Monster-Monster di Rumah Jagal

Monster-Monster di Rumah Jagal

Oleh: Ade Trias.

Aku sedang menikmati hangat matahari pagi saat suara ketukan terdengar dari pintu kamar. Dari balkon, kulihat Ibu masuk seraya tersenyum.

“Mandi, lalu ganti baju, kita harus segera bertemu Dokter Ardi,” kata Ibu seraya membawaku masuk. Tangannya segera sibuk melepas bajuku.

Aku menggelengkan kepala tanda tak mau, tapi Ibu bersikeras. “Sayang, jangan begitu. Kalau kamu mau sembuh, kamu tidak boleh malas terapi,” katanya.

Aku menggeleng lagi, bahkan kali ini menggeleng lebih kuat sampai otakku berhamburan ke lantai, berharap Ibu akan terbius dengan itu, tapi gagal. Beliau tetap memegang tongkatnya dengan kuat.

“Fika, sayangnya Ibu … kita ketemu dokternya cuma sebentar, kok. Janji, cuma sebentar!” Ibu mengangkat dua jari, melonggarkan sedikit pegangannya pada tongkat.

Aku menggeleng lagi, kuat sekali, sampai sebagian besar otakku berceceran. Namun, sia-sia. Ibu ikut menggeleng dengan tetap memegang tongkatnya, lebih erat lagi.

“Kita harus bergegas.” Begitu katanya.

Baiklah, aku mengalah. Lagi-lagi aku membiarkan Ibu memenangkan pertarungan. Ia memang pemegang tongkat yang handal. Aku selalu gagal membuat Ibu menjatuhkan tongkatnya.

Dari pada otakku semakin banyak yang berceceran karena terus menggeleng, akhirnya aku menurut. Padahal sebenarnya aku ingin di rumah saja. Bermain petak umpet dengan beruang besar pemberian Ayah tentu lebih mengasyikkan dari pada pergi menemui vampir di rumah jagal. Aku akan bersembunyi di balik bantal, dan beruang itu akan segera menemukanku, menarikku ke dalam dekapannya. Namun, jika boleh jujur, aku lebih suka bergelung di bawah ketiak beruang. Nyaman dan hangat. Ah, tapi sebenarnya aku menyukai semua bagian tubuh beruang itu.

“Sayang, kenapa belum mandi? Ayo, kita harus bergegas!” Ibu kembali saat aku sedang sibuk mendengarkan dua hantu kecil yang bertengkar di dalam kepalaku. Mulanya hantu-hantu itu hanya berdebat di dalam kepala, tapi lama kelamaan mereka membesar, hingga tak lama kemudian keluar melalui telinga dan hidungku. Saat melihat Ibu, hantu itu mengecil lagi, tapi mereka tetap di luar kepalaku.

“Jangan mau! Jika kau mengikuti apa kata ibumu, kau akan kesakitan lagi!” seru hantu kecil berbaju merah.

“Tidak, kau harus menuruti apa kata ibumu! Bukankah ini semua dilakukan agar kau sembuh dan bisa bicara lagi?” sergah hantu kecil berbaju hijau.

Hantu kecil baju merah mendorong hantu kecil berbaju hijau hingga menabrak tembok dan kepalanya pecah. Setelah menginjak lawannya yang terkapar tak berdaya, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Kau bisa pura-pura menangis agar ibumu tak membawamu pergi.”

Aha! Ide brilian! Aku baru saja akan menggunakan cara itu, tapi hantu berbaju hijau menggelengkan kepalanya kuat-kuat hingga kepala itu lepas.

Aku masih diam di tempatku berdiri, bingung harus menuruti kata siapa saat tiba-tiba tangan Ibu sudah lebih dulu meraih kausku, melepasnya, lalu membimbingku ke kamar mandi.

“Besok Dokter Ardi harus pergi ke luar kota, jadi terapinya dimajukan hari ini,” kata Ibu seraya membasuh tubuhku.

“Bagus kalau dokter itu pergi. Kau hanya perlu berpura-pura menangis sekarang. Besok kau tidak harus menemuinya lagi!” Hantu baju merah yang duduk di telinga kiriku bersorak girang.

Hantu baju hijau menggelengkan kepala lagi saat aku memikirkan ide pura-pura menangis. “Kau harus menemui dokter itu agar cepat sembuh!” katanya berulang-ulang.

Tangan Ibu bekerja secepat kilat. Sebentar saja tubuhku sudah hangat dalam balutan baju panjang. Hantu-hantu kecil itu masih berkeliaran di dekat kepala, berdebat tentang apa yang harus kulakukan sekarang. Sejak Ibu menyisir rambutku sampai aku memakai sepatu, dua hantu itu masih saja bertengkar, berebut masuk ke dalam kepalaku.

“Sudah siap?” Ayah muncul bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Perlahan melangkah masuk, lalu membantuku mengikat tali sepatu. “Kita akan bertemu Dokter Ardi. Ayah janji, sepulang dari terapi, Ayah akan mengajakmu ke toko buku. Kau bisa membeli buku atau apa saja yang kau mau,” ujarnya seraya tersenyum.

Mendengar ucapan Ayah, hantu berbaju merah mencibir sedangkan hantu berbaju hijau bersorak kegirangan, lalu masuk ke dalam kepalaku.

Hantu baju merah masih berusaha masuk ke dalam kepalaku, tapi gagal. Hantu baju hijau yang sudah berhasil merapikan otakku yang tadi berceceran, kini sibuk mencibir hantu berbaju merah. Sebenarnya aku ingin memasukkan hantu-hantu itu ke dalam mulut lalu mengunyah mereka, tapi tidak bisa karena sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, monster alat terapi terus menggangguku. Mereka menyeringai lebar dengan air liur yang menetes dari celah mulut. Monster-monster itu kelaparan! Aku sibuk menyelamatkan diri karena sebentar lagi mereka pasti akan menelanku bulat-bulat.

“Apa kubilang? Jangan ikuti kata Ibumu!” Hantu berbaju merah berteriak dari dalam lubang telinga, bersembunyi dari monster alat terapi. Aku tidak mendengar hantu berbaju hijau berbicara. Dia pasti sama takutnya dengan hantu berbaju merah, juga sama takutnya denganku.

“Sayang … kita sebentar lagi sampai,” kata Ibu lembut.

Ucapan Ibu membuat monster alat terapi tumbuh semakin besar. Berkali-kali lipat lebih besar dari ukuran semula. Aku memejamkan mata saat mereka mendekat. Kadang mereka hinggap di kaca depan, tapi tak jarang juga mereka menggodaku melalui kaca samping, tepat di sebelah kiriku. Ia bahkan menendang mobil hingga terdampar di halaman rumah sakit.

“Hei, kenapa tanganmu dingin sekali?” Ibu menunduk. Matanya yang suka berbohong itu menatapku. “Jangan khawatir, Ibu akan menemanimu.”

Kami melangkah di lorong yang mengerikan. Banyak vampir yang melihatku dengan tatapan lapar. Mereka menyeringai, siap menerkam tubuhku kapan saja. Saat Ayah berhenti di depan pintu hitam, aku tahu, aku akan segera bertemu dengan vampir yang paling mengerikan.

Saat pintu itu terbuka, vampir yang kutakuti benar-benar muncul. Dia menyeringai, menampilkan barisan gigi yang menyeramkan. Ada banyak sekali darah yang menetes dari jas putih yang ia kenakan.

Aku mundur selangkah. Belum juga aku berhasil mengatasi vampir itu, satu vampir yang lainnya muncul. Ia melakukan hal yang sama, menyeringai lebar seraya memamerkan barisan gigi tajam yang mengerikan. Saat aku berusaha mundur, Ibu menahan tanganku. Mataku menatap ngeri saat Ayah dan Ibu menyeringai lebar seperti yang dilakukan para vampir. Wajah mereka berubah mengerikan!

Aku mengentak kasar tangan Ibu, berusaha melepaskan diri dari genggamannya yang erat. Namun, saat kakiku hendak berbalik, Ayah meraih tubuhku.

“Sayang, kita mulai terapinya, ya.”

Monster yang sejak tadi menggangguku di perjalanan menuju ke sini tiba-tiba bangkit. Ia menggerakkan tubuhnya yang besar, bersiap menyantapku. Mulutnya terbuka lebar dengan liur yang menetes di sudut bibir.

“Jika terapi terakhir ini tidak berhasil, kita terpaksa mengambil tindakan operasi, Pak, Bu. Hanya itu yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pita suara Fika.” Vampir paling mengerikan itu berkata pelan, tapi aku mampu mendengarnya.

Monster terapi itu menyeringai lagi saat mendengar apa yang diucapkan si vampir. Ia menggeliat, mulutnya menganga lebar, siap mengunyah tubuhku yang disodorkan ke hadapannya.

Ade Trias-seorang wanita yang menyenangi dunia menulis

 

 

Editor : Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply