The Power of Skincare
Oleh : Nuke Soeprijono
Jam tiga dini hari, alarm ponselku mulai menjerit-jerit minta segera dibungkam. Dengan malas, aku berjingkat ke arah meja yang berjarak kira-kira dua meter di depanku untuk mematikan alarm sialan yang suaranya makin nyaring terdengar. Sebenarnya aku sedang bad mood. Mataku masih ingin terpejam dan selimut yang sejak semalam memeluk tubuhku, seolah-olah bersikap posesif, melarangku untuk meninggalkannya. Tapi kewajiban telah memanggil, tak mungkin aku ingkari. Dengan berat hati, segera kusambar handuk warna hijau tua yang menggantung di belakang pintu dan berlalu menuju toilet yang berada di ujung kamar.
Hari ini aku akan mendandani seorang klien yang sedianya akan melakukan ijab kabul jam sembilan pagi. Sebagai seorang MUA profesional, aku harus siap berangkat sebelum subuh dan tiba di rumah calon pengantin sebelum kokok ayam jago saling bersahutan menyambut pagi. Meski berat, tapi kujalani pekerjaan sebagai pelukis wajah ini dengan senang hati. Dan yang membuatku merasa tertantang, kali ini calon pengantinnya seorang janda dengan enam orang anak yang empat di antaranya sudah menikah dan sisanya lagi masih berstatus mahasiswa.
Terbayang dalam pikiranku, beberapa kerutan di wajahnya dan—bukan tidak mungkin—ada flek hitam dan beberapa jerawat batu di bawah kantong matanya.
Tiba di lokasi, aku segera disambut oleh salah satu keluarganya. Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung masuk ke dalam kamar si calon pengantin yang … ah, ternyata dia masih cantik! Meski umurnya tak lagi muda, kerutan yang dari tadi kubayangkan sama sekali tidak terlihat. Mungkin ada, tapi harus dilihat dari jarak dekat. Bahkan kulit wajahnya masih tampak halus dan kenyal tanpa ada flek hitam setitik pun. Jelas dia sangat akrab dengan produk perawatan wajah. Pikiranku langsung tertuju pada lelaki yang akan menjadi suaminya, pasti dia adalah orang kaya. Bagaimana tidak, jika seorang yang biasa-biasa saja bisa membelikan skincare sedemikian bagus untuk calon istrinya.
“Mbak, tolong bikin wajahku mangling, ya! Biar suami nanti makin gemas sama aku,” katanya ketika aku hendak mulai memoles foundation warna kuning langsat di wajahnya. Dia mengatakan itu dengan mimik muka genit seraya mencubit kecil lenganku. Aku hanya tersenyum tipis—semoga tidak terlihat sinis. Huh, dasar janda! Rupanya dia sudah tak tahan.
“Siap, Mbak …,” jawabku singkat.
Dengan piawai aku mulai membubuhkan krim alas bedak dan meratakan ke seluruh wajahnya yang tidak terlalu cerah—tapi bersih tanpa noda hitam—dengan menggunakan beauty blender. Aku teringat wajah artis Tara Basro yang hitam manis. Ya, kira-kira seperti itulah bentuk wajah klien-ku ini. Matanya sempurna dengan bentuk kelopak yang lebar, pasti makin cantik dengan warna eye shadow yang mencolok yang nanti aku aplikasikan di sana. Belum lagi bentuk tulang hidung yang tinggi menjulang. Simetris dengan tulang pipinya yang menonjol. Bibir tipisnya yang sedari tadi tersenyum, membuatnya kian terlihat menarik. Harus aku akui, si janda genit ini … cantik!
Sembari memulas warna di beberapa bagian wajahnya, kami pun bercakap-cakap sekadar membuang ketegangan. Dia banyak bercerita tentang mantan suaminya yang pemabuk dan tidak mempunyai penghasilan tetap (dia yang selama ini berjuang menghidupi keenam anaknya), dan tentu saja soal perbandingan antara mantan dan calon suami yang terlihat sempurna di matanya.
“Pokoknya dia ini lelaki idaman, Mbak. Aku beruntung bisa ketemu dan berjodoh dengannya. Yaah … meskipun hubungan kami belum lama, tapi aku yakin banget sama dia. Sudah orangnya baik hati, ndak banyak menuntut, setia, dan yang jelas dia masih perjaka! Jadi buat apa menunggu waktu lama lagi,” katanya bangga.
Seketika aku menahan tertawa, dari mana dia tahu jika calon suaminya masih perjaka? Apa hanya dari statusnya yang selama ini belum pernah menikah? Atau memang calonnya yang mengatakan sendiri? Ah, rupanya perempuan ini terlalu naif. Apa hubungannya juga setia dan perjaka? Tapi, lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis tanpa banyak menimpali ocehannya. Aku hanya mencoba menjaga konsentrasiku demi menyulapnya jadi secantik ratu sejagad.
Tiba-tiba, entah ada angin dari mana yang membuat mataku tertuju pada foto dalam bingkai kecil yang diletakkan di samping lampu meja rias. Dalam bingkai itu ada sepasang manusia sedang tersenyum dengan latar belakang pegunungan. Aku jadi teringat Mas Utomo yang selalu mengajakku naik gunung sebulan sekali. Kami memang gemar bertualang jika ada waktu luang. Terakhir kami naik gunung enam bulan sebelum akhirnya hubungan kami kandas. Kabarnya Mas Utomo memutuskan hubungan kami sebab kena pelet janda kaya. Kini Mas Utomo hanya bagian dari masa laluku.
“Hmm … kalo Mbak Puri sendiri sudah menikah, belum?” tanya perempuan di depanku ini tiba-tiba. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya yang tanpa tedeng aling-aling.
“Ah, saya mendandani orang mau menikah saja sudah bahagia, kok, Mbak.”
“Lho, maksudnya gimana?”
“Iya, saya bahagia melihat orang-orang yang mau menikah itu terlihat cantik setelah saya make up,” jawabku tanpa langsung menjawab pertanyaannya yang bagiku begitu menohok.
“Oalah, jadi Mbak Puri ini belum menikah to?”
Sialan! Dia malah memperjelas. Tenaang, Puri … tenaang, kamu tidak boleh terbawa perasaan. Ya Tuhan, baru kali ini aku mendapat klien yang mulutnya tak tahu adat.
“Iya, Mbak, belum,” jawabku berusaha tegar sambil memoles blush on pada pipinya yang tirus. Jujur, perasaanku kali ini semakin tidak nyaman. Seperti ada kerikil kecil dalam sepatu dan mengganjal ketika kita sedang berjalan: harus segera dikeluarkan.
“Hmm, Mbak, boleh saya tahu nama calon suaminya?” Akhirnya terucap juga pertanyaan bodoh dari mulutku.
“Oh, boleh dong, biar Mbak Puri juga bisa ikut mendoakan. Nanti sebut nama kami dalam doanya, ya, Mbak. Nama suamiku, Utomo!”
Deg!
Ya Tuhan, benarkah dugaanku ini? Buru-buru aku menyambar foto dalam bingkai itu dan melihatnya lekat-lekat. Dan seketika itu pula jantungku seperti hendak meloncat dari dalam rongga dada. Sial! Ternyata benar dia orangnya. (*)
Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata