Si Manis Berhidung Hitam

Si Manis Berhidung Hitam

Si Manis Berhidung Hitam

Oleh: Syifa Aimbine

Langit makin gelap, suara guruh mulai terdengar samar-samar. Angin mulai kencang, menampar daun pinang dan kelapa. Aku melongok dari jendela kayu setinggi dadaku untuk melihat Ibu yang sedang mengangkat jemuran. Sebentar lagi akan hujan. Pandanganku teralihkan pada suara lirih dari bawah rumah panggung kami. Binatang berbulu putih itu mengeong mendekati ibuku. Ibu menghalaunya, tidak ingin pekerjaannya terganggu.
Rupanya kucing itu mengikuti Ibu yang naik ke rumah melalui pintu belakang. Aku mendekatinya. Badan kucing itu sangat kurus, tulang-tulangnya menonjol dari kulitnya yang tipis, dan yang kemudian membuatku tergelak ketika melihat tanda hitam di bawah hidungnya. Ia terlihat seperti badut.

“Kucing dari mana, Man?” Ayah mendekatiku.

“Entalah, Yah. Tadi ikut Ibu masuk rumah,” jawabku sambil terus memperhatikan tingkah si kucing yang kini tengah menjilati tubuhnya.

“Oh, kucing liar agaknya. Mungkin sebab hidungnya hitam, tak ada yang mau pelihara, kasihan.”

“Kenapa kalau hidungnya hitam, Yah?” tanyaku penasaran. Apa pula hubungannya tanda hitam di hidung dengan memeliharanya.

“Orang kampung inilah, masih percaya tahayul kalau pelihara kucing hidung hitam, pemiliknya akan meninggal.” Ayah mulai mendekat, mengamati kucing itu lebih dekat. Kucing itu mengeong.

“Betulkah macam itu, Yah?” Ada sedikit kekhawatiran padaku, padahal aku mulai menaruh simpati pada binatang berbulu itu.

“Tentulah tidak. Hidup mati kan di tangan Allah, bukan di hidung kucing.” Ayah mulai menjauh, melanjutkan aktivitasnya menghidupkan lampu petromaks. Sebentar lagi akan gelap.

“Boleh Man kasih makan, Yah?” tanyaku mulai mendekati si kucing, membelai kepalanya perlahan. Ia terlihat menyukainya. Kami sepertinya mulai akrab.

Ayah mengangguk, aku segera menuju ke luar, mencari sisa makanan di tempat Ibu mencuci piring. Namun, tempat itu bersih, tidak kutemukan tulang ikan atau sisa nasi tadi siang. Aku kembali masuk menuju tungku. Seekor ikan selais asap digantung di dinding dapur. Beberapa hasil tangkapan sungai memang sering diawetkan dengan diasapi, atau lebih dikenal dengan istilah ikan salai. Kuberikan ikan itu pada si Manis–kunamai begitu karena menurutku wajahnya cukup menggemaskan. Si Manis melahap ikan yang kuberikan. Setelah habis, ia mendekatiku dan menggosok-gosokkan tubuhnya ke kakiku. Sepertinya ia tengah berterima kasih.

“Amboi, ikan salai tu pulak yang diberikannya,” omel Ibu ketika menyadari seekor ikannya hilang.
Aku segera beranjak ke ruang depan, menghindari omelan Ibu yang akan panjang episodenya. Aku senang mendapatkan teman baru.

***

Sudah dua hari kepalaku berat sekali. Aku bahkan tidak dapat bagun dari kasur. Kata Ibu badanku panas tinggi. Sesekali aku merengek karena badanku terasa sangat sakit. Seperti banyak jarum yang ditusukkan ke tubuhku. Terkadang aku melihat bayangan-bayangan yang membesar. Seakan benda berukuran besar akan menindihku. Lalu aku kembali tertidur setelah Ibu memberikan obat yang rasanya sangat pahit. Kulihat si Manis kadang ikut tidur di sampingku. Namun, malam ini aku tidak mampu lagi bermain dengannya. Kepalaku sangat sakit, beberapa kali aku muntah. Rasanya sakit ketika isi perutku melompat keluar melalui mulut dan hidungku. Ayah kemudian menggendongku, membawaku pergi menembus malam.

Saat terbangun, aku sudah berada di ruang bercat putih. Tanganku disambung dengan selang bening berisi cairan bening. Ibu bilang demamku sangat tinggi sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Ruangan itu cukup besar, ada beberapa anak lain yang juga sakit. Kadang suara tangis mereka membangunkanku, berisik sekali di sini. Aku rindu rumah, dan juga si Manis. Jika Ayah dan Ibu di sini, pasti si Manis sendirian di rumah. Kasihan kau, Manis.

Entah sudah berapa hari aku berada di tempat ini. Beberapa kali wanita sepantaran Ibu mengunjungiku, menusuk selang di tanganku dengan jarum, lalu seperti ada semut yang menggigit tanganku. Sesekali juga seorang pria tua menghampiriku dan menanyakan kondisiku hari ini, lalu berbicara dengan Ibu dan Ayah.

Setelah muntahku hilang, kami pun pulang ke rumah. Namun, aku tidak melihat si Manis. Pandanganku menyapu sekeliling rumah, tidak juga kutemukan kucingku itu.

“Ayah, di mana si Manis?” tanyaku pada Ayah.

Ayah dan Ibu berpandangan, lalu Ayah mendekatiku. Menyentuh kedua pundakku pelan.

“Si Manis mati kemarin. Pas Ayah pulang, dia sudah terbaring di tangga. Maafkan Ayah, ya, Man.”

“Kenapa dia mati? Ayah lupa kasih makan, ya?” Mataku terasa panas, dadaku sesak, rasa ingin menangis.
Air mataku kemudian tumpah. Ayah bilang si Manis mati karena memang umurnya yang sudah tua. Aku ragu, jangan-jangan benar cerita tentang tanda hitam di hidung si Manis. Seharusnya aku yang mati, si Manis mungkin memohon pada Tuhan untuk menggantikanku. Malangnya kau, Manis. (*)

Syifa, gadis menjelang enam tahun jadi wanita rumahan.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply