Anak Angkat
Oleh : Siti Nuraliah
Dulu, saat pertama singgah dan menetap di rumah ini, rang-orang rumah ini tidak keberatan aku tumpangi. Lagi pula, waktu itu aku juga tidak sadarkan diri, karena kelelahan. Awalnya hanya ingin sekadar menumpang tidur dan meminta makan. Dan penghuni rumah juga mempersilakan dengan memberi tempat di ruang bekas warung yang sengaja mereka bersihkan. Semua sangat ramah, sehingga aku merasa sangat diterima.
Aku tidak tahu, mengapa saat itu aku sangat ingin berjalan jauh—setelah kematian ibuku. Tiba-tiba saja, aku menjadi sangat kehilangan, dan oleh karena ingin mengusir kepedihan itu aku berjalan beberapa hari dan aku mulai kelelahan. Sampailah di teras rumah ini. Anak pemilik rumah ini yang kuperkirakan usianya enam tahun, seorang gadis cantik berkucir dua adalah gadis yang mendapatiku sedang rebah di teras rumahnya suatu sore. Kemudian dia memanggil-manggil ibunya, setengah berlari masuk ke dalam rumah, sehingga aku tidak dapat mendengar apa yang gadis itu katakan pada ibunya.
Saat itu kesadaranku sudah hampir habis, aku merasa kematian sudah semakin dekat. Biarlah aku menyusul ibuku dan bersama-sama bertemu di surga. Lalu ketika kesadaranku timbul tenggelam, gadis kecil itu kembali datang bersama ibunya membawakanku sepiring makanan dan air minum. Sepiring nasi lengkap dengan lauk ikan pindang. Hidungku ternyata masih normal, aku bisa mencium aroma makanan itu, dan perutku melilit, meronta seperti kelapa yang diperas diambil santannya.
Diletakannya makanan itu di sampingku. Aku masih lemas, bahkan untuk menggerakkan kaki saja perlu perjuangan. Lalu gadis kecil yang baik hatinya ini membantu membangunkanku. Dia tidak banyak bicara, atau memang dia tahu kalau aku masih lemah untuk sekadar diajak bicara. Dia mendekatkan air minum padaku, dan aku mulai meminumnya dengan sedikit-sedikit. Dia memandangku lekat-lekat, aku membalas pandangannya dan dia mengangguk. Aku mengerti itu isyarat untuk aku agar segera makan. Dan aku makan dengan lahap.
Hari sudah mulai gelap, aku sudah berada di ruangan. Dengan tempat tidur cukup nyaman. Mereka sengaja memperlakukan tamu dengan istimewa. Sepertinya penghuni rumah ini berhati mulia. Aku juga tidak keberatan, diberi tempat pada bekas warung yang menyatu dengan rumah. Karena belakangan itu juga aku tahu kalau di rumah ini hanya punya dua kamar. Dan bila pun aku satu kamar dengan anak gadisnya, aku tahu diri, aku pasti menolak dan akan memilih tetap di ruangan ini. Semakin lama, aku semakin betah. Semua penghuni rumah ini sudah menganggapku sebagai keluarga mereka sendiri.
Aku sering diajak ikut main oleh anak gadis pemilik rumah ini. Teman-teman main dia juga sangat menyukaiku. Katanya aku sangat lucu dan juga baik. Aku hampir tidak pernah membuat kesalahan.
Di rumah ini, aku tidak pernah disinggung asalku dari mana, anak siapa, dan mengapa bisa pingsan di teras rumah mereka. Mereka seperti masa bodo dengan masa laluku, dan terlihat seperti sudah tahu semua hal tentangku. Sehingga tidak pernah sekali pun menanyakan keluargaku. Aku juga begitu, yang aku syukuri sekarang adalah aku telah punya keluarga baru. Mereka menyayangiku seperti anaknya sendiri.
Namun sesuatu terjadi padaku. Setelah aku dan anak gadisnya telah sama-sama menuju remaja. Aku jadi jarang diajak main bersama. Gadis yang sekarang sudah remaja itu lebih sering berlama-lama di kamarnya. Aku jadi canggung untuk mengganggu. Barangkali dia sudah punya pacar, dan sedang asyik mengobrol lewat telepon atau sedang saling berbalas pesan singkat.
Akhirnya aku memutuskan untuk bermain sendiri. Aku keluar pagar berniat untuk berjalan-jalan sore. Tidak sengaja berpapasan dengan seorang pemuda. Amboi! Aku yang sedang pubertas, merasa deg-degan. Perawakan pemuda ini gagah terawat, wajahnya memang tidak terlalu tampan, tapi dia mempunyai kuku-kuku yang bersih, dan itu yang membuatku langsung jatuh hati. Sebelumnya aku belum pernah bertemu dengannya. Apa dia pendatang baru? Jiwa mudaku bergejolak, aku memberanikan diri mendekatinya. Tidak disangka, kami langsung akrab.
Setiap sore, aku menjadi sering keluar. Dan ketika ibu angkatku memergokiku sedang bersama pemuda ini, dia langsung memarahiku dan menyuruhku pulang. Aku sebal, padahal anak gadisnya juga sering berlama-lama di dalam kamar berbalas pesan dengan pacarnya. Tapi aku juga tidak mau kalah. Aku bilang pada pemuda ini—yang sekarang sudah menjadi pacarku—agar dia kembali menemuiku nanti malam.
Dan malam ini, saat lampu rumah telah semua dimatikan, aku memiliki banyak waktu untuk berlama-lama dengan pacarku. Ruangan tempatku ini sangat luas untuk kami bercinta. Aku tahu semua penghuni rumah juga sudah tidur pulas saat pacarku datang. Sebagai pasangan yang sedang dimabuk cinta, aku menerima kedatangannya dengan penuh gairah. Dia pun sama, mulanya kami bermain dengan pelan-pelan. Tapi lama-lama pacarku tidak bisa mengontrol diri, dia mulai bermain kasar membuatku menjerit-jerit kesakitan. Sampai-sampai penghuni rumah ini terbangun dan menggedor pintu ruangan. Aku memelankan suara, tapi lagi-lagi pacarku terlalu kasar. Aku tahu, ibu angkatku sudah bangun, merasa terganggu dan risi serta bersiap mengobrak-abrik ruangan ini. Dan benar saja, saat kami hendak sama-sama menuju puncak pencapaian, ibu angkatku berteriak sampai memekikkan telinga.
Karena kaget bercampur marah, kami sama-sama lari keluar lewat pintu depan. Aku membalas serapah ibu angkatku, “Meeoowww …!!!” []
Banjarsari, 28 November, 2020
Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.
Editor: Imas Hanifah N