Judul: Suara-Suara
Oleh: Ning Kurniati
Suara-suara di kepalaku meminta didengar dan dipenuhi tuntutannya. Ia menarik otak besarku hingga kepalaku terlihat lonjong ke arah tertentu dan rambut panjangku tidak tampak indah lagi. Mereka seperti seratus orang yang berbicara dalam waktu yang bersamaan. Sungguh ribut hingga aku susah mendengarkan ketika tetanggaku barusan mengajakku bicara. Memang mungkin orang itu sekadar basa-basi, tapi kan aku tidak mungkin menganguk saja. Aku harus berbicara, dan untuk itu aku harus paham dulu.
Ini gila. Ini sudah tidak bisa ditolerir. Mereka harusnya diam ketika kusuruh diam dan bicara hanya ketika kusuruh bicara. Tidak boleh berbuat sesuka maunya. Mereka hanyalah suara.
Tapi mereka memang tidak tahu diri. Di mana mereka harusnya bersyukur karena aku berkenang mengizinkannya masuk ke kepalaku ketika itu, sekarang malah molonjak.
Tidak tahukah mereka kalau aku ini butuh waktu untuk diri sendiri. Aku harus mengutamakan diriku dibanding siapa pun di banding apa pun. Apalagi sekadar suara-suara yang tidak memiliki identitas.
Hmmm. “Diam,” aku bilang. “Kenapa kalian tidak mau diam?”
Aku tidak bisa begini. Agar hidupku tenang, suara-suara ini harus bisa ditaklukkan, kalau tidak mereka harus dipaksa keluar dari kepalaku. Harus tiada. Keberadaannya merepotkan saja. Bagaimana ya, caranya?
***
Aku berjalan tak tentu arah dan tiba di sebuah hutan. Tentunya setelah melewati beberapa orang yang tampaknya suara-suara di kepala mereka patuh. Mereka menertawaiku sambil menunjuk kepalaku yang semakin memanjang ke belakang dan itu membuatku sulit berjalan dan sulit mengangkat kepala lantaran malu.
Di hutan ini yang tidak ada siapa pun, aku akan mengajaknya berbincang-bincang. Akan kukerahkan seluruh kemampuanku untuk membuatnya patuh. Sebelumnya suudah kuminta seorang kenalan untuk mentransfer teori-teori dan contoh praktik diplomasi tadi pagi. Ini pasti bisa berhasil.
Aku ke bagian hutan yang paling gelap. Yang bahkan seberkas sinar matahari tidak ada yang tembus kemari. Mereka akan merasakan kegelapan lewat mataku. Dan semoga ini membuatnya takut. Karena biasanya suara-suara ini tidak kenal takut. Mereka rela tiada demi hal yang paling diingininya.
“Halo kalian,” kataku.
“Ya, akhirnya kau bersedia mengajak kami bicara,” balasnya. Hei, bagaimana bisa aku bicara dengan mereka, sedang aku tidak punya kesempatan. Mereka tak habis-habisnya menuntut ini-itu.
“Apa mau kalian?”
“Aku mau daging babi.”
“Apa? Kau itu hanya suara-suara tidak perlu makan. Mau kau apakan daging babi itu?”
“Hei, goblok. Kalau aku bilang mau daging babi. Ya berarti aku butuh babi. Mau kuapakan, kau pikir makanan untuk apa?”
“Aku-aku-aku.”
“Hei, satu-satu. Semua akan dapat waktu bicara. Tenang, tenang.”
“Aku mau sepotong senja?”
“Apa? Senja? Aku bukan tokoh dalam cerpen Seno Gumira. Yang lain?”
“Aku mau gadis yang bernama Jane Eyre.”
“Apa maksudmu?”
“Ya, aku mau dia. Gadis dalam buku yang kemarin kau baca itu. Kau harus berteman dengannya. Dia begitu bijaksana dan aku mau belajar baanyak darinya.”
“Ya ampun. Dia itu hanya tokoh dalam novel.”
“Bagaimana kau yakin?”
“Ya, memang begitu adanya.”
“Aku-aku.”
“Apa?”
“Aku mau syurga.”
“Apa?”
“Aku mau melihat sungai susu.”
“Tidak-tidak-tidak. Kalian memang tidak boleh dibiarkan. Kalian terlalu berbahaya, terlalu banyak men—“
“Aku belum kau dengarkan apa mauku.”
“Memang apa maumu suara yang paling berisik.”
“Teganya kau menyebutku paling berisik padahal aku hanya sekali-kali berteriak dibanding dia.” Dan suara yang satu ini pun menangis. Mengeluarkan jeritannya yang memekakkan telinga. Aku menutup telingaku, menutup mataku. Betapa lelahnya menghadapi mereka ini.
“Berhenti.” Kurasa aku meneriakkan itu. Dan suara itu pun berhenti. Mendadak hening. Dan begitu aku membuka mata, kudapati rambutku telah beruban. Oh, suara-suara itu akan membuatku tampak tua lebih cepat. Padahal umurku baru 60 tahun menjelang dua bulan. Bagaimana bisa rambut putih ini tumbuh begitu cepat.
Aku ke salon.
Di hadapan cermin. Kuperhatikan tampangku seperti orang asing. Aku merasa ini bukan diriku. Siapa pemilik wajah itu. Ya ampun. Matanya kuyu sekali. Dan lihatlah di bagian dagu itu, kenapa membulat sekali, lehernya yang pendek, seperti bayi saja yang baru lahir. Aku bergidik berkali-kali, sampai kurasa tubuhku bergetar. Dan semua orang yang ada di sana, ribuan tidak jumlahnya miliaran seperti semut dalam sebuah saran yang seperti gunung, mereka terbahak-bahak. Namun, ketika aku menengok ke salah seorang, di sebelahnya dan di sebelahnya, mereka seketika diam, mengatupkan mulut seolah ada lem yang merekatkan kedua bibirnya yang gemuk itu.
Huuh. Aku menggerutu dan memutar balik wajah ini ke hadapan cermin. Dan ya ampun, di sana ada seorang perempuan dengan alis hitam yang tebal dan bibir yang merah merona. Perempuan itu sedang tersenyum. Ada lesung pipit di pipi sebelah kirinya. Ia tampak manis. Ia itu … aku. Ya itu aku. Aih manisnya. Sungguh manis.
Aku keluar dari salon itu berjalan dengan anggun selayaknya wanita terhormat karena aku memang wanita yang seperti itu. Oh, hujan sedang turun membasahi bumi yang memang sudah gersang ribuan tahun lamanya. Aku menghidu bau yang menguar. Baunya enak. Aku maju sedikit dari selasar salon itu, menengadahkan wajah dan membiarkan air membasuh wajah manisku. Tetapi mendadak aku terbelalak. Ada suara yang memanggil.
“Ibu.” Apa aku seorang ibu, ya?
“Kakak.” Oh, aku seorang kakak. Heh, mana mungkin.
“Adek.” Aku juga seorang adek. Hmmm.
“Sayang.” Siapa ini yang memanggilku begitu manis.
“Istriku.” Apakah aku sudah bersuami? Eh kapan itu aku menikah. Atau jangan-jangan aku sudah beranak. Oh ….
(*)
1 Desember 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.
Sumber gambar: https://www.deviantart.com/meiyue/art/Who-I-Am-734929225