Aku masih diam terpaku menatap langit-langit. Kamar ini memang cukup luas, tapi apalah artinya jika dengan berada di dalamnya hanya membuatmu sesak. Setidaknya begitulah yang kurasakan sekarang.
Suara tangisan Mama pecah beberapa jam yang lalu. Tentu ini bukan kabar baik untuknya, untuk Papa, untuk semua, terlebih untukku.
“Kamu sudah sadar, Ra?” tanya Mama.
Aku menatapnya sekejap dan tersenyum.
Mama menatapku dan Papa secara bergantian, seperti ada yang hendak disampaikannyan. Aku sudah tahu apa yan akan ia katakan, kalimat apa yang akan terucap dari bibir tipisnya. Aku sudah mendengarnya.
“Tak apa, Ma… Ara baik-baik saja,” seruku mendahului Mama yang hendak membuka mulutnya.
Aku tahu pasti terasa berat untuk menyampaikan kalimat itu. Mama tentu khawatir denganku, apakah aku sedih atau tertekan, tapi kupikir aku sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan yang berat ini. Menjerit dan menangis sekencang-kencangnya takkan mengubah apa pun, semua akan tetap sama. Waktu tak pernah berjalan mundur betapa pun kita menginginkannya.
Mama mulai terisak, menangis lagi seperti setengah jam yang lalu. Papa yang berdiri di samping Mama hanya mengusap lembut rambut panjang Mama yang terurai, mengatakan berulang kali bahwa aku baik-baik saja, aku sudah cukup kuat untuk menghadapi semua ini.
“Sudahlah, kenapa kamu terus menangis? Bukankah Ara sendiri mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Jika Ara saja bisa menerimanya, lalu kenapa kamu terus menangis seperti ini? Ara bisa ikut bersedih nanti,” kata Papa lembut sambil terus berusaha menenangkan Mama.
Aku menghela napas, hatiku sesak saat menatap butir air mata yang jatuh membasahi pipi malaikat tak bersayapku itu. Aku ingin sekali bisa memeluknya dan mengusap air matanya seperti hari yang sudah-sudah. Aku ingin mengatakan bahwa semua ini bukanlah masalah besar. Tapi suaraku tercekat, terhenti, tercekik oleh kenyataan.
Mama terus menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kemudian ia berhenti saat melihat selimut yang menutupi tubuhku—menyadari sesuatu yang tidak lagi seperti dulu. Matanya kembali berkaca-kaca. Begitulah Mama, ia sangat mudah terbawa perasaan, berbeda dengan Papa yang tegar. Meskipun begitu, aku tahu pasti Papa juga merasakan hal yang sama—terpukul dengan semua ini.
***
Setengah jam lalu aku agak kesulitan membuka mata. Aku tidak mengingat apa pun selain tubuhku yang melayang, terpental jauh setelah sebuah mobil sedan menghantamku. Ketika itu aku hendak menyeberang jalan.
Pagi itu jalanan lengang, dingin masih terasa menusuk tulang, langit juga belum terang. Masih tersisa berkas cahaya bulan semalam yang seperti mengiringi langkahku. Aku hendak ke rumah nenek yang terletak berlainan arah dengan sekolah. Saat itu Mama menyuruhku untuk berkunjung sebentar untuk mengantarkan sup tulang iga.
Hanya ada satu-dua mobil yang tengah melaju pagi itu, karena itu aku merasa lebih leluasa saat akan menyeberangi zebra cross. Baru saja kulangkahkan kakiku menapaki aspal ketika tiba-tiba…
Braaak!!!
Sebuah sedan melesat cepat dari arah barat dan menghantam keras tubuhku hingga terpental jauh. Karenanya aku terkapar lemah di tengah jalan yang dingin. Nahasnya, dari arah lain, sebuah truk besar sedang melaju dan tak sempat berhenti hingga melindas tanganku. Aku tak ingat apa pun setelah itu.
Aku menatap sekitarku dengan heran. Apakah aku berada di rumah sakit? Apa separah itukah lukaku hingga perlu dirawat seperti ini? Aku benar-benar tak mengingat apa pun. Yang pasti aku merasakan sakit di kepalaku dan … seperti ada bagian dari diriku yang hilang.
“Bagaimana dengan Ara? Bagaimana perasaannya saat bangun nanti?” bisik Mama sembari melirik sekilas ke arahku. Sepertinya Mama tak tahu kalau aku sudah sadar. Papa menghela napas, sepertinya ia enggan menjawab pertanyaan yang diajukkan Mama.
“Bagaimana jika dia putus asa karena kehilangan tangannya? Tak bisa menjadi penulis lagi, seperti yang selama ini diimpikannya. Bagaimana kalau Ara benar-benar terpukul, bagaimana kalau ia depresi?”
Tangis Mama kembali pecah saat mengatakan semua itu. Papa tetap tak menjawab sepatah kata pun. Ia membiarkan Mama meluapkan segala perasaannya dan memeluknya erat-erat.
Aku yang sejak tadi sudah tersadar memilih untuk tetap memejamkan mata, mendengarkan semua yang terucap, semua yang terlanjur kudengar.
Setelah mereka pergi, barulah kubuka mataku. Aku menatap nanar pada sekitar sembari menahan sesak yang sejak tadi mengendap di hati. Seolah-olah ada puluhan pisau yang ditusukkan bertubi-tubi ke jantungku. Perih sekali.
***
Aku menatap ngeri ke kedua tanganku yang telah diamputasi.
“Sudah berakhirkah? Apa memang sudah berakhir? Apa mimpiku hanya sampai di sini saja?”
Aku terus bertanya dalam genang air mata yang tertahan di kelopak mata. Setegah jam aku hanya merenung menatap ke langit-langit ruang rawatku. Sungguh aku butuh waktu untuk mengerti semua ini. Waktu yang akan menyadarkanku bahwa ia takkan berhenti hanya karena aku terluka, waktu yang akan terus berjalan meski aku tetap berhenti di satu titik.
Pertanyaan itu terhenti saat Mama dan Papa kembali. Mereka tampak berusaha tersenyum padaku setelah setengah jam lalu menangis tanpa henti. Menatap wajah mereka membuatku tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tadi sempat menggelayut dalam pikiranku.
Mungkin semua ini menyakitkan, tapi itulah kenyataannya. Bukankah hidup terus bergerak maju? Lantas aku harus terus berjalan, menatap ke depan, menatap segala yang terus setia, menatap mereka yang terus menjaga penuh cinta.
Aku menatap Mama dan tersenyum. Meskipun berat aku akan memastikan bahwa aku baik-baik saja, aku masih bisa melakukannya, dengan tangan ataupun tidak.
“Tak apa, Ma. Ara baik-baik saja,” seruku mendahului Mama yang hendak membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu.
Kalimat itu, meski terasa berat, meski terasa begitu perih, tapi aku telah berhasil mengucapkannya. Kalimat itu, tak hanya untuk membuat Mama merasa lebih baik, juga bukan hanya untuk Papa. Sejatinya kalimat itu untukku sendiri, hanya untuk membuatku percaya bahwa aku memang baik-baik saja.
Bukankah aku seorang penulis? Apa hanya orang-orang yang punya tangan saja yang bisa menulis? Apa hanya orang jenius yang dapat menciptakan alat canggih? Apa hanya orang yang matanya berfungsi saja yang bisa membaca?
Mungkin benar seperti itu, secara garis besarnya, namun tak selamanya berlaku demikian. Banyak di antara orang-orang yang memiliki keterbatasan yang dapat berkarya, menciptakan sesuatu yang begitu hebat. Mereka tidak merasa bahwa keterbatasan itu menghambat mereka untuk mencoba. Mereka memilih untuk bangkit, terus berjuang, dan mereka tak merendahkan diri sendiri dengan bermanja-manja pada keterbatasan itu. Mereka selalu menjadi orang-orang yang kuat, orang-orang yang yakin dengan kemampuannya, dengan cita-citanya.
“Benarkah?” Mama bertanya ragu, memastikan bahwa aku tidak sedang berpura-pura.
Aku mengangguk pelan.
Bagaimana mungkin merpati dapat terbang tanpa sepasang sayap? Bisakah? Aku tidak tahu dan takkan pernah tahu sebelum mencobanya. Mungkin akan sangat sulit menggapai mimpi-mimpiku yang tinggi di angkasa. Mimpi-mimpi yang menggantung di antara bintang-bintang.
Tapi aku yakin, tak ada yang tidak mungkin.(*)
Lily Rosella, gadis penyuka warna-warna pastel, kelahiran Jakarta 21 tahun silam, tepatnya tanggal 10 Desember 1996.
Fb: Aila Celestyn
Email: Lyaakina@gmail.com
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan