Pura-pura Cantik

Judul : Pura-pura Cantik
Oleh : Siti Nuraliah

Pukul tujuh sudah bergeser tiga puluh menit yang lalu, sedangkan aku masih harus merapikan alis yang masih belum selesai diarsir. Pantang keluar, bila alis masih berantakan. Reputasiku sebagai calon selebgram bisa hancur. Aku harus cepat-cepat beres dan segera memacu motor ke tempat yang sudah dijanjikan untuk pemotretan hari ini, di sebuah taman.

Dengan membayar uang lima puluh ribu untuk satu kali pemotretan, aku tidak keberatan, apalagi dengan hasil yang memuaskan. File yang sudah diedit akan dikirim keesokan harinya dan bisa langsung aku pajang di Instagram. Apa pun akan aku lakukan untuk mencapai apa yang aku inginkan. Menjadi selebgram, harus bermodalkan wajah cantik. Cukup berpose cantik, dan sok ngartis, orang-orang akan dengan sendirinya mengikuti akun kita.

Aku tersenyum puas, saat baru beberapa menit mengunggah foto di taman kemarin. Followers bertambah seratus. Dunia maya memang tempatnya maya, tidak nyata. Teman-teman di kampus beberapa kali mengingatkanku agar jangan terlalu gila pada sosial media. Aku sih, bodo amat. Yang penting aku bisa menarik banyak pengikut di sana. Toh, mereka yang ada di sana juga tidak tahu aku aslinya seperti apa. Biar saja, yang mereka tahu, aku cantik dan seksi. Padahal itu hasil editing.

Tidak sia-sia, usahaku membuahkan hasil. Pengikut di instagram semakin banyak. Bahkan lebih dari apa yang aku bayangkan. DM-DM mulai banyak yang masuk. Mereka menawarkan beberapa produk kecantikan untuk aku iklankan. Hanya mengiklankan saja, aku tidak perlu repot-repot mencoba produknya. Aku hanya diberikan foto produk dan testimoni dari mereka. Aku hanya tinggal mengunggahnya pada story. Mudah sekali, dan mereka hanya membayar sebesar seratus ribu untuk dua kali unggah. Aku menerima saja. Permulaan.

Semakin lama, aku semakin terobsesi. Aku membeli followers, membeli berbagai alat kecantikan untuk menunjang karierku yang baru. Teman-teman semakin banyak yang tidak suka, aku berpikir mereka bukan menasihatiku tapi mereka tidak bisa menjadi sepertiku.

Aku menjadi harus terlihat sempurna bukan saja di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Make up tebal tidak pernah lepas dari wajahku yang sebenarnya pas-pasan.

Di kantin kampus, aku tidak sengaja mendengar obrolan di meja yang tidak jauh dariku. Aku tahu mereka sedang membicarakanku.

“Kasihan pengikutnya, mereka memuji-muji kecantikan Aan. Kalau tahu aslinya, mereka bisa pingsan.” Lalu terdengar galak tawa dari mereka.

Aku menjadi risi, kusambar tas dan meninggalkan kantin dengan segera. Aku menggerutu sendirian. Bilang saja sirik.

Aku memeriksa beberapa pemberitahuan dari instagram. Setiap hari, pengikutku semakin bertambah banyak. Aku yakin, tahun ini aku akan menyandang status sebagai selebgram cantik dan seksi. Ada satu pesan DM yang masuk, dia menawarkan produk pembesar buah dada. Penjual itu menawarkan harga yang lumayan besar dari harga iklan biasanya yang aku terima. Namun, syaratnya aku harus mencoba terlebih dahulu selama dua minggu. Dan mereka membutuhkan testimoni itu dariku. Mulanya aku ragu, tapi, akhirnya aku punya ide untuk mengelabui penjual ramuan itu. Aku mengiyakan, dan terjadilah transaksi.

Dua minggu kemudian, aku telah mengunggah foto dengan dada dibusungkan dan dibubuhi kata-kata iklan. Aku tersenyum puas, setelah menerima transferan. Mereka tidak tahu, kalau aku memakai dada palsu. Penjual itu pasti percaya saja dan aku, masa bodo dengan dosa.

Suatu sore, aku ingin mengajak teman-temanku yang sering ceramah itu, untuk makan di luar. Mereka sangat senang. Biar bagai mana pun, mereka memang selalu ada untukku. Aku ingin mengajak mereka minum kopi di kafe dekat mal.

Semenjak aku menyibukkan diri, memang jarang sekali kumpul dengan mereka. Pulang kuliah, aku langsung ke indekos dan sibuk menerima endorse yang masuk. Jadi, hari ini tidak ada salahnya aku mentraktir mereka. Saat kami sedang asyik bercanda, seseorang menyapaku dari arah samping.

“Aan ya? Aan yang selebgram itu, kan?” tanyanya.

Aku menyibak rambut dengan gemulai, “Siapa, ya?” aku menjawab dengan nada dilembut-lembutkan.

“Benaran, Aan, kan? Kok beda sama di foto. Di fotonya cantik, aslinya burik.”

Setelah mengucapkan itu, dia berlalu begitu saja. Membuat wajahku mungkin terlihat seperti tomat matang.

Semua teman-temanku ikut kaget. Sari menatapku penuh selidik. Dia menggelengkan kepala. Aku tahu Sari akan mengatakan apa. Selama ini, dia yang paling sering menasihatiku.

“Sekarang kamu lihat sendiri, kan, An. Jangan terlalu obsesi. Kamu mesti ingat sebagai kodratmu sendiri. Meski perawakanmu serupa perempuan, kamu tetap saja Anwarudin.”
***
Banjarsari, 23 November 2020

Siti Nuraliah. Perempuan sederhana, kadang suka menulis kadang suka membaca.

 

Editor: Erlyna

Leave a Reply