Ikan Koi dan Kue Bulan

Ikan Koi dan Kue Bulan

Ikan Koi dan Kue Bulan

Oleh: Jeevita Ginting

Alkisah, Hu Yi sang pemanah, berhasil memanah sembilan dari keseluruhan matahari di langit, se­hing­ga menyisakan satu saja. Ba­nyaknya matahari membuat bumi sangat panas, sehingga orang-orang menderi­ta karena kekeringan dan kelaparan. Atas keberhasilan Huo Yi, raja menghadiahinya pil panjang umur. Namun kekasih Huo Yi, Chang Erl, menelannya karena seorang pegawai mereka ingin mencuri pil itu saat Huo Yi meninggalkan Chang Erl sendirian. Akhirnya, Chang Erl mendapat kehidupan abadi di bulan sebagai Dewi Bulan. Huo Yi menyesali kejadian itu, tetapi dia tak bisa mengubah keadaan. Untuk mengobati kerinduan pada sang kekasih, setiap tanggal 15 bulan kedelapan, ia duduk di altar untuk minum teh dan menikmati kue bulan sambil menunggu Chang Erl menampakkan diri ketika bulan purnama.

Nainai menaruh cangkir-cangkir porselen yang tersusun rapi di atas nampan ke meja makan, lalu mulai mengelapnya satu per satu. Seperti saat festival kue bulan pada tahun-tahun sebelumnya, dia akan menggunakan cangkir warisan leluhurnya untuk acara istimewa nanti malam. Seluruh keluarga besar kami akan datang untuk menikmati hidangan spesial dan kue bulan yang merupakan simbol keberuntungan sambil minum teh.

“Apa alasan Chang Erl menelan pil Huo Yi, Nai?”

“Supaya pil itu tidak dirampas pegawainya.”

Saya mengangguk beberapa kali, lantas meraih kain untuk membantu Nainai membersihkan cangkir-cangkir itu, sambil membayangkan kisah sang pemanah matahari yang selalu diceritakan Nainai ketika saya datang berkunjung saat festival kue bulan. Kenapa Huo Yi meninggalkan Chang Erl sendirian? Lalu setelah Chang Erl menjadi Dewi Bulan, mengapa dia tetap terus menunggunya? 

“Karena dia sangat menyayanginya. Dan mungkin saja Huo Yi memiliki urusan penting sehingga meninggalkan Chang Erl sendiri,” tutur Nainai sambil terus menggosok cangkir yang sebenarnya sudah mengkilat itu. 

“Lalu kenapa dia menunggu sambil makan kue bulan?” Saya kembali bertanya.

“Untuk mengenang Chang Erl yang sudah menjadi Dewi Bulan.”

“Apa Nainai tau, hingga berapa lama Huo Yi terus menunggu Chang Erl?”

Nainai bergeming, menaruh cangkir yang baru dilap, lantas mengambil cangkir lainnya, mengabaikan pertanyaan saya. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin dia memang tidak tahu, atau bisa jadi sengaja enggan memberitahu, entahlah.

Pertanyaan saya selalu tidak sepenuhnya terjawab, sehingga membuat saya semakin penasaran. Sama penasarannya seperti saat Yeye menunjukkan sebuah peti kayu kecil miliknya yang terpajang di lemari ruang tamu.

Yeye akan mengambil peti itu, lantas menaruhnya di kursi panjang yang ada di halaman belakang rumah, lalu meminta saya duduk, mendengarkan kisah masa kecilnya.

Sore itu hujan turun deras sekali. Seekor ikan koi kecil yang entah dari mana asalnya hanyut, terbawa aliran air hujan menuju halaman belakang rumah ini. Tak lama, seorang gadis dengan rambut yang digelung muncul, menangkap ikan itu lantas membawanya pergi. Keesokan harinya saat hujan kembali turun, si ikan koi lagi-lagi hanyut ke halaman belakang rumah. Dan gadis itu kembali datang menangkap ikan itu. Lalu hari berikutnya lagi, si ikan koi tetap hanyut ke sini. Namun kali ini si gadis tidak datang untuk menangkapnya.

“Mengapa gadis itu tidak datang?” Saya mendekatkan wajah ke Yeye, memperhatikannya dengan serius.

Yeye tersenyum, membuka peti kayu itu perlahan, lantas meraih sesuatu di dalamnya. 

Saya mengernyit melihat sembilan buah kelereng di kedua telapak tangan Yeye. Tiap-tiap kelereng memiliki warna yang berbeda. Perhatian saya tertuju pada kelereng berwarna putih dengan corak biru dan jingga. Saya pun mengambil kelereng itu.

“Kelereng-kelereng ini hadiah dari gadis yang menangkap ikan koi itu.”

Yeye menghela napas. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Saya masih asyik memperhatikan kelereng ini.

“Gadis itu tidak datang untuk menangkap ikannya, mungkin dia yakin kalau ikan itu nantinya tetap akan hanyut lagi.”

“Darimana Yeye tahu kalau dia yakin ikannya akan tetap hanyut? Lalu, apa benar ikan itu miliknya?”

“Yeye hanya menebak. Dan ya, ikan koi itu memang miliknya. Dia menaruhnya di sebuah kolam kecil, makanya Ikan itu bisa hanyut terbawa aliran air hujan.”

Yeye memasukkan kelereng-kelereng di tangannya ke dalam peti, lantas mengetuk-ketukan jari ke tutupnya sambil mengedarkan pandangan ke halaman.

“Dia memberikan kesepuluh kelerengnya sebagai hadiah, karena Yeye menangkap ikan itu, lalu memeliharanya sampai dia mengambil ikannya kembali.”

“Lalu mengapa sekarang Yeye hanya memiliki sembilan kelereng?”

“Dia memintanya kembali. Warnanya sama dengan yang kamu pegang. Itu kesukaannya.”

Kelereng ini warnanya memang cantik, pantas jika dia tetap ingin memilikinya.

Ni hao, ma ….” Suara melengking terdengar dari ruang tamu. Cika, Adikku yang digendong Yeye tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya. Mereka datang bersama Mama Papa dan beberapa kerabat kami. Kerabat yang lain juga berdatangan. Saya dan Nainai mulai menyajikan hidangan yang lezat di atas meja. Juga dengan kue bulan dan tehnya.

Hal yang paling membuat saya merasa senang ketika berkumpul dengan seluruh anggota keluarga seperti saat ini karena saya bisa mendengarkan kisah-kisah baru maupun kisah lama dari mereka. Seperti kisah asal mula festival kue bulan yang selalu diceritakan Nainai, maupun kisah seorang dewi yang selalu memberi kemakmuran bagi penduduk bumi.

Adik saya turun dari kursinya, lalu mendekati Nainai. “Nai, Cika mau dengar cerita Huo Yi lagi.”

Nainai menurut, dia pun kembali bercerita tentang si pemanah itu. Namun tidak hanya itu, Nainai juga bercerita tentang ikan koi yang membawa keberuntungan, seperti kue bulan.

Seusai bercerita, Nainai merogoh saku dress putihnya, meraih sesuatu. Entah apa itu, tapi yang pasti sesuatu di dalam genggamannya itu membuat dia terdiam beberapa saat.

“Cika mau lihat ikan koi yang berada di dalam bulan?” tanya Nainai kemudian.

Gadis kecil berkepang dua itu mengangguk. Kedua matanya berbinar. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk segera melihat benda itu.

Saya tercekat ketika Nainai menunjukkan benda yang digenggamnya. Kelereng berwarna putih dengan corak biru dan jingga, seperti kelereng yang sama dengan milik Yeye.

“Lihat, coraknya mirip ikan koi, kan?” Nainai tersenyum, lantas mencuri pandang kepada Yeye dan istrinya di seberang meja. “Tapi sayangnya benda ini tidak sama sekali membawa keberuntungan.” (*)

Jeevita Ginting. Gadis yang lahir di tahun kabisat.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply