Lelaki Misterius
Malam itu terlihat sunyi. Tak ada seorang pun yang berpapasan denganku seperti biasanya. Gorden di rumah-rumah mereka tampak sudah ditutup, pertanda jika si pemilik rumah mungkin sudah terlelap di kamarnya. Di bawah lampu jalan yang berkedap-kedip, mataku terus mengitar. Sesekali aku menoleh ke belakang. Sejak memasuki kompleks ini, aku merasa ada seseorang yang mengikutiku.
Krak!
Aku berjingkat. Kembali aku menoleh ke belakang. Jantungku berdegup kencang.
“Siapa?” ucapku pelan. Tidak ada orang di sana. Embusan angin yang menggulung debu jalanan membuat suasana makin mencekam. Aku menghela napas lalu mempercepat langkahku. Dalam kegelisahan itu, samar-samar aku melihat sesuatu yang mencurigakan di depanku. Aku mematung saat kulihat seseorang sedang memasukkan sesuatu ke dalam van hitam. Benda itu seperti karung dan merembeskan bercak merah-hitam dari dalam.
Apa itu? Siapa?
“Kakak.”
Aku terkesiap. Segera aku menoleh ke belakang.
“Lily? Apa yang kau lakukan, Sayang? Ini sudah malam,” tanyaku heran.
“Aku melihat Kakak lewat di depan rumah jadi aku keluar. Lalu Kakak sendiri, kenapa berdiri di sini?” ujarnya tak kalah heran.
“Tidak, Kakak hanya … sudahlah. Apa ada yang ingin memeluk Kakak sebelum tidur?” ucapku mengalihkan perhatiannya. Setelah memelukku dengan erat, gadis kecil berpiyama itu pun pergi. Berjalan mendekati ibunya yang tersenyum padaku sambil berdiri di teras. Aku membalas senyumnya.
Saat aku membalikkan badan, aku tidak lagi menemukan van itu. Perbincanganku dengan Lily telah mengalihkan perhatianku, sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa mobil itu sudah melaju.
“Aneh.”
***
Satu minggu kemudian.
“Kakaak!!!” Gadis kecil berambut pirang itu menghambur ke pelukanku. Seperti yang sudah kujanjikan, hari ini aku dan Lily akan menghabiskan waktu bersama di rumahku. Kebetulan libur sekolah Lily bersinggungan dengan liburku bekerja. Karenanya malam itu aku mengajaknya tidur di rumahku sebelum ia masuk sekolah lagi.
Sebenarnya Lily tidak tinggal di kompleks ini. Ia hanya datang saat libur sekolah saja. Rumah yang ditinggalinya saat ini biasanya hanya dicek sesekali, entah oleh ayah ataupun ibunya. Bukan hanya keluarga Lily, kebanyakan rumah di kompleks ini memang seperti itu: tidak setiap hari ditempati pemiliknya. Jadi tidak heran kalau kompleks ini sering terlihat sepi. Sesuatu yang sebenarnya membuatku kurang nyaman. Tapi aku tidak punya pilihan, dan aku pun sudah sangat beruntung bisa menyewa rumah di sini. Pemiliknya yang kaya hanya membebankan sewa yang relatif lebih murah. Bukan hanya itu, awal menyewa rumah ini pun sudah ada perabotan di dalamnya. Jadi aku hanya perlu membawa barang seperlunya—pakaian, peralatan memasak dan alat elektronik yang tidak begitu berat. Termasuk boneka teddy yang sering dimainkan Lily.
“Boleh aku pinjam bonekanya, Kak?” tanya Lily saat aku baru meletakkan segelas susu hangat di meja.
“Boleh, tapi…,” ucapku sambil mengelus lembut rambutnya.
“Tapi apa?”
“Habiskan dulu susunya, oke?” Lily yang kegirangan langsung berlari ke meja makan. Duduk di kursi lalu meneguk susu dan menyantap roti isi yang sudah kubuatkan. Aku tersenyum. Senang rasanya melihat Lily menghabiskan makanannya dengan lahap. Bibir mungil itu pun jadi belepotan. Lucu sekali.
Sejak pertama kali bertemu, aku langsung menyukainya. Ketika itu aku baru pindah ke sini, tak sengaja aku menjatuhkan tumpukan kardus yang kubawa. Lily yang sedang asyik bermain melihatnya. Sejurus kemudian ia berlari ke arahku dan membantu memasukkan kardus-kardus—yang kebetulan cukup ringan—tersebut ke dalam rumah.
Semenjak kejadian itu kami menjadi akrab. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, pun sebaliknya. Karena itulah setiap libur sekolah ia meminta pada ayah dan ibunya untuk tinggal di sini. Hal menyenangkan yang selalu kutunggu-tunggu. Dengan begitu aku tidak akan merasa kesepian. Rumah ini pun terasa ramai karena ia memang anak yang periang.
Ia sangat suka bermain boneka, menyanyi dan bercerita. Ia sering bercerita padaku tentang semua hal yang pernah ia alami. Entah itu di rumah ataupun di sekolah. Hanya saja beberapa hal yang pernah ia ceritakan sedikit berbeda dari teman seusianya. Kadang aku merasa bahwa apa yang Lily ceritakan itu bohong belaka. Mungkin, imajinasinya yang tinggi membuatnya pandai mengarang cerita. Tapi akhir-akhir ini pandanganku tentangnya sedikit berubah. Perlahan tapi pasti aku mulai merasa bahwa cerita-cerita Lily mungkin saja benar. Termasuk saat ia bercerita tentang lelaki misterius yang pernah ia lihat di kompleks ini.
“Kemarin aku lihat ada yang berdiri lama di depan rumah Kakak. Dia memakai jaket kulit dan berkacamata hitam. Apa dia teman Kakak?”
“Benarkah?” tanyaku setengah tak percaya.
“Kenapa orang dewasa selalu tidak percaya dengan ceritaku?” ucapnya sambil beringsut turun dari ranjang. Kemudian ia mengecup sebelah pipiku dan pulang begitu saja. Setelah ia pergi, rasa takut tiba-tiba menyergapku. Saat itulah sedikit-banyak aku mulai mempercayai Lily.
Ya, aku pun pernah melihatnya—tengah malam dari balik jendela kamar.
***
Pagi itu aku kesiangan. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 07.30, padahal setengah jam lagi aku sudah harus berada di kantor. Aku bergegas ke kamar mandi meskipun kepalaku terasa masih pusing. Berdandan ala kadarnya dan pergi tanpa sarapan.
Setelah keluar dari rumah, aku setengah berlari menuju gerbang kompleks untuk menunggu angkot. Karena tergesa-gesa, aku gagal melihat seseorang yang berjalan dari samping.
“Aw!” Aku menabraknya sehingga membuat kopi gelas yang ia bawa tumpah dan membasahi kemejanya.
“Ma—maaf!” ujarku terbata-bata, “aku sedang buru-buru karena itu tidak melihatmu.”
Lelaki itu tampak tenang, ia tersenyum.
“Jack?”
“Hai, Jane!” selanya, “kebetulan sekali.”
Aku membalas senyumnya. Tidak kusangka kalau kami tinggal di kompleks yang sama. Setelah berbasa-basi singkat, Jack—teman lamaku itu—menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak tapi karena ia memaksa, aku pun setuju.
Sepanjang perjalanan tidak banyak yang bisa kami bicarakan. Begitu pula saat mobilnya sudah sampai di depan gedung kantorku.
“Well, bagaimana kalau pulangnya nanti kujemput?”
“Jack, kau tidak perlu repot-repot—”
“Tidak merepotkan,” potongnya cepat. “Anggap saja ini reuni, lagipula aku juga belum lama tinggal di kompleks dan belum mengenal betul suasana di sana. Jadi, akan sangat menyenangkan kalau bisa berbaur dengan tetangga.”
Aku berpikir sejenak. Ia terus menatapku dengan tatapan dan senyum yang ramah.
Sudah berapa lamakah aku tidak bertemu dengannya? Kenapa ia tampak begitu berbeda sekarang? Lebih menarik.
“Jadi?”
“Baiklah, aku juga senang bisa bergaul dengan tetangga. Kau tahu, kompleks itu memang selalu sepi,” ucapku sembari sedikit tertawa.
“Baiklah.”
“Terima kasih sudah mengantarku.”
Lelaki bertubuh tinggi itu kembali tersenyum kemudian melajukan mobilnya. Setelah itu aku langsung berjalan memasuki kantor. Tugas-tugas yang perlu kuselesaikan segera sudah menumpuk di atas meja. Seharian itu aku berkutat dengan dokumen-dokumen yang menyita pikiranku sepenuhnya—sungguh membuat stres.
Belakangan ini pekerjaanku memang sedang banyak-banyaknya, kadang aku harus lembur untuk menyelesaikannya. Aktivitas yang membuatku begitu lelah. Apalagi aku juga sering insomnia ringan, karena itulah aku sering merasa pusing di siang hari.
O ya, ada satu lagi yang membuatku semakin susah tidur akhir-akhir ini: lelaki misterius itu. Suatu malam, aku tidak sengaja memergokinya.
***
Aku berjalan memasuki kompleks seperti biasanya. Hari itu aku kembali lembur. Sesekali angin berembus kencang dan menimbulkan bunyi gemerusuk dari dedaunan yang berterbangan. Karena dingin, aku bersedekap dan melangkah lebih cepat.
Aku ingin buru-buru sampai dan berendam di air hangat. Tapi, langkahku terhenti ketika aku sudah berada beberapa meter dari rumahku. Ada seseorang yang melangkah keluar dari teras. Segera aku bersembunyi di balik pohon besar di pinggir jalan sebelum ia sempat melihatku. Di bawah tiang lampu yang tidak begitu terang, ia beberapa kali menoleh ke rumahku, sebelum benar-benar pergi ke arah yang berlawanan dengan persembunyianku. Dia … dia lelaki misterius itu!
Cemas, aku pun berjalan mengendap-endap masuk ke teras rumah dan memeriksa pintu dan jendela. Aman. Semua terkunci. Lantas apa yang dilakukan lelaki itu? Aku mengitarkan pandangan, berharap menemukan petunjuk. Namun semua terlihat normal. Aku menghela napas lalu memasukkan kunci ke lubang pintu. Satu kali. Dua kali. Gagal. Kunci itu berulang-ulang jatuh. Tanganku gemetar.
Pada percobaan ketiga aku berhasil … pintu terbuka. Sebelum masuk, rasa penasaran tiba-tiba menguasai benakku. Apa yang dia lakukan? Siapa dia?
Meskipun takut, aku tidak bisa membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Kapan lagi aku bisa membongkar tujuannya kalau bukan sekarang—saat ia belum jauh dari jangkauanku. Aku memberanikan diri melangkah keluar. Lelaki misterius itu pasti belum jauh. Aku mengintipnya dari balik pagar beton: ia baru saja memasuki satu rumah di pojok jalan. Itu tempat yang sama dengan seseorang yang kulihat menyeret karung aneh ke dalam van beberapa minggu lalu.
Entahlah, aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini tepat. Yang jelas aku harus tahu tentangnya. Pelan-pelan aku berjalan menyusuri trotoar sambil memepet pagar rumah warga supaya keberadaanku bisa sedikit tersamarkan. Sambil terus memperhatikan sekitar, aku berjalan pelan sambil sedikit menunduk. Kuharap tidak seorang pun mengetahui apa yang kulakukan. Saat ini belum terlalu malam, dan tentu saja aku tidak ingin pengintaianku gagal.
Sekarang aku sudah berada tepat di pelataran rumah itu. Tidak ingin terlihat, aku bersembunyi di balik pohon. Rumah itu gelap, hanya nampak sedikit cahaya dari dalam dan halaman belakang. Satu-satunya peneranganku saat itu hanyalah lampu jalan yang sorotnya terhalang dedaunan pohon. Kembali aku memberanikan diri. Aku melangkah ke sisi rumah, sempat kulihat ada bayangan seseorang di sana. Sejauh ini, aku tidak merasakan keberadaan lelaki itu, hingga … “Ya Tuhan!” pekikku tertahan.
Aku melihat sesuatu yang tak kalah mengerikan dari apa yang pernah kulihat sebelumnya. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada seseorang yang sedang menyeret karung berlumuran darah. Lagi? Seketika tubuhku melemas. Jantungku berdebar hebat seolah ada sesuatu di dalamnya yang hendak melompat keluar. Ini sulit dipercaya.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba sosok itu menghentikan langkahnya. Segera aku meringsek di balik tembok rumah. Aku mengelus dadaku yang seperti akan meledak. Kucoba mengatur napasku yang tidak karuan. Semoga ia tidak melihatku. Dengan penuh kehati-hatian aku mengintip dari balik tembok. Dia sudah tidak ada di sana, meninggalkan karung itu begitu saja.
Buk! Karung yang ujungnya belum terikat itu tergelimpang dan sesuatu di dalamnya menyembul keluar. Saat itu juga aku terbelalak, terdiam dengan mulut menganga. Tubuhku gemetar, “Itu … rambut?”
Tiba-tiba aku merasakan seseorang menyekap mulutku dan menarikku dari sana. Aku terus mencoba berteriak tapi suaraku tertahan dekapannya. Bukannya melepas, tangan kekar itu justru menyeret tubuhku. Keluar dari rumah itu.
***
Sebulan setelah kejadian itu, aku membatasi diri keluar rumah—kecuali untuk bekerja atau hal penting lainnya. Pulang-pergi ke kantor pun aku selalu ditemani Jack. Ya, aku beruntung karena saat itu Jack menyelamatkanku. Jika tidak, mungkin nyawaku sudah dalam bahaya.
Aku memutuskan untuk tidak lagi peduli pada lelaki misterius itu. Aku memilih untuk diam, seolah-olah semuanya tidak pernah terjadi. Jack pun melarangku untuk ikut campur. Kurasa Jack benar. Tidak seharusnya aku membahayakan diriku sendiri. Risikonya terlalu besar untuk kuhadapi sendirian. Lagipula masih banyak hal yang bisa kulakukan di rumah, misalnya mengerjakan tugas kantor, atau menekuni hobi memasakku.
Hari ini, sejak sore aku menyibukkan diri di dapur, memasak beberapa menu kesukaan Jack untuk kami santap bersama: beef lasagna, fettucini carbonara, dan cheese cake. Seiring waktu, hubunganku dengan Jack semakin erat. Aku senang karena setidaknya masih ada seseorang yang bisa menemaniku ketika Lily tidak ada.
Ah, tiba-tiba aku merindukan anak itu. Wajahnya yang lucu terus berkeliaran di otakku. Andai saja malam ini ia datang, pasti akan menyenangkan. Itu dia! Kenapa tidak kuajak saja ia menginap malam ini. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di kamar. Aku mengirim pesan singkat untuk Lily. Lima menit kemudian pesan itu pun berbalas: Oke kak!
Tok! Tok! Tok!
Aku segera turun begitu mendengar suara ketukan pintu.
“Pizza!” seru Jack mengagetkanku.
“Aku sudah menyiapkan makan malam, tapi kau malah membeli pizza?” ucapku sambil mempersilakannya masuk. Setelah meletakkan mantel yang ia pakai, lelaki beralis tebal itu langsung duduk di kursi meja makan. Sementara aku mulai menyajikan makanan yang sudah kubuat.
Jack mulai membuka kardus kotak pembungkus pizza yang ia bawa.
“Aku tidak mungkin meracunimu, Jack.”
“Siapa tahu, Nona?” Aku menggeleng sambil tersenyum ke arahnya. Tapi ia sama sekali tak membalasnya, tatapannya sulit kuartikan.
“Sepertinya kau sangat lapar,” ucapku mengalihkan pembicaraan. Sesekali ia mengangguk dengan pipi yang menggembung karena penuh dengan makanan. Aku yang baru saja duduk beranjak bangun untuk mengambil sebotol soda yang kuletakkan di lemari pendingin di sisi meja makan.
“Ya, begitu laparnya sampai aku ingin menghabiskan semuanya.”
“Kalau begitu habiskan saja.”
Jack meneguk soda yang kuberikan lantas menatapku lekat-lekat. Tidak seperti biasanya, sikapnya hari ini sangat berbeda. Jujur, aku sedikit merasa takut.
“Tenanglah, Jane. Kau berada di rumahmu sendiri. Bukan rumah lelaki misterius itu,” ucapnya tiba-tiba setelah cukup lama kami terdiam.
“Bukankah kita sepakat untuk tidak membicarakannya?” kataku mengingatkan. Jack mengangguk lalu meneguk lagi soda yang ia pegang.
“Aku hanya penasaran kenapa kau begitu ingin melihat mayat itu,” ucapnya tenang.
“Mayat?” tanyaku menyelidik. Aku semakin merasa takut.
“Ya, mayat di dalam karung itu. Kau lupa?” Jack menarik potongan pizza dan menggigitnya.
Ia berhenti mengunyah setelah menyadari bahwa aku menatapnya dengan raut wajah serius. “A—aku tidak pernah memberitahumu jika itu mayat, Jack.”
Jack menyandarkan punggungnya. Tersenyum kecil lalu melemparkan potongan pizza yang sudah digigitnya ke dalam piring. Menatapku sambil mengusap mulutnya dengan sapu tangan. Di detik berikutnya ia mencondongkan badannya ke arahku.
“Jadi kau sudah mengetahuinya?” tanya Jack, “gadis pintar.”
“Mak—maksudmu?” aku sontak berdiri.
“Haha, apa aku harus mengatakannya sendiri?”
“Ja—jadi kau…?” ujarku dengan mata berkaca-kaca. Aku melangkah menjauhi Jack. Bukannya mengejarku, ia malah pergi ke pintu depan dan menguncinya dari dalam. Sekarang Jack—lelaki misterius itu—berhasil mengurungku di rumahku sendiri.
Sebelum Jack membalikkan badan, aku berlari ke arah tangga. Sebelumnya aku sempat meraih ponselku dan sesuatu di atas kulkas. Jack tertawa dan mulai mengejarku. Saat ia mulai dekat kusemprotkan benda itu ke wajahnya.
“Arrgghh!”
Ia mengerang kesakitan usai gas dari semprotan lada itu menyembur ke wajahnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung naik ke atas dan berlari masuk kamar. Mengunci pintunya kemudian bersembunyi di sela lemari. Ia masih mengerang kesakitan sambil terus mengejarku.
Brakk! Brak!
Jack berkali-kali menerjang pintu. Setelah pintu itu ambruk, ia langsung masuk dan berdiri tepat di depan pintu. Kamarku saat itu gelap dan ia tidak tahu di mana letak sakelarnya. Aku berdiri dengan kaki gemetar. Keringat dingin mengucur di dahiku. Mataku mulai berair menahan tangis. Setengah mati aku menahan suara napasku.
Hening. Tidak ada suara yang terdengar. Ia betul-betul tenang, tak heran jika ia bisa menutupi kejahatannya selama ini. Aku menghela napas, memejamkan mata lalu kulihat bayangannya perlahan mendekat. Hati-hati aku menghidupkan ponselku, kuperiksa kontak, tetapi aku tidak tahu siapa yang perlu kuhubungi saat ini.
“Keluarlah, Jane! Aku tahu kau di sana,” masih kudengar Jack mengerang kesakitan. Nampaknya pandangannya terganggu setelah lada panas itu masuk ke matanya. Dari bayangannya, aku tahu kalau ia berjalan limbung. Ia mendekat, dan pada saat yang kuperhitungkan, aku muncul dan menyemprotkan kembali gas lada itu ke wajahnya.
Kali ini ia sigap mengelak, meskipun begitu gas itu sempat menyambar telinganya. “Arrgghh!” erangnya. Panas dari gas itu membuatnya menjerit hingga jatuh ke belakang. Melihat kesempatan itu, aku segera berlari keluar, tapi ia menjegal langkahku dengan kakinya.
Tubuhku jatuh menubruk meja kecil dan menyenggol lampu tegak di sampingnya. Ponselku terlempar ke bawah ranjang. Pecahan lampu itu berserak dan sempat melukai lenganku. Aku mencoba bangkit tapi Jack menangkap kakiku, membuatku kembali terjatuh.
Ia kemudian mencengkam dan menamparku beberapa kali. Darah segar mengalir dari hidung dan bibirku yang pecah. Aku mencoba berteriak tetapi suaraku tertahan karena ia menekan leherku dengan tangannya. Ia memaksaku diam atau ia akan membunuhku.
“Kau tidak bisa lari ke mana-mana sekarang. Ha ha ha,” bisiknya disusul tawa yang menggema. Aku yang tidak berdaya mencoba menggapaikan tanganku sejauh mungkin, mencoba menangkap apa pun yang bisa kugunakan untuk menyerangnya. Namun tak ada apa-apa di sekitarku.
“Aw!” Jack menghantam lenganku dengan tinjunya. Sontak aku menarik tanganku yang terasa sakit luar biasa.
“Dengar, Jane! Sekeras apa pun kau mencoba, kau tidak akan bisa lari dari sini. Ingat itu,” bisik Jack sambil menyeringai. Aku makin tak berdaya, wajahku sakit karena tamparannya. Tanganku perih dan lututku nyeri setelah menabrak meja, selain itu, tubuhku bergulingan dengan pecahan kaca lampu. Aku hanya bisa menangis menahan sakit.
“A—apa yang kau inginkan?” ucapku terbata-bata. Seketika raut mukanya berubah.
“Aku cuma ingin kau … arrgghh!”
Jack tersungkur. Ia mencoba menyumpal darah yang mengucur deras. Beruntung, saat ia lengah aku meraih pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Mengayunkan pisau itu tepat di pergelangan tangan kirinya. Sementara Jack kesakitan, aku mendorong kuat-kuat tubuhnya, meringsek ke belakang lalu mengambil sesuatu yang tergeletak di lantai: badan lampu tegak yang tadi sempat pecah. Tiang lampu itu terbuat dari besi yang cukup tebal dan pas di gengggaman tanganku. Jack masih meraung kesakitan. Saat ia berbalik, aku melihat kesempatan, langsung keayunkankan tiang itu sekuat tenaga ke kepalanya.
Jdak!
Jack terjerembab di lantai usai tiang itu menghantam keras belakang kepalanya. Aku terpaku menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Apakah ia tewas? Aku belum tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya, sampai tiba-tiba terdengar dering telepon dari ponselku. Memecah hening yang mencekam itu.
***
Seminggu kemudian rumah Jack─si psikopat misterius itu—dipenuhi oleh warga. Pagi hari sekitar jam sembilan, polisi berdatangan. Jack ditemukan tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan. Polisi menduga, ia bunuh diri.
Beberapa warga dimintai keterangan oleh polisi, tapi tak ada satu pun yang bisa memberikan kesaksian penting. Mereka mengaku jarang bisa berpapasan dengan Jack, lagipula kompleks ini memang selalu sepi.
Aku memperhatikan mereka dari jendela rumahku. Jarak rumahku dan tempat kejadian perkara berselang dua rumah, tentu pihak kepolisian akan mengutamakan penyelidikan ke tetangga terdekat terlebih dahulu. Kalaupun nanti mereka sampai ke sini, tak ada alasan pula bagi mereka untuk mencurigaiku.
Hanya saja hal itu tak sepenuhnya membuatku nyaman. Ada seseorang yang mengetahui kejadian malam itu. Aku tidak tahu apakah suatu saat kesaksian itu akan terungkap dari mulutnya. Yang aku tahu, ia sangat menyayangiku.
Lagipula, siapa yang percaya dengan omongan anak kecil?
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Penggemar Spongebob dan Harry Potter.
Fb: Triandira.
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Halaman FB