Istana
Oleh : Diah Estu Asih
Aku bersembunyi di balik awan-awan tebal yang lembut. Sinarnya terasa sejuk, mengarah ke atas hingga mencapai langit tertinggi. Aku membuat lubang kecil di awan itu, lalu meletakkan mataku di sana untuk melihat bumi.
Di bumi, sebuah istana megah yang dibuat dari tulang-belulang manusia mati tampak memikat setiap orang yang melihatnya. Puncak bangunan itu runcing dan mengilat. Dinding-dindingnya berwarna putih. Orang-orang di dalamnya memakai sayap-sayap merpati yang sangat indah. Mereka terbang ke bumi bagian lain, dan setiap perjalanannya direkam oleh mata elang yang sangat tajam.
Orang-orang di pasar tradisional yang didatangi orang-orang dari istana itu berteriak-teriak senang. Mereka mengagumi sayap-sayap merpati yang mengepak indah. Mereka ingin menyentuhnya, tapi tidak jadi menyentuhnya karena merasa tangan mereka sangat kotor dan bisa menodai kesucian sayap merpati itu.
Orang-orang dari istana itu berbicara dengan gaya yang sangat lembut. Bahkan kelembutan suaranya saja mampu membuat semua orang di pasar berkumpul dan mendengarkan pidato singkat dari orang-orang istana itu. Mereka lupa menjaga dagangan yang bisa dicuri atau dirusak oleh kawanan anjing yang tidak mereka sadari kehadirannya. Tapi rupanya masih ada beberapa orang yang tidak meninggalkan dagangannya dan tetap membiarkan kawanan anjing itu merusak dagangan lain dan mencuri daging-daging segar.
Ketika orang-orang dari istana selesai berpidato, semua orang di pasar kembali ke tempat dagangan mereka berada. Namun alangkah terkejutnya mereka begitu melihat sayuran-sayuran, buah-buahan, dan dagangan lain berserakan di tanah. Penjual daging menangisi daging-dagingnya yang hilang. Bukan hanya mereka yang terkejut, tetapi orang-orang dari istana juga sangat terkejut. Orang-orang istana yang berniat mengelilingi pasar pun batal, dan tatapannya menjadi laser merah mengenai mata penjual yang tidak ikut berkumpul mendengarkan pidatonya tadi.
“Tanya pada mereka, kenapa membiarkan anjing-anjing merusak pasar ini!” orang-orang istana tersebut berteriak garang.
Penjual yang ditanya pun tidak bisa menjawab. Orang-orang istana tersebut menyuruh orang-orang berpakaian hitam yang membawa tombak untuk mengangkut penjual-penjual itu. Mereka dibawa ke tempat yang sangat jauh, memasuki jalan bawah tanah hingga mereka bisa melihat cairan berwarna merah yang sangat panas.
“Kenapa tidak menyuruh anjing-anjing itu pergi?” tanya orang berpakaian hitam.
“Anjing-anjing itu bisa menyerang kami.”
“Kenapa tidak meminta bantuan dari kami dan orang-orang istana?”
“Kalian tidak akan bisa mendengar kami.”
“Kenapa kami tidak bisa mendengar kalian?”
“Telinga kalian sudah kalian sumpali dengan tai anjing.”
Orang-orang berpakaian hitam pun bingung. “Tapi kami bisa mendengar kalian sekarang.”
“Karena tai-tai anjing itu sekarang tidak ada.”
Orang-orang berpakaian hitam pun semakin bingung. “Bagaimana bisa? Bagaimana kamu tahu? Telinga kami tidak pernah kemasukan tai anjing.”
“Kalian berkumpul bersama para anjing. Anjing-anjing itu di mata kalian seperti wanita-wanita cantik. Wanita-wanita itu menyenangkan kalian. Kalian dan anjing-anjing yang seperti wanita-wanita cantik di mata kalian itu bergumul. Kalian tidak akan sadar kalau mereka sedang mengeluarkan tainya dan memasukkan ke telinga kalian.”
Orang-orang berpakaian hitam pun langsung saling bertanya-tanya mengenai kebenaran itu. Suara mereka sahut menyahut seperti katak di musim banjir, sampai-sampai orang di permukaan bumi mendengar suara itu. Karena merasa yang dikatakan penjual-penjual itu adalah bualan, mereka melepaskan mulut-mulut penjual itu, lalu menggantinya dengan mulut-mulut anjing yang menggonggong setiap saat.
Dari dalam tanah di sana, aku melihat asap hitam mengepul. Baunya sangat busuk seperti bangkai paling busuk di muka bumi. Tapi anehnya, aku tak melihat seorang pun yang terganggu dengan itu.
Keesokan harinya orang-orang istana melakukan perjalanan lagi. Burung elang masih mengikuti mereka dari atas dan merekam perjalanan mereka. Orang-orang istana itu mengganti sayap merpati dengan sayap burung makau yang warnanya biru dan merah. Mereka mendatangi orang-orang yang bekerja di jalanan, berpidato singkat, dan melihat-lihat hasil pekerjaan mereka.
Namun, orang-orang istana bingung melihat jalanan yang masih baru jadi bolong-bolong. Ia pun bertanya dengan suara lembutnya, “Kenapa ini bolong?”
“Babi ngepet mencurinya, Tuan.”
“Kenapa kalian biarkan babi mencuri ini?”
“Sewaktu dia mencuri itu, bentuknya bukan babi ngepet. Bentuknya sangat bagus dan menawan sampai kami percaya dia makhluk yang baik.”
“Seperti apa bentuknya?”
“Kadang seperti angsa yang sangat putih dan suci, kadang seperti merpati yang sangat cantik, kadang seperti burung makau, kadang seperti burung merak.”
“Lalu bagaimana bisa kamu tahu mereka babi ngepet?”
“Hidung mereka seperti babi ngepet, Tuan.”
Orang-orang istana pun kebingungan dan merasa bahwa itu hanya bualan saja. Lalu mereka menyuruh orang-orang berpakaian hitam yang membawa tombak mengganti hidung para pekerja itu dengan hidung babi ngepet.
Aku melihat lagi asap hitam yang baunya sangat busuk dari sana, tapi tak seorang pun merasa terganggu.
Rekaman burung elang tersebar ke mana-mana, ditonton oleh banyak sekali orang.
Ketika orang-orang istana kembali ke istananya, burung elang dimasukkan ke kurungan dan ditutup dengan kain yang sangat hitam; orang-orang istana dengan sayap burung makau masuk dari pintu yang sangat megah dan warnanya mengeluarkan cahaya emas. Orang-orang itu berhenti di gudang, melepaskan sayapnya, topengnya, dan menjadi telanjang. Dari pintu yang lain, anjing-anjing dan burung indah berhidung babi juga masuk. Mereka berkumpul menjadi satu, tertawa-tawa sangat keras. Dari sana aku melihat asap yang jauh lebih hitam, baunya jauh lebih busuk dari bangkai paling busuk sedunia.
Tiba-tiba mataku perih dan semuanya menjadi gelap. Aku menjadi tak bisa melihat bumi melalui lubang awan yang kubuat. Tapi aku masih bisa mendengar bahwa kini awan-awan tempatku sembunyi tak lagi putih dan lembut, tetapi menjadi hitam, kasar, dan keras. Badanku menjadi kaku dan tak bisa bergerak. Mulutku tak bisa lagi terbuka, dan selamanya aku berada di persembunyian awan yang warnanya sudah menjadi hitam menjijikkan. (*)
02/12/2020
Diah Estu Asih, biasa disapa Diah, masih berstatus sebagai mahasiswa jomblo. Tinggal di Lampung bersama kedua orang tua, dua kakak lelaki dan satu adik perempuan.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata