Empus dan Andik
Oleh : Ning Kurniati
Tentu saja itu masalah. Andik merenungi Empus yang tidak kunjung berahi. Dari tempatnya duduk di teras, dia bisa melihat kucing tersebut berlari mengejar entah apa di pohon kelor sana. Warna bulunya yang putih tampak cemerlang diterpa matahari sore. Lalu Empus berhenti di percabangan keempat pohon kelor. Kucing itu melongok ke bawah dan entah kenapa ia mundur selangkah ke belakang. Hampir saja ia terjatuh. Beruntunglah ia punya cakar yang bisa digunakan mengcengkeram.
Andik yang masih terus mengamati dibuat tersenyum. Inilah hiburannya. Setiap hari ada saja tingkah Empus yang membuatnya gemas. Hiburan yang cukup, meski tidak mungkin mengganti sepenuhnya kehadiran anggota keluarga lain yang tersebar.
***
Empus datang dibawa anak bungsunya—Illang ketika libur semester, empat tahun lalu. Katanya, kucing tersebut berada di mobil yang digunakannya kembali dari kota, dan karena tak ada yang mengaku sebagai pemilik, maka sang sopir menyingkirkan kucing tersebut ketika penumpang terakhir turun.
“Tidak ada yang punya. Entah kenapa kucing itu ada di mobilku.” Si sopir megoceh lalu begitu saja melajukan mobilnya tanpa pamit.
Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, barulah Illang teralihkan pada anak kucing yang sekarang megeong dengan suaranya yang lirih. Illang memandanginya dan kucing itu juga balik memandangnya. Karena itu meski berat hati sambil menghela napas—mengambilnya berarti harus bertanggung jawab—Illang meggendongnya melewati pagar bambu yang dicat merah-putih, lalu terus naik ke rumah panggungnya.
“Empus,” ucap Illang ketika Andik melihat kucing tersebut. “Di rumah ini banyak tikus ‘kan, Pak. Suruh dia menangkap tikus-tikus kurang ajar itu supaya kita bisa tidur nyenyak.”
Empus mengeong.
“Wah, iya. Empus mulai sekarang tinggalah di sini.” Andik mengelus kepala Empus dan ia menunggu reaksinya. Karena hanya diam, Andik lalu mengangkat kucing tersebut. Tampak ia suka karena setelahnya ia menenggelamkan kepalanya di lengan yang besar dan penuh bulu itu, yah hanya saja tak selebat bulunya, tapi tidak masalah ia nyaman. Dan untuk sekali lagi pada hari itu Empus mengeong tetapi dengan bunyi yang tidak lirih lagi.
“Kau bisa mendengarku? Ya bisa. Kau pasti bisa mendengarku.” Andik terus-menerus mengelus kucing tersebut.
***
“Empus,” Andik berteriak dan kucing itu menghampirinya. Ia berlari secepat yang ia bisa dan begitu sampai ke hadapan Andik yang sekarang duduk di tangga rumah panggungnya, segera ia melompat ke pangkuan. Dan seperti biasa ia menyodokkan kepalanya di lengan Andik
“Empus apa kau mau ikut aku jalan-jalan keliling kampung?” Empus mengeong. Ia selalu menyetujui ide itu, sebab ia yakin pasti Andik akan mampir ke rumah Aminah—perempuan yang menjanda sejak tahun lalu.
Andik tertarik dengan Aminah, Empus tahu itu. Memang bukan ketertarikan seperti lelaki pada perempuan. Mereka sudah tua. Ketertarikan itu sejenis yang platonik. Dan Empus juga merasakan hal yang sama. Ah, Empus memang begitu ke semua makhluk hidup termasuk sesama jenisnya.
***
Aminah yang juga hidup sendiri dan tampak kesepian selalu senang kedatangan tamu, apalagi itu Andik dan Empus. Begitu melihat keduanya, Aminah segera berseru menyambutnya, menyilakannya duduk di teras rumah. Dan ia segera mengangkat Empus, menimangnya layaknya bayi. Dan selalu pula Empus tidak suka itu, ia segera melompat turun dan duduk di bangku panjang.
“Ah, kau tidak suka ditimang-timang, ya, Empus. Maaf-maaf, aku selalu lupa. Karena aku begitu menyukaimu.”
Andik terkekeh, Empus tampak tidak senang lalu memalingkan pandangan pada tanaman-tanaman yang berbunga di halaman depan rumah. Kejadian Aminah menimangnya selalu berulang dan kedua manusia itu selalu menganggap hal tersebut biasa saja, padahal Empus betul-betul tidak menyukai. Ia senang disayang, tetapi bukan berarti harus memperlakukannya seperti bayi manusia yang belum bisa bertanggung jawab dengan hidupnya.
Oh, dirinya bukan bayi. Ia adalah kucing. Dan ia mengerti semua hal di dunia ini. Tidak sepantasnya ia diperlakukan seperti kucing yang lain. Ia sedikit tersinggung akan hal itu, tetapi tidak mengapa sebab makhluk apa pun di dunia bisa jadi memiliki kekurangan. Ia bisa memaklumi itu.
Aminah masih tersenyum. Empus meliriknya sebentar sebelum perempuan itu menghilang ke dalam rumah dan akan kembali dengan pisang goreng. Itu kesukaannya. Suasana hatinya seketika berubah. Di rumah, Andik selalu gagal menggoreng pisang dengan benar, selalu saja ada yang salah, beda sekali dengan Aminah.
“Apa Empus belum hamil juga? Aku mau minta anaknya nanti.” Aminah bertanya sambil membawa sepiring pisang goreng yang sudah dingin.
“Belum. Aku juga ingin sekali kucing itu bisa hamil Aminah, biar rumahku tidak sepi. Illang ataupun kakak-kakaknya sudah lama tidak pulang. Ditambah pandemi begini, mereka semakin susah buat balik kampung.”
“Memang Empus pernah ….”
“Aku tidak akan hamil.” Empus bersuara.
Aminah kaget. Ini pertama kali bicaranya disanggah Empus. Empus juga kaget dan tiba-tiba saja ia berlari dari rumah itu. Orang-orang yang melihatnya tampak bingung. Sebab Empus selalu bersama dengan Andik dan kali ini tidak. Ada apa? Gosip ini segera menyebar di seluruh kampung. Empus mungkin marah kepada Andik. Ia kabur dari rumah sudah tiga hari terhitung sejak terakhir kali ia terlihat. Tidak ada yang melihatnya dan kasihan Andik, hidupnya akan semakin kesepian. Orang-orang berbisik.
***
Aminah merasa bersalah. Ia mengdatangi Andik di hari keempat dan menyampaikan rasa bersalahnya dan meminta maaf. Ia membantu mencari Empus, tapi nihil.
“Ia akan pulang kalau ia mau Aminah. Ia punya hak untuk pergi dan aku tak punya hak untuk menahannya.”
Mereka berdua duduk berhadapan, terlihat seperti dua orang yang sedang membicarakan suatu hal. Tetapi sayangnya setelah ucapan di atas itu, keduanya sama-sama bungkam. Sama-sama tak tahu harus berkata apa yang benar. Sama-sama merasa ini situasi yang sulit untuk membuka obrolan di luar Empus.
Dan tak berselang lama, Aminah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam selayaknya tamu. Andik bahkan tidak sadar kapan perempuan itu pergi. Sekarang, ia merasa serba salah.
Bagi Andik tak ada lagi harapan. Ia pasrah akan hidup sendiri dan memang bukan begitukah mulanya sebelum Illang datang dengan Empus. Apa yang harus dikeluhkan, hidup memang begitu adanya. Dan hari-harinya pun berlanjut tanpa Empus.
***
Seminggu kemudian anak bungsunya menelepon. Illang berkabar, ia akan pulang beserta istri dan kedua anaknya. Mereka mungkin akan tinggal beberapa waktu di kampung. Illang menyampaikan kabar bahagia dan Andik menyampaikan Empus pergi dan tak pernah lagi kembali sampai saat itu. Tapi katanya kemudian, tidak masalah sebab anaknya akan pulang ditambah lagi cucu-cucunya dan menantunya ikut. Ini kabar bahagia yang tidak pernah disangkanya. Ia menuturkan rasa bahagianya sambil terkekeh.
Ponsel berpindah ke tangan anak-anak Illang dan Andik mulai menjanjikan macam-macam ke mereka, seperti akan membuatkan mainan pedati: bannya dari kayu dan setirnya dari bambu yang akan disampirkan di pundak ketika mendorong mainan itu. Ceritanya begitu panjang, dari memainkan ban motor dengan dipukul pakai potongan kayu atau bambu sampai bermain layangan di tanah lapang bekas perkebunan. Karena kebetulan di kampung sedang musim kemarau, maka akan lebih banyak jenis permainan dan lebih banyak lagi dari yang bisa dibayangkan cucu-cucunya, ia bertutur dan tanpa disadarinya ponsel itu pun panas dan cucunya di seberang seperti ingin tiba di kampung saat itu juga. Lalu Illang kembali mengambil alih untuk mengakhiri panggilan video tersebut. Bersamaan dengan itu Empus melompat di celah dinding, lalu ke pohon kakao, lalu ke pohon mangga di samping rumah.
Begitulah cerita yang Empus sampaikan kepadaku. Ia minta aku menceritakan ini 3 bulan yang lalu, dan katanya kalian tidak boleh kaget bila bertemu dengan dirinya. Dan jika berkenan bersahabatlah dengannya, sebab ia kucing yang baik, dan ia sudah tidak pulang kepadaku selama 53 hari 26 jam.
Catatan: kalian boleh menimbang kembali kalau ia kucing yang baik atau tidak, sebab ia meninggalkanku tanpa aku tahu alasannya dan sebelumnya ia juga meningalkan Andik.
(*)
19 November 2020
Ning Kurniati, penulis pemula.