Cermin Antik

Cermin Antik

CERMIN ANTIK
Aris Handaru

Cermin … cermin … di dinding. Tunjukkan apa yang kamu sembunyikan.

Aku terbangun dengan peluh membanjiri pelipis, membuka paksa kelopak mata. Terpapar sinaran mentari secara mendadak membuatku cukup pusing. Jemari tanganku menangkup wajah sejenak, menyesuaikan cahaya yang memengaruhi penglihatan hingga siap.

“Ah … mimpi itu lagi …,” keluhku saat menatap cermin yang terpampang nyata di hadapan. Letaknya beberapa meter di depan ranjang. Terlihat tua dengan ukiran bunga sepatu pada kayu yang membingkai.

Kakiku bergerak melangkah begitu turun dari ranjang, mendekati letak pantulan tubuh yang begitu sempurna sama persis. Sekilas perbedaannya terlihat sangat nyata. Seakan bayang-bayang mata menengok dari balik cermin, mungkin mengintip lebih tepatnya.

“Nyata, kah?” tanya batinku. Kujalankan jemari di permukaannya. Mulus. Tidak ada tangan yang menarik, atau jari yang tenggelam layaknya air. Ini nyata, bukan mimpi.

Aku cepat menggelengkan kepala, mengusir bayang-bayang mata yang kupikir sebuah refleksi mimpi yang belum tuntas. Benar saja. Mereka menghilang seketika.

“Dani!” Teriakan wanita di luar kamar menyadarkan. Aku benar-benar harus menyegarkan diri agar mampu berpikir logis. Tanpa sadar mengacak rambut karena disorientasi keadaan. Di bayang cermin tak ada siapapun. “Hanya aku. Ya. Aku.”

Berusaha meyakinkan diri seraya bersiul meninggalkan kamar, membiarkan tanya tetap dalam benak. Terkadang benda tua selalu memiliki rahasia. Termasuk ranjang yang menjadi tempat tidurku setahun terakhir.

Awalnya hanya satu-dua yang mampir. Mungkin dalam bentuk guling, atau selimut putih. Tahulah sebutannya. Mungkin juga karena abai, mereka terkadang seenaknya menggunakan kamarku untuk berkumpul.

Sudah di depan kamar mandi. Tak lupa berdoa sebelum melangkahkan kaki kiri untuk masuk. Harus gerak cepat sebelum nyonya besar kembali berteriak karena aku belum juga muncul di meja makan.
***

“Dan, enggak di-loakkin aja tuh cermin? Lumayan. Antik,” usul Kalila yang bersandar di ranjangku seraya memainkan ponsel.

Aku bergeming. Berpikir tidak semudah itu melepaskan benda yang dalam sekali lihat mampu menjerat perasaan. Cermin yang kusentuh setiap detailnya saat dibersihkan, terasa begitu akrab. Terasa kerinduan yang mengusik.

“Harganya pasti mahal.” Kalila kembali bicara. Ponselnya sudah tak berada dalam genggaman lagi ketika memelukku dari belakang, bersandar senyaman mungkin meski debu beterbangan.

Aku melepaskan diri saat meletakkan lap dalam genggaman di sudut meja terdekat, berbalik meraih wajahnya lebih dekat. Menunggu ia menutup mata. Kukatakan, “Tidak akan,” lalu segera berlari keluar kamar. Yakin gadis modis itu akan sangat kesal kutinggalkan.

Beberapa jam berlalu dan tak ada tanda kalau Kalila akan muncul di pertengahan selamatan yang Bunda adakan. Selain karena pakaian yang selalu modis, tentu saja karena marah padaku.

Sudah biasa melihatnya bermanja pada Bunda. Beralasan jika keluarganya hampir tak punya waktu karena karir.

Tentu saja pecahan kaca bertebaran setelah Kalila pergi tanpa pamit. Aku memungut satu per satu dari atas lantai. Sesekali serpihannya mengenai jari yang tak tertutup. Berdarah.

Aku menyerah. Terlalu banyak untuk ditaklukan. Setelah lelah lalui hari dengan menerima banyak tamu. Akhirnya tubuh hanya mampu berbaring di atas ranjang, menunggu mimpi menghampiri dalam kelam.
***

“Abang! Abang!” Suara yang terdengar memekakkan. Bibirnya jelas menempel di sudut daun telinga. Bukan Kalila tentunya. Kekasihku itu akan selalu berusaha terlihat elegan meski sifat aslinya sangat jauh berbeda.

Saat terbangun, sekeliling bukanlah ruangan yang kukenali. Ranjang besi berderit ketika turun mengikuti tarikan gadis kecil di genggaman. Rambutnya pirang kepang dua dengan pita.

Sejenak langkah terhenti, melihat cermin yang sama berdiri tegak di depan ranjang. Warna bingkainya jauh lebih gelap dengan kaca mengilap.

“Abang lihat apa?” tanya gadis kecil yang kembali setelah sadar aku tak mengikuti.

“Bayanganku …,” ucapku terputus mendapati ketiadaan di sana. Sama sekali hilang.

“Cermin itu ….” Belum lagi aku selesai berkata, gadis itu memaksa ke luar kamar.

Teras begitu lapang tanpa sekat. Hutan di sekeliling benar-benar nyata. Tidak sendiri seperti di rumah biasanya. Keramaian para anak dan dewasa bermain bersama membuatku iri. Mereka terlihat nyaman dengan keadaan. Tertawa bersama tanpa gangguan gawai, atau pekerjaan pelik.

Menilik selera pakaian yang dikenakan, mungkin zaman Noni Belanda. Mereka yang bermain mungkin disebut pribumi atau semacamnya.

“Abang! Temani aku bermain!” Gadis kecil itu berteriak dari kejauhan setelah melepaskan diri. Logatnya campuran. Antara medok dan cadel. Ia menarik-narik tali ayunan tak bertuan di bawah pepohonan. Lebih jauh dari kerumunan.

Anehnya, aku menurut. Diri bergerak mengayunkan sang gadis yang telah naik ke dudukan.

“Aku telah lama menunggu Abang kembali.” Kesedihan terdengar jelas dalam getir suaranya. Aku mengernyit heran, tak mengerti. Ingin bertanya, tetapi seolah-olah suaraku tersekat di tenggorokan. Bisu.

“Jangan pergi lagi.” Suaranya menebal, lembut.

Ayunan semakin berat. Tubuh di hadapanku bukan lagi gadis kecil. Lekuknya jelas menunjukkan kedewasaan.

Bukan mengangguk, aku justru berusaha keras untuk melepaskan diri dari kendali yang menguasai. Jemariku mencengkeram kuat tali tambang yang menopang ayunan.

Bibirku merapal doa apa saja yang teringat. Bahkan doa sebelum makan pun tak mempan.

Beberapa kali mencoba hingga tanpa sengaja menjatuhkan sang gadis ke atas permukaan tanah bertabur dedaunan kering. Tak peduli dengan tatapan banyak mata ketika berlari memasuki rumah.

Aku menghadapi cermin yang sama. Lekuknya. Bentuk pahatannya. “Ini benda yang sama,” ucapku saat melihat garis cacat yang dalam di sisi kanan cermin.

“Abang!” Suaranya terdengar indah menggoda dalam teriakan. Mungkin Susana kawe dua setelah Luna Manyun.

Langkah hampir mengikuti jika saja tak melihat tampilan aslinya saat memasuki kamar. Terusan selutut yang dikenakan tak menutupi rembesan darah di kaki. Begitu pula dengan bekas luka yang menggurat di sepanjang wajah kirinya.

“Abang! Rena takut.”
Aku menyentuh permukaan cermin, antara ragu dan takut. Beberapa mimpi menunjukkan hal serupa. Akan tetapi, nihil. Tidak ada apa-apa di cermin, termasuk bayanganku.

“Sial!” Kepanikan justru membuat nalar berhenti. Geraknya yang lambat tak urung buatku berani. Berlari ke tiap sudut mencari jalan keluar. Nyatanya setiap celah dijaga oleh para manusia yang sebelumnya bermain di luar. Luka bakar begitu kentara tercetak di kulit mereka.

Aku berusaha melompati jendela. Berlalu melewati para manusia yang menarik dengan paksa. Baru kusadari pakaian yang robek di tubuh lebih seperti beskap yang pernah Ayah gunakan saat pernikahan Kak Mita.

“Apa ini? Apa aku terjebak dalam film Bumi Manusia versi horor?” pikirku selama pelarian.

Langkahku menuntun masuk lebih jauh ke dalam hutan. Belum berhenti. Isak tangis mengusik. “Jangan lagi …,” keluhku begitu mendapati seorang gadis terikat di salah satu batang pohon.

Pakaian modisnya terlihat tidak asing. Seperti terakhir kali bertemu. Terusan biru sebatas lutut dengan sabuk pinggang yang tipis.

“Kalila?” Aku memastikan dengan mendekatinya. Isakan melunturkan tata rias yang membingkai matanya. Sekilas terlihat seram. Terutama ketika dia histeris melihatku yang tak kalah menyedihkan.

“Dani! Lepasin aku ….” Nadanya terdengar manja begitu yakin jika aku nyata.

Sulur-sulur pengikat ternyata begitu keras untuk ditarik. Hampir menyerah ketika jemariku terluka. Peluh memenuhi tubuh.

“Aku takut, Dan ….” Kalila merintih. Jerat yang kutarik ternyata berduri. Semakin mengerat di tubuhnya.

“Jangan panik, Kal. Pelan … jangan panik.” Aku berusaha menenangkan. Bukan Kalila, tapi diriku sendiri. Nyatanya aku panik hingga melompat frustrasi ketika menarik kembali sulur.

“Jangan bodoh, Dan! Tanganmu!” Kalila berteriak kaget, menyadari darah yang mulai mengalir di antara jemari.

“Sial!” Aku kembali mengumpat. Hilang kebiasaan menenangkan diri. Semakin panik ketika para manusia yang dikendalikan muncul di antara rimbun pohon.

“Lari, Dan! Lari!” pintanya dengan berterik.

Tidak lagi berpikir untuk kabur. Mungkin putus asa, ketika harapan tak lagi terasa, berusaha optimis pun terasa sia-sia.
***

Para kuli angkut mengangkat cermin berukir bunga sepatu ke atas bak mobil. Pecahan cermin mungkin akan diganti dengan baru di tokonya.

Aku bersiul melintasi jalan setapak dari semen menuju pintu rumah. Sesekali menatap pantulan kaca jendela yang tinggi-tinggi. Berharap bayang tidak lagi menghilang.

Sekilas terlihat bayang gadis kecil berambut pirang dengan kepang pitanya. Tersenyum dan melambaikan tangan.

Aku bergidik ngeri. Untuk pertama kali keberadaan mereka membuatku berlari dan segera menutup pintu rumah setelah berada di dalam.

Setelah beberapa langkah, ketukan pintu mengusik. Aku terkejut. Ragu untuk membuka. Selangkah maju, dua langkah mundur. Akhirnya kuputuskan menengok dari balik tirai jendela.

Bayang lain berdiri di depan pintu. Sosok gadis yang sebelumnya berwajah mengerikan, mengetuk berulang kali.

Jemariku terhenti di udara ketika ingin meraih gagang pintu. Bunda ternyata lebih dulu memutar dan membukakan pintu.

“Dan … Dan …. Ada tamu kok enggak dibukain pintu.” Bunda protes tepat di depan gadis yang kumaksud.

Cantik dan sederhana, untuk kesan pertama. Tapi, bayang dari dunia lain membuatku menjaga jarak ketika Bunda justru mempersilakannya masuk.

“Renata, Tante,” ucap gadis itu saat memperkenalkan diri. Tetangga yang kebetulan baru pindah, menempati rumah tua di depan. Pelatarannya sudah bersih, tidak lagi dipenuhi rumput dan krokot.

Senyum lebar terlukis di wajahnya. Menampakkan sederet susunan gigi yang rapi dipagar. Sempat terpikir, Benarkah dia gadis yang sama?

Urung percaya dengan pemikiran yang jauh dari kenyataan. Bisa saja makhluk astral yang mengerjaiku memang menggunakan rupa gadis ini. Aku mengangguk, membenarkan pemikiran yang tidak logis. Kenyataannya, mereka benar ada.

“Abang, namanya siapa?” Dia menoleh padaku. Merasa kepergok, aku berpura-pura melangkah cepat ke dapur. Menghindari pertanyaan lebih tepatnya.

Tunggu. Dia memanggilku dengan sebutan Abang? Enggak salah dengar, kan?

“Dani! Ambilkan minum sekalian!” Bunda berteriak memerintah. Aku menggeleng sekali lagi, meyakinkan diri jika semua hanya kebetulan. Segera kubuka pintu lemari es di dapur dan menuangkan sirop beserta es batu ke dalam gelas tinggi untuk disajikan.

“Dua, Dan!” teriak Bunda lagi. Sebelum ada tambahan berikutnya, aku menyiapkan tiga gelas untuk disajikan.

Gerutuan menyertai di sepanjang langkah membawa nampan. Nasib tidak menggunakan asisten rumah tangga. Jadi segala hal dilakukan sendiri.

Aku hampir menjatuhkan gelas, jika saja gadis bernama Renata itu tidak cekatan menangkap salah satu yang tumpah hingga mengenai gaun terusannya. Aku cukup terkejut melihat gadis kecil yang sebelumnya terlihat dalam pantulan kaca jendela. Rambut pirang dan wajahnya persis sama dengan gadis kecil pada kejadian sebelumnya.

“Rena pulang saja, Tan,” ucapnya saat Bunda menawarkan pakaian ganti. Jantungku terasa berlompatan jika saja Bunda tetap bersikeras membuatnya terus berada di dekatku.

“Dani antar, ya.” Permintaan Bunda benar-benar … tak dapat ditolak. Aku terpaksa mengikuti dari belakang setelah berpamitan. Renata dan adiknya benar-benar di luar dugaan. Masih terbayang kejadian di tengah hutan. Bahkan merelakan cermin antik untuk diangkut.

Semua masih terasa nyata meski pada akhirnya aku dan Kalila terbangun di atas ranjang.dalam keadaan lengkap.

“Abang mau mampir dulu?” tawarnya sebelum masuk. Aku menggeleng perlahan lalu menunduk, menghindari bertatapan langsung. Terasa canggung.

“Aku langsung pulang.” Tanpa menunggu pembicaraan lanjutan, kuayunkan langkah kembali. Sekali menoleh, mereka telah menutup pintu.

Kaki terasa jauh lebih ringan ketika berusaha percaya. Mereka hanya manusia biasa. Jemariku telah sampai pada gagang pintu ketika suaranya kembali memanggil. “Abang. Lupa. Ini kebawa pulang.”

Jelas terkejut. Tidak ada derap langkah, lalu ia berada tepat di belakang membawa sebuah kotak tua. “Rena dengar, Abang sering koleksi benda antik. Ini salah satu warisan yang rasanya perlu diberikan pada Abang.”

Nada riang dalam cara bicaranya benar-benar membuatku tak menyangka. Aneh jika kuhubungkan dengan kejadian astral. Namun, kotak yang dia berikan … seperti kenal. Ukirannya persis sama. Bunga sepatu.

Saat kulempar, tutupnya membuka, menampakkan cermin dengan sulur-sulur yang membelit. Wajah rusak sang gadis terpantul sempurna di balik kaca.
***

Aris Handaru, nama pena dari penulis amatiran. Instagram: Aris Handaru

Leave a Reply