Di Tepian Derita
Oleh : Ardhya Rahma
Kalau saja boleh, aku ingin merutuk kejamnya takdir yang menimpa. Namun, aku tahu seorang hamba tak layak untuk mengajukan protes pada Yang Maha Kuasa. Kedah sumarah kersaning Gusti Allah, begitu nasihat dari Emak dulu. Harus pasrah pada kehendak Sang Pencipta.
Sulit! Sangat sulit! Seakan-akan ada batu besar mengimpit dada saat menerima berita ini. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya agar sarayu menyampaikan kesedihan ini pada Sang Pemilik Hidup. Masih kuingat kejadian pagi tadi, sebelum anakku berangkat ke kampus.
“Ren, tanyakan ke Bu Kantin, apa Ibu masih boleh mengisi kue dan keripik kalau kamu sudah lulus,” ujarku pada Reni yang sedang bersiap berangkat ke kampus untuk mengambil toganya.
“Iya, Bu,” jawab Reni singkat. “Oh, ya, rencananya nanti Reni mau antar Lita ke tempat psikotes, Bu, sekalian mampir ke kantor. Reni kan, mulai masuk kerja Senin, mau ambil seragam,” lanjutnya.
“Loh, kemarin katanya hari pertama boleh ndak pakai seragam?” tanyaku.
“Iya, boleh, Bu. Tempat psikotes Lita kan, dekat sama calon kantor Reni, jadi sekalian. Reni kepingin segera pakai seragam, Bu. Biar Ibu bangga lihat Reni berangkat kerja,” sahut gadis cantik itu.
Aku tersenyum mendengar jawabannya, seperti ada sesuatu yang mengembang di dalam dada.
“Ren, Ibu tuh selalu bangga sama kamu. Anak baik, ndak pernah neko-neko. Meski Ibu tahu, anak seusiamu pasti pengen bergaul dengan temannya. Makan, jalan-jalan ke mal atau melakukan kegiatan menyenangkan lainnya. Lha kamu beda, Nduk … kamu lebih suka temani ibu di rumah. Kamu juga ndak malu berangkat ke kampus sambil membawa kue dan keripik untuk dijual di kantin. Padahal, kamu naik angkot kalau Lita ndak jemput. Pokoknya kamu anak hebat. Ibu sangat sayang dan bangga sama kamu, Nduk …,” ucapku sambil mengelus ujung kepalanya yang dibalut hijab.
Reni tersipu, ia lalu memelukku sambil berkata, “Reni juga sayang banget sama Ibu. Terima kasih untuk semua kasih sayang Ibu selama ini. Terima kasih juga sudah mendukung dan mewujudkan cita-cita Reni. Reni tahu, Ibu bekerja sangat keras selama ini. Belum lagi, Ibu harus selalu merawat Andi. Maafin Reni ya, Bu, belum bisa membalas jasa Ibu.”
Aku membalas pelukan Reni dengan sangat erat, sembari membelai kepalanya. Sayup-sayup terdengar ucapan salam dari luar. Itu pasti Lita yang datang. Bukannya melepas, aku justru makin mempererat pelukan pada Reni. Entah mengapa, rasanya enggan mengurai pelukan dengannya. Sampai akhirnya Reni menepuk punggungku dan melonggarkan pelukan.
“Itu pasti Lita. Kalau begitu, Reni berangkat dulu ya, Bu. Assalamualaikum,” pamitnya sembari mencium takzim tanganku dan bergegas naik ke motor Lita.
“Waalaikumsalam …,” jawabku seraya melambaikan tangan pada Reni. Aku berdiri di depan rumah, melepas kepergiannya, sampai sepeda motor mereka berlalu dan tak tampak lagi setelah membelok di ujung gang. Ada sesuatu yang menyesak di dada. Perlahan, kususut air mata yang merebak di pelupuk, lalu bersiap membawa Andi—anak keduaku–kontrol rutin ke dr. Soetomo.
Lima tahun lalu, anak bungsuku itu terserang meningitis yang disebabkan oleh bakteri di usianya yang baru dua tahun.
Syok! Itu yang kami rasakan. Apalagi ketika dokter menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi dan persentase kesembuhan yang kurang dari lima puluh persen, semakin membuat hati kami masygul. Anak lelaki yang kami tunggu kehadirannya selama sebelas tahun, kini menderita sakit yang tak biasa. Orang tua mana yang tidak gundah gulana menerima kenyataan sepahit ini?
Sekuat tenaga, kami berjuang dan berdoa untuk kesembuhan Andi.
Beberapa bulan berlalu, kondisi fisik Andi semakin membaik. Ia tidak pernah demam tinggi lagi. Hanya saja, anak itu mudah sekali terjatuh. Baru beberapa kali kakinya melangkah, ia sudah ambruk dan tak sanggup berdiri. Bahkan tak jarang, baru saja berdiri dan belum sempat melangkah, ia sudah jatuh.
“Sakit, Bu.” Begitu katanya.
Dokter menjelaskan, kondisi ini terjadi akibat kerusakan syaraf yang dialami tubuh Andi. Karena sering terjatuh, Andi merasa trauma dan malas untuk berjalan. Sekadar belajar berdiri pun ia tak mau. Lama kelamaan, kakinya menjadi lumpuh total dan ia menggantungkan diri pada orang lain.
Kondisi Andi yang lumpuh membuat kami terpukul, terutama suamiku. Melihat anak kesayangan yang diharapkan bisa menjadi seorang tentara mengalami hal seperti itu, membuatnya terpuruk. Apalagi memikirkan utang yang makin menumpuk demi membiayai pengobatan Andi, membuatnya sering termenung.
Puncaknya, di suatu siang, tiba-tiba dua orang kantor datang ke rumah, mengabarkan bahwa suamiku dibawa ke rumah sakit.
Aku menghujani mereka dengan beberapa pertanyaan, tapi mereka hanya terdiam. Hal itu membuatku waswas. Ada apa dengan suamiku?
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit sambil menggendong Andi, mengikuti langkah tergesa kedua orang yang menjemputku tadi.
Saat memasuki sebuah ruangan, kakiku seketika lemas melihat kondisi suami yang bersimbah darah. Dari kepalanya, mengalir darah kental. Dokter berkata, operasi menjadi jalan satu-satunya untuk menyelamatkan nyawanya. Aku menyetujui dan segera menandatangani berkas agar operasi dilakukan. Di benakku hanya terpikir, bagaimanapun caranya, ia harus selamat.
Aku duduk menunggu di depan ruang operasi, ditemani dua orang teman suamiku. Akhirnya mereka bercerita kronologis peristiwa. Kata mereka, Mas Anton terlihat melamun saat melintas di bawah mesin pabrik yang sedang diperbaiki, ia tak mendengar teriakan rekan-rekannya bahwa ada bagian cukup besar dari mesin yang jatuh ke arahnya. Ketika sadar ada bahaya yang mengintai, sudah terlambat bagi Mas Anton untuk menghindar, sehingga kepalanya terkena hantaman dan langsung tak sadarkan diri akibat luka menganga di kepalanya.
Berulang kali aku memandang pintu ruang operasi. Aku merasa mereka sudah terlalu lama di dalam. Rasa cemas ditambah harus menghadapi kerewelan Andi yang tidak biasa membuatku makin tak sabar. Ingin rasanya aku membuka pintu tersebut dan langsung bertanya pada tim dokter yang menangani Mas Anton.
Tepat empat puluh lima menit berlalu saat pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dengan wajah tersaput mendung. Dengan perasaan tak menentu, aku menghampirinya untuk menanyakan kondisi Mas Anton. Mendengarnya meminta maaf, aku luruh seketika. Telinga berdenging saat mendengar dokter berkata bahwa akibat cedera otak yang berat nyawa belahan jiwaku itu tak tertolong. Pandanganku gelap dan suara di sekitar menjadi senyap. Saat tersadar, kudapati tubuh terbaring di ranjang pasien. Aku meraung mengingat suami telah pergi selamanya, dengan meninggalkan utang yang menumpuk.
Kenangan buruk yang terjadi lima tahun lalu itu terulang lagi. Aku kembali luruh ketika seseorang datang dan memberi kabar bahwa putri kebanggaanku terenggut nyawanya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ya Allah, bagaimana bisa? Tidak bisakah Kau memberi lelucon selain anakku meninggal satu hari sebelum diwisuda?
Baru saja aku mulai bisa bernapas lega karena Reni sudah lulus kuliah dan langsung diterima kerja, kini aku harus menerima kabar pahit ini.
Seperti deja vu, aku datang ke rumah sakit dan berlari melewati lorongnya. Sama seperti lima tahun lalu, aku juga membawa Andi dalam dekapan. Lagi, harus kulihat darah mengalir di wajah orang tersayang. Setelah mengurus semuanya, jenazah Reni dibawa pulang, sementara Lita harus mendapatkan perawatan di ruang ICU.
Kerabat dan tetangga berkumpul, membantu mengurus jenazah Reni. Beberapa perwakilan universitas juga datang bersama rekan-rekan Reni. Mereka turut bersedih dan berbelasungkawa atas meninggalnya seorang mahasiswi cumlaude.
“Apakah saya tak pantas bahagia, Bu?” tanyaku pada Bu Rahma, dosen yang akrab dengan Reni.
“Istigfar, Bu, istigfar … setiap orang layak bahagia. Allah memberikan ujian pada hamba-Nya yang layak untuk meraih kenaikan kelas. Insya Allah, itu yang sedang Ibu alami. Kita tidak pernah tahu ada hikmah apa di balik semua peristiwa ini. Pada saatnya nanti, Ibu akan tahu, ketika Ibu sudah bisa ikhlas akan ketetapan Allah. Begitu janji Allah.” Bu Rahma terus menghibur sambil memelukku.
Aku tergugu dalam pelukannya. Berusaha meredam kesedihan, dengan terus melafalkan istigfar. Ya Allah, aku percaya engkau telah merencanakan yang terbaik … bantu hamba mengikhlaskan semua ini.
Surabaya, 2020
Bionarasi :
Ardhya Rahma, Penulis Novel Matahari untuk Aditya. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Penulis bisa dihubungi di akun FB @Ardhya Rahma dan IG @ardhya_penulis
Editor: Erlyna
Sumber gambar: Pinterest