Andika dan Andini

Andika dan Andini

Andika dan Andini

Oleh: Zufarie Mariyanto

Begitu telingaku mendengar bahwa nama karyawati baru itu adalah Andini, hatiku langsung tergerak untuk mengenalkan diri kepadanya. Ya, selain namanya yang mirip dengan namaku, ada setitik ketertarikan yang kian menggebu dari waktu ke waktu. Apalagi ketika harus bertatap mata dengan wanita bertubuh langsing itu, hatiku serasa melayang di udara, jantungku berdegup tak beraturan.

Kupikir, aku adalah karyawan yang paling beruntung di perusahaan ini. Bagaimana tidak? Di kala Pak Ramon—sang bos besar—selalu mencuri kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan Andini, dengan cara yang elegan tentunya, wanita itu malah dengan mudahnya bisa mengenalku. Mungkin dia senang dengan pria humoris sepertiku. Tak seperti Pak Ramon, bos yang menyebalkan sekaligus dingin. Wajahnya yang jarang tersenyum itu terkadang membuat para karyawan ketakutan ketika berhadapan dengannya.

Aku merasa menang dari seluruh karyawan yang berusaha mendekati Andini, karyawati baru yang begitu cantik dan anggun. Sontak saja, para kolegaku menaruh iri padaku. Mereka yang biasanya menghabiskan waktu makan siang denganku di kantin perusahaan, kini semuanya menjauh. Bagiku tak masalah, asalkan diriku bisa selalu dekat dengan Andini.

Tapi, tak semuanya seperti itu. Ada juga yang mendukungku, termasuk Hendra. Anehnya, di mana pun aku dan Andini bersama, entah itu di kantor atau di luar, dia selalu berusaha ingin mengikuti. Sehingga aku jadi ragu, apakah Hendra mendukungku atau justru ingin merebut Andini dariku?

Merebut? Ah, kata itu sepertinya berlebihan sekali jika kusandangkan pada diri sahabatku itu. Lagi pula, aku dan Andini barulah dekat. Belum menjalin hubungan asmara. Tingkah manis wanita itu sering membuatku menaruh harapan yang berlebih. Kayakinanku bertambah ketika akulah yang hanya menerimanya bukan Hendra atau bahkan Pak Ramon.

Saat aku dan Hendra menunggu Andini di sebuah kafe yang tak jauh dari kantor, sahabatku itu tiba-tiba melontarkan kata-kata yang seakan-akan ingin mencekikku dengan perlahan.

“Lo tau nggak? Pas pertama kali ketemu sama Andini, apa yang gue lakuin?”

Aku menggeleng sembari menyeruput segelas moccacino yang baru saja kupesan. “Emangnya lo ngapain?”

“Foto dia diam-diam.” Hendra menyeringai, dan ekspresi itu sepertinya menyimpan sebuah rahasia yang sengaja disembunyikan dariku.

“Gue udah menduga kalo lo selama ini emang suka sama Andini, kan?”

“Kalo iya emang kenapa?”

“Ya nggak kenapa-kenapa. Tapi, kayaknya Tuhan udah menjodohkan gue sama dia,” ujarku penuh percaya diri.

“Oh, cuma gara-gara nama lo dan Andini hampir sama? Konyol banget, sih, lo!”

“Bisa aja, kan?”

“Gini aja, kita bersaing secara sehat. Lo boleh ngejar Andini, dan gue pun sama.”

Aku tertawa keras namun tak sepenuh hati. Ucapan Hendra itu benar-benar menyiksa batinku. Sebesar apa pun cintaku pada Andini, aku juga tak rela bersaing dengan sahabatku sendiri. Apalagi dalam urusan asmara. Bukan puas, melainkan khawatir. Ya, khawatir persahabatanku dengan Hendra yang terjalin sejak di bangku kuliah lenyap hanya gara-gara memperebutkan seorang wanita.

***

Besok kan hari minggu, kita ke CFD, yuk.

Aku mengirim pesan ke Andini usai pulang dari kantor. Tapi tiada balasan darinya. Bahkan ketika selesai mandi pun, balasan belum juga kuterima. Tak biasanya Andini seperti ini. Lama membalas pesan dariku.

Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu, istri kedua Papa akan ke rumah bersama anaknya. Kabar dari Mama benar-benar mengejutkanku. Pasalnya Mama dan istri kedua Papa itu dulu tak pernah akur, bahkan aku belum pernah sama sekali bertemu dengan saudara tiriku.

Perang dingin antara Mama dan istri kedua Papa berlangsung sangat lama. Hingga aku beranjak dewasa dan tumbuh tanpa ada belaian lembut dari Papa, sebab dia lebih memilih tinggal bersama istri keduanya.

Saat Papa meninggal karena penyakit jantung, Mama dengan teganya melarangku untuk datang ke pemakamannya. Dendamnya pada Papa begitu dalam. Namun ketika hampir menginjak seribu hari meninggalnya Papa, entah mengapa Mama tiba-tiba melontarkan penyesalannya di hadapanku sembari menangis. Aku jadi tak tahan untuk terus menatap matanya. Perjuangannya sebagai single parent benar-benar tak bisa kuingkari begitu saja.

“Andika.” Kedatangan Mama mengejutkanku ketika mataku masih jeli menatap layar ponsel, menunggu balasan pesan dari Andini.

“Turun, gih!”

“Mereka udah datang, Ma?”

“Iya, kamu malah santai-santai aja di kamar.”

Aku bergegas menuruni anak tangga. Mataku menatap seorang wanita paruh baya, duduk manis menyambut kedatanganku, bersama seorang wanita muda yang berwajah cantik jelita.
Aku langsung bisa mengenali wanita muda itu. kulebarkan mataku, kali saja situasi ini hanyalah mimpi. Tapi … tapi ini benar-benar nyata. Wanita itu adalah Andini!

Jantungku seperti merasakan hantaman kecil namun menyakitkan. Sesuatu yang tidak pernah kupikirkan tiba-tiba menyergap pikiranku.

“Wah … Andika besarnya tampan juga ya, Mbak?” Wanita yang menyandang status sebagai istri kedua Papa itu tersenyum menatapku. Sedang Andini nampak terkejut.

“Iya, sama kayak adiknya, Andini cantik sekali.” Mama menimpali.

Aku duduk dengan canggung, memandang Andini yang tak kunjung berbicara. Pergumulan batinku sedang berusaha keras menerimanya sebagai adikku. Dan mungkin, aku juga harus rela jika suatu saat hatinya dimiliki oleh Hendra atau bahkan Pak Ramon. (*) 

Zufarie Mariyanto. Penulis asal Tuban, Jawa Timur. Lahir pada bulan Mei 1997 dengan nama Zuni Fatmasari. Menyukai cerita-cerita bergenre romance, atau perjuangan juga mantap menurutnya. Baru saja menamatkan pendidikan sarjana di salah satu universitas swasta di Kota Tuban. Kecintaannya pada menulis tumbuh ketika masih duduk di bangku SMA. Sekarang sedang semangat-semangatnya belajar menekuni dunia kepenulisan untuk mencapai cita-citanya, yakni menjadi penulis yang menginspirasi banyak orang. Bisa disapa melalui Facebook: Zufarie Mariyanto atau Instagram: zufarie_mariyanto.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply