Melarikan Diri

Melarikan Diri

Melarikan Diri

Oleh: Cokelat

Aku mendengar Paman kembali membujuk Ibu. Mengajak kami semua melarikan diri ke Vietnam. Sebelumnya, sudah banyak warga desa kami yang lari ke sana. Namun, lagi-lagi ibu menolak.

“Kamboja tempat kelahiranku. Anak-anak lahir di sini. Makam suamiku pun di sini. Kami tak akan ke mana-mana.” Itu jawaban Ibu setiap kali Paman membujukknya.

Keesokan harinya, Paman sekeluarga bersama beberapa keluarga yang lain, berangkat meninggalkan desa kami. Dia masih menanyakan untuk yang terakhir kalinya kepada Ibu, dan Ibu hanya menggeleng.

Aku menatap mereka yang pergi, hingga menghilang di kejauhan. Ah, kenapa Ibu begitu keras kepala? Bagaimana jika pasukan tentara itu benar-benar sampai ke sini? Dari cerita yang beredar, mereka sangat jahat dan tak mengenal ampun.

Aku sedang main dengan teman-teman, ketika suara tembakan menghiasi langit desa kami. Semua orang segera berlarian ke sana kemari. Perempuan dan anak kecil berteriak-teriak, mencoba melarikan diri. Keadaan sangat kacau.

Akhirnya, Tentara Khmer Merah tiba di desa kami. Apa yang dikhawatirkan terjadi. Ternyata benar, mereka memang mendatangi desa-desa di perbatasan Vietnam. Apakah benar mereka akan menangkap, menyiksa dan mengeksekusi siapa saja yang melawan? Ya, Tuhan … aku tak mampu membayangkan jika itu sampai terjadi.

Sekarang, kami berempat meringkuk di sudut gudang, tempat semua warga disekap. Ibu menyesal. Dia tak berhenti menitikkan air mata, sementara Kakak sibuk membujuk Adik yang juga menangis sejak tadi. Aku memandang berkeliling, berpikir keras, adakah cara keluar dari tempat ini?

Terdengar suara ribut-ribut dari luar. Sudah hampir sejam yang lalu mereka memanggil Kepala Desa. Apakah mereka sedang mengajaknya berunding? Tak lama kemudian, terdengar suara tembakan. Ya, Tuhan, semoga Kepala Desa baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, pintu gudang terbuka dan dua orang tentara melempar sesosok tubuh. “Ini contoh untuk siapa saja yang melawan!” teriak yang berkumis. Kami semua berteriak histeris. Itu Kepala Desa, kepalanya nyaris hancur dan seluruh tubuh berlumuran darah.

Aku semakin panik. Kami pasti akan mati jika tidak berusaha melarikan diri. Aku sering mendengar, kalau mereka membiarkan para tawanan hidup, itu karena akan dipekerjakan secara paksa. Pada akhirnya, akan mati karena dibiarkan menderita dan kelaparan.

Aku mengendap-ngendap melewati tubuh-tubuh yang tertidur. Tiba di bagian depan gudang, kuintip keluar melalui celah pada dinding kayu. Kantor desa yang terletak di seberang jalan tampak terang oleh obor yang menyala. Di depan gudang, ada dua orang tentara yang berjaga. Ini waktu yang tepat untuk menjalankan rencanaku.

“Bu. Ayo, bangun,” bisikku ke telinga Ibu. Kemudian kubangunkan Kakak dan memintanya menggendong Adik. Kami berjalan pelan-pelan menuju bagian belakang gudang, ke tempat celah rahasia yang pernah kutemukan bersama teman-teman.

Kami melangkah dengan penuh kewaspadaan. Suasana dalam gudang sangat gelap dan pengap. Hanya cahaya dari luar yang masuk melewati celah-celah dinding kayu yang mejadi sumber penerangan bagi kami.

Aku sudah memperingatkan ibu dan kakak, agar berjalan selambat mungkin. Jangan sampai ada warga yang mencurigai kami. Beruntung, mereka mungkin terlalu lelah atau takut, ssehingga tidak ada yang peduli dengan apa yang kami lakukan.

Setelah tiba di bagian belakang gudang, aku harus mengingat kembali letak celah besar yang pernah aku dan teman-temanku temukan. Di sini sudah penuh dengan kotak-kotak kayu yang disusun tinggi.

Setiap panen raya tiba, kotak-kotak ini akan diisi penuh dengan hasil pertanian dari ladang atau kebun. Lalu dibawa oleh kaum lelaki dari desa kami ke kota. Saat itulah, ketika tidak ada kotak-kotak kayu yang berjejer, aku dan teman-temanku menemukan celah besar pada dinding belakang gudang.

Sial! Di mana celah itu? Aku berjalan ke ujung kanan, lalu mengintip ke dalam lorong sempit yang terbentuk antara tembok belakang gudang dengan jejeran kotak yang disusun tinggi. Gelap. Baiklah, kususuri saja lorong ini. Celah itu pasti kutemukan. Semoga saja belum ada yang memperbaikinya atau menutupnya.

“Ibu … Kakak … ayo, ikuti aku dari belakang.” Aku berusaha melihat wajah kedua orang yang kusayangi itu dalam kegelapan. Syukurlah, Adik masih lelap dalam tidurnya.

Kami mulai menelusuri lorong di belakang kotak kayu. Tanganku meraba setiap inci tembok belakang yang sejajar dengan pahaku. Aku ingat, celah itu setinggi pahaku. Setelah berjalan beberapa menit, aku merasa tembok yang kuraba tidak rata.

“Ibu, Kakak, tolong mundur beberapa langkah.” Aku harus memeriksa tembok ini.

Benar saja. Inilah celah yang kucari. Ternyata, ada yang sudah menambalnya dengan memakukan sebilah papan. Aku mencoba menarik-narik papan penambal itu. Sedikit bergeser! Baguslah. Siapa pun yang memaku papan ini, aku berterima kasih atas pekerjaanmu yang asal-asalan.

Hanya ada dua paku yang tertancap di bagian atas papan penambal. Bagian bawah malah sama sekali tidak dipaku. Setelah beberapa kali menendang dan menarik, papan tersebut akhirnya terbuka.

Sebuah celah yang pas untuk dilewati sambil merangkak kini terbuka di depanku. Aku segera keluar, diikuti Ibu. Kakak lalu mengoper Adik padaku, sebelum kemudian ikut merangkak keluar. Lalu, kami pun mengendap-ngendap menjauhi gudang.

Syukurluh, malam ini tidak ada sinar bulan. Kegelapan akan membantu kami menjauh dari orang-orang bejat itu. Aku harap, tak ada yang menyadari pelarian ini. Kami berjalan ke arah yang ditempuh Paman, menuju Vietnam. Aku terus berdoa dalam hati, semoga bisa mencapai perbatasan dengan selamat.

Sudah setengah hari kami berjalan. Ibu sudah sangat kelelahan. Sesekali aku membantunya. Sementara Kakak terus menggendong Adik yang mulai menangis karena kelaparan. Beberapa kali kami singgah minum di sungai kecil. Mengisi perut sebanyak-banyaknya dengar air. Hanya itu yang bisa mengganjal perut yang semakin perih.

Aku sedang memapah Ibu ketika mataku menangkap pohon pisang liar yang sedang berbuah di depan kami. Aku segera berlari, meninggalkan Ibu. Benar-benar suatu berkah, buah pisangnya sudah matang.

“Makan yang banyak, Bu.” Aku menyodorkan buah pisang kepada Ibu. Kami semua makan dengan lahap. Aku memasukkan beberapa biji ke dalam sarung dan mengikatnya.

Setelahnya, kulihat Ibu lebih bersemangat, begitu juga dengan Kakak. Semoga kami tak kehilangan harapan. Kami melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Kuharap, perbatasan tidak jauh lagi dari sini.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari kejauhan. Aku segera memegang lengan Ibu dan menariknya turun ke parit yang ada di sebelah kanan jalan setapak. Parit yang lebarnya kurang lebih satu meter dengan air yang sedikit kecokelatan. Kakak yang sedang menggendong Adik, mengikuti dari belakang.

Setelah masuk ke dalam parit, baru kusadari, ternyata lumayan dalam. Batas airnya sampai di bawah dada kami. Banyak rumput-rumput yang tumbuh di pinggirannya. Aku berharap, jika kami merunduk, tentara-tentara itu tidak ada menyadari keberadaan kami.

Aku memeluk Ibu yang menangis dan tampak lemas di depanku. Sementara Kakak yang berada di belakang, berusaha membujuk Adik. Air parit ini sangat dingin, membuat kami semua menggigil. Aku merasa seperti sudah berjam-jam kami bersembunyi, tapi harus menunggu waktu yang tepat untuk keluar dari sini.

“Itu mereka!” Suara teriakan dan rentetan senjata terdengar. Tubuh Kakak dan Adik menimpaku lalu roboh ke samping. Ada yang hangat mengalir dari punggungku. Air parit di sekitarku berubah warna dan menjadi lebih kental, itu yang terakhir aku ingat. (*)

Cokelat. Penyuka cokelat dan semua turunannya. Jangan disakiti. Disayang, boleh.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply