ustaz.

“Nulis apaan, sih?” tanya Dodi–teman sekamarku–di hari Minggu lalu saat kami tengah menunggu waktu Duha. Dia terbahak setelah berhasil mengintip tulisanku. “Kayak perempuan aja nulis-nulis begituan,” ledeknya.

Aku tidak memedulikan ejekannya karena kejadian saat itu penting untuk ditulis dan suatu saat akan kutanyakan pada Abah atau Ummi. Waktu itu, aku menulis puisi tentang mimpi yang aneh. Bertemu seseorang yang aku tidak tahu siapa. Perempuan di dalam mimpi itu memanggil namaku dan tersenyum. Aku jarang sekali bertemu perempuan karena tinggal di kobong khusus santri laki-laki. Perempuan yang mengenalku di sini hanya Ummi, Fitri–guru di sekolah–dan teman sesama anggota kelas VIII-7. Aku yakin, perempuan dalam mimpi itu bukan salah satu dari guru di sekolah, apalagi teman sekelas.

Kali ini, aku menulis tentang kekonyolan hari ini.

Bener-bener malu-maluin. Kabar konyol itu langsung nyebar di seantero pondok. Pasti kerjaan si Dodi, nih. Eh, astaghfirullah, enggak boleh suuzhon. Padahal waktu dia ngalamin gitu juga, santri lain enggak seheboh ini. Emang susah jadi orang ngetop. Haha.

Belum selesai menulis, terdengar seruan Amran dari luar.

“Badar! Dipanggil Abah, tuh! Cepetan, udah ditungguin di rumah!”

“Ya!” sahutku sambil menutup buku dan kembali memasukkannya ke dalam laci. Tidak lupa kukunci laci itu dengan anak kunci yang tergantung di gelang tasbih dan tidak pernah lepas dari pergelangan tangan.

Aku segera keluar kamar dan berjalan ke rumah yang jaraknya lumayan jauh. Rumah itu ada di ujung selatan area pondok yang cukup luas ini, sedangkan deretan kamar santri ada di ujung utara.

Setelah mengucap salam sambil mengetuk pintu depan yang setengah terbuka, aku langsung masuk. Abah dan Ummi terlihat duduk berdampingan di sofa.

Wah, ada Ummi juga. Serius, nih, gelagatnya, batinku sambil mengingat-ingat kesalahan besar apa yang telah kuperbuat. Keringat dingin mulai membasahi tengkuk.

“Duduk di sini, Bad!” perintah Abah sambil menunjuk sofa di sebelah kirinya.

Aneh, nih. Biasanya, kan, aku duduk diapit Abah sama Ummi? Kenapa sekarang aku disuruh duduk di sini? Kuhempaskan tubuh di sofa sementara batin bertanya-tanya.

Kupandangi Ummi, berusaha menyuarakan pertanyaan lewat tatapan. Ada apa, Mi?

Ummi hanya tersenyum, lalu segera menundukkan kepalanya.

Makin aneh, nih!

“Ada apa, Bah?” Aku mulai tidak sabar dengan segala ketidakwajaran ini.

Abah berdeham dan mulai bicara. “Abah dengar, sebelum Subuh ada ribut-ribut di kobong.”

Duh, udah sampai sini aja kabar konyol itu ternyata. Sial! Eh, astaghfirullah. Siapa, nih, yang ngember? Pekikku dalam hati.

“Ribut apa, Bah? Biasa, atuh, kalo ribut antri kamar mandi, mah. Emang suka becanda mereka semua,” tukasku sambil menunduk, menyembunyikan pipi yang terasa panas. Pasti mukaku merah.

Menjelang subuh tadi, seperti biasa, para santri bergerombol di depan deretan lima kamar mandi di belakang area pondok untuk mengantri mandi.

“Woy, si Badar ngompol, nih!” seru Dodi tiba-tiba, sambil tertawa dan menunjuk celanaku.

“Apaan, sih!” sergahku seraya berbalik memunggungi semua orang, mencoba menutupi bagian depan celana yang sedikit basah.

“Jangan lupa, nanti jemur kasurnya!” Dodi kembali mengejek.

Asem, batinku kesal. Eh, astaghfirullah! Duh, siapa, sih nih di dalem? Lama banget!

Tiba-tiba Amran sudah ada di sampingku dan mengendus-enduskan hidung. Sudah semacam anjing pelacak saja, membuatku risih.

“Eh, tapi, kok, enggak bau pesing? Ini mah baunya …. Wah, si Badar abis mimpi indah, nih!” Amran berseru disambut riuh oleh seruan yang lain.

Beruntung pintu kamar mandi di hadapanku terbuka hingga aku bisa segera masuk, sebelum nasibku seperti Asep dua minggu lalu. Dia ramai-ramai digotong dan diceburkan ke dalam kobak–kolam besar yang ada di belakang madrasah–setelah kedapatan mimpi junub untuk pertama kali.

“Badar! Kok, malah ngelamun?” Teguran Abah membuat lamunanku buyar.

“Eh, i-iya, Bah.”

“Tadi Kang Udin cerita sama Abah.”

Aku menghela napas lega. Oh, Kang Udin yang bilang sama Abah. Biarin, deh, kalo dia, mah.

Sebagai lurah pondok, Kang Udin memang harus melaporkan segala kejadian yang dianggap penting. Tentu saja kehebohan tadi termasuk kejadian penting bagi Abah. Mengingat mimpiku semalam–yang terasa nyata–aku jadi meringis.

“Kamu udah paham kan, rukun-rukun mandi junub, seperti yang pernah Abah sampaikan?”

Aku mengangguk.

“Bagus.”

Abah terlihat menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Ada hal penting yang harus Abah sampaikan.”

Ummi meraih tangan Abah dan menggenggamnya erat sekali. Mata perempuan terkasih itu tampak berkaca. Ummi lalu menunduk lagi, seperti menghindari pandanganku.

Duh, ada apaan, sih, ini? Aku benar-benar takut sekarang.

“Hal penting apa, Bah? Badar bikin salah apa?” Aku tidak tahan untuk tidak bertanya.

Namun, Abah tidak terlihat marah. Biasanya dia tidak suka bila ada yang menyela perkataannya. Abah malah berdeham, sepertinya kali ini ayahku yang pintar berceramah itu, kesulitan untuk menyusun kata-kata.

“Gini, eu … kalau kamu mau, jika sudah dewasa nanti, kamu bisa nikah sama … Fitri.”

“Nikah? Sama Fitri?” Aku tergelak. “Abah becanda, ya? Badar baru juga empat belas tahun. Lagian, mana boleh nikah sama adik sendiri? Haram, atuh, Bah.”

Aku menghentikan tawa geliku karena wajah Abah tetap terlihat serius.

“Bah?”

Abah mengangguk.

“Ummi?”

Ummi terlihat semakin menundukkan kepala. Kini tangannya menyusut sudut mata dan terdengar suara isakan.

Ummi nangis?

Kuulurkan tangan untuk menggenggam jemari Ummi. Aku paling tidak tahan melihat ibuku menangis. Namun, Abah segera meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Isakan Ummi berubah menjadi sedu sedan.

Tiba-tiba sebuah kesadaran muncul di benakku. Otakku–yang menurut Abah dan Kang Udin cerdas–mulai menganalisa.

Setahuku, bila misalnya Ummi adalah … ibu tiriku, kami masih mahrom. Jika Fitri adalah adikku satu ayah, aku tidak boleh menikahinya. Kalau aku boleh menikahi Fitri dan Ummi tidak bersedia kusentuh, berarti aku ….

“Abah, a-aku bukan anak Um-mi? Berarti b-bukan anak A-bah juga?”

Aku tercekat saat Abah perlahan mengangguk. Genggaman tangannya terasa semakin kencang.

“Terus, Badar anak siapa, Bah?” Susah payah aku berbicara. Suaraku serak, tetesan air mata berjatuhan dengan deras.

Kutarik tangan dari genggaman Abah. Kubenamkan wajah di pangkuan dan menangis sesenggukan. Sarung yang kupakai basah oleh air mata dan cairan hidung. Aku tidak peduli.

Aku besar di lingkungan pondok milik Abah ini, disirami oleh kasih sayang dari Abah dan Ummi. Ummi yang mengajariku membaca dan menulis, sedangkan Abah menuntunku saat belajar salat dan mengaji. Ummi yang menemaniku tidur saat aku kecil dulu dan menyuapi bila aku sakit dan tidak mau makan. Abah yang mengajariku naik sepeda. Abah selalu menyemangati saat aku kesulitan menerbangkan layang-layang.

Saat aku berumur dua belas tahun, baru Abah memintaku untuk tinggal di kobong bersama para santri.

“Kamu laki-laki, harus mulai belajar untuk mandiri.” Begitu kata Abah waktu itu.

“Tiap hari Jumat, Ummi akan masak makanan kesukaanmu. Kamu boleh makan di rumah sepuasnya.” Ummi membujuk.

Abah selalu membanggakanku kepada semua orang dan tamu yang datang. “Ini, nih. Badar anak bujang Abah. Anak sholeh!”

Mengingat itu semua, aku kembali tersedu. Kudengar isakan Ummi pun semakin kuat. Abah meraih dan mengangkat bahuku dengan lembut.

“Badar, dengarkan Abah, Nak.” Diusapnya pipiku yang basah. “Dengar cerita Abah, ya.”

Aku mengangguk. Abah pun mulai bercerita dan aku menyimak dalam diam. Sesekali terdengar tarikan panjang napas Ummi.

“Dua puluh tahun lalu, Darma–teman Abah nyantri dulu–mengantarkan anak perempuannya ke pondok pesantren ini. Siti nama anak itu. Dia ingin mengabdi pada Abah dan Ummi sambil belajar ilmu agama. Gadis itu bersedia menjadi asisten rumah tangga, dengan imbalan dijadikan sebagai murid Ummi.”

Abah memang hanya menerima santri laki-laki, tetapi setiap sore banyak anak perempuan yang belajar mengaji bersama Ummi. Ruang tengah rumah berubah menjadi ruang kelas yang cukup ramai.

“Selama tiga puluh menit sampai satu jam di setiap selesai salat Duha dan Asar, Siti asyik menyimak Ummi membahas fiqih wanita, sejarah Islam, atau hadits pilihan.”

“Usia Siti baru sembilan belas tahun waktu Usman–salah seorang santri Abah–melamarnya lima tahun kemudian. Pernikahan diselenggarakan di lingkungan pondok pesantren secara sederhana, sesuai permintaan Siti.”

“Setelah menikah, Usman dan Siti tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari pondok. Di siang hari, Siti masih menjadi asisten rumah tangga di rumah kita, dan tetap berguru pada Ummi.”

Abah terlihat menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

“Setahun kemudian, ketika Siti hamil tujuh bulan, Usman … berpulang. Sepeda motornya tertabrak bus dan jatuh ke jurang.”

Suara Abah terdengar agak serak dan Ummi menyusutkan air matanya.

“Siti dirundung kesedihan yang teramat dalam. Dia menyusul kepergian suaminya, sesaat setelah melahirkan bayi laki-laki mereka.”

Abah lalu tersenyum saat berucap, “Bayi laki-laki itu adalah kamu, Nak.”

Abah sudah sampai di akhir kisahnya. Aku menarik napas panjang. Air mataku kembali menggenang.

“Kami sudah menikah selama sepuluh tahun waktu itu, tapi Allah masih belum memberikan kami keturunan.” Ummi bertutur dengan suaranya yang lembut. “Kakekmu mengizinkan kami untuk merawatmu. Lima tahun kemudian, Ummi akhirnya hamil, dan lahirlah Fitri. Kami sangat menyayangi kalian berdua, tapi ….”

“Tapi, ada hukum syariat yang harus ditegakkan,” lanjut Abah. “Seberapa besar pun rasa sayang kami padamu, kami tetaplah bukan orang tua kandungmu.”

Aku tergugu.

“Sekarang, kamu sudah aqil baligh. Ummi dan Fitri–nanti saat dia sudah aqil baligh juga–bukanlah muhrimmu. Kamu harus jaga pandanganmu.”

Aku menunduk.

“Kelak kalau kamu mau dan Fitri bersedia, kalian boleh menikah.”

***

Aku mengurung diri di kamar, tidak berangkat ke sekolah, dan absen dari semua kegiatan pondok, termasuk salat berjamaah. Aku tidak merasa lapar dan tidak ingin makan. Aku juga puasa bicara.Hal ini membuat Dodi terlihat serba salah. Belasan puisi kutuliskan untuk menumpahkan semua rasa yang membuat hati sesak.

Pukul 10 pagi di hari ketiga, Kang Udin mengetuk pintu–yang tidak bisa dikunci–dan menyodorkan rantang berisi makanan dan sebotol teh hangat.

“Ini dari Ummi. Kata Abah harus dimakan. Nanti kamu sakit,” ucap Kang Udin dan segera berlalu.

Aromanya sedap sekali dan perutku tiba-tiba berbunyi. Aku pun membuka tutup rantang dua susun itu. Makanan kesukaanku ada di dalamnya; ikan lele goreng, tumis kangkung, pepes tahu, dan sambal terasi. Tidak tahan, aku memakannya sampai habis. Tiba-tiba terdengar suara Abah mengucap salam dan wajahnya yang teduh muncul dari balik pintu. Matanya melirik rantang yang sudah kosong dan botol yang menyisakan sedikit teh.

“Alhamdulillah. Ummi pasti senang masakannya dimakan,” ucap Abah sambil tersenyum.

Aku balas tersenyum malu.

“Kalau marah, enggak boleh lebih dari tiga hari. Yuk, ikut Abah!”

“Badar enggak marah, Bah. Cuma ….”

“Iya. Abah ngerti. Yuk!”

“Ke mana, Bah?”

“Ayo, ikut aja!”

Ternyata Abah membawaku ke kompleks pemakaman dan berhenti di depan dua buah makam yang berdampingan. Di batu nisannya tertulis “Usman bin Ismail” dan “Siti Aminah binti Darmadi’. Tahun meninggal keduanya sama, hanya berbeda bulan.

Mungkinkah ini makam …. Aku menatap Abah dan dia mengangguk.

“Ini makam ayah dan ibumu,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku terduduk. Badanku mendadak terasa lemas. Abah pun ikut duduk di sampingku. Diusapnya salah satu batu nisan.

“Assalamu’alaikum Usman, Siti. Aku bawa anak bujang kalian. Anak yang sholeh, pintar, rajin, dan baik.”

Mataku basah.

“Ayo, Badar. Pimpin doa buat orang tuamu. Abah ngaminin aja.”

Aku pun melantunkan doa tahlil dengan penuh perasaan. Kubaca juga Surat Yasin dan Al-Mulk dengan terbata. Suaraku serak, air mata tidak berhenti mengalir. Tiba-tiba, aku merasakan rindu yang amat sangat. Ingin sekali aku melihat wajah Ayah dan Ibu. Semoga Abah dan Ummi menyimpan potret mereka.

“Ayah, Ibu, ini anakmu. Moga alam kubur Ayah dan Ibu lapang dan terang. Badar janji jadi anak yang baik. Moga kita bisa bertemu di surga nanti. Tunggu Badar, ya.”

Terakhir, kulantunkan doa untuk kedua orang tua yang biasanya kumaksudkan untuk mendoakan Abah dan Ummi. Kini, kuminta kebaikan untuk keempat orang tuaku itu. Selesai berdoa, Abah menyodorkan selembar foto. Foto pernikahan Ayah dan Ibu. Ayah terlihat sangat gagah dengan jas hitam yang dipakainya. Sementara Ibu tampak cantik menggunakan busana serba putih.

Aku tersentak saat melihat Ibu di foto itu. Wajahnya mirip sekali dengan wajah perempuan yang datang di mimpiku beberapa waktu lalu. (*)

Ciawi, 01 November 2020

 

Ika Mulyani, ibu rumah tangga penyuka ikan lele goreng yang masih terus belajar menulis.

Editor: Respati

 

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

Leave a Reply