Perempuan dan Kenangan (Part 14)
Oleh: Cici Ramadhani
Perasaan terbaik adalah mencintai, sehingga kita selamanya takut tidak bisa lagi mencintai. (Cheason)
“Tadi sore ketemu Romi, ya?” tanya Arya saat aku duduk di sebelahnya.
Kali ini kami duduk berdua di ruang tamu. Anak indekos lain sudah ada yang duduk di teras samping, sebagian ada yang malam Mingguan di luar.
“Iya, kebetulan ketemu di warung nasi depan. Jauh banget dia beli makan sampai sini.”
“Katanya, ‘Kak Rara kok kelihatan beda, wajahnya pucat, kayak orang sakit?’”
“Ah, masa dia bilang gitu?” tanyaku kaget. “Soalnya, tadi nggak ada ngomong apa-apa, cuma say hello.”
Romi saja yang seorang laki-laki bisa melihat perubahan yang terjadi padaku, bagaimana dengan perempuan? Aku menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menepis prasangka buruk.
“Kenapa geleng-geleng?” Dahi Arya berkerut. Mungkin dia bingung melihat ekspresiku.
“Eh, nggak apa-apa, kok,” jawabku nyengir.
“Iya, kubilang Rara kurang enak badan karena kelelahan kerja di tempat yang baru.”
Allah Maha Baik, sehari setelah janinku gugur, aku mendapat panggilan kerja. Dan saat ini aku sedang magang di kantor cabang perusahaan ekspedisi selama tiga bulan.
Tanpa kusadari, secara fisik dan psikis aku telah mengalami perubahan. Aku lebih pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Nafsu makan pun jauh berkurang. Aku juga lebih suka mendengarkan lagu-lagu sendu saat berada di kamar.
“Kita jalan keluar, yuk. Buahnya udah habis, ‘kan? Kita beli, yuk.” Aku yang bengong, langsung ditarik Arya berdiri.
Harusnya aku bahagia, kini Arya telah berpisah dengan Aina dan kami tetap bisa bersama. Namun, tiap saat hatiku dirundung rasa cemas. Dulu, aku tak pernah takut kehilangan dia. Namun kini, semakin kucoba menghindar aku semakin takut kehilangan.
Ah, cinta macam apa ini?
“Besok pagi, kita jogging, yuk,” ajaknya saat kami sampai di depan pagar.
“Oke,” jawabku cepat.
Aku melambaikan tangan saat Arya berpamitan pulang. Tak lupa berpesan, agar tetap berhati-hati berkendara di jalan raya. Malam ini, kumantapkan hati berada di sisinya kembali. Membuka lembaran baru, kisah Rara dan Arya.
***
Aku memakai hoodie berwarna cokelat dengan celana training hitam. Aku keluar rumah jam enam pagi. Berjalan pelan menyusuri gang kecil sampai di jalan raya. Kami berjanji bertemu di lapangan yang tak berada di kompleks perumahan Arya. Sudah dua bulan aku memang tidak berolahraga dan beberapa minggu terakhir ini aku melewati masa-masa sulit.
Aku mengedarkan pandangan, berputar-putar mencari Arya. Berkali-kali kucoba menghubungi nomor ponselnya, tetapi tidak diangkat.
“Andre,” panggilku saat melihat Andre sedang berjalan menuju lapangan. Aku berlari kecil menghampirinya. “Eh, lihat Arya nggak?”
“Udah keluar dari abis subuh tadi, Kak,” jawabnya.
“Loh, kemana ya? Nomornya juga nggak bisa dihubungi, nggak diangkat-angkat,” gumamku.
Andre pamit meninggalkanku yang kebingungan. Aku mencoba menghubungi nomor Arya sekali lagi, tetapi tetap sama. Mataku kembali mencari sosok pria yang kucintai. Saat berbalik, Arya sudah berada di belakangku.
“Minta rotinya,” katanya dengan mengulurkan tangan.
“Roti apa?” Kedua alisku menyatu. Bingung melihat Arya datang ngos-ngosan, penuh peluh, dan tiba-tiba minta roti.
“Roti yang Rara belilah.” Arya berkacak pinggang.
Aku tersenyum, teringat roti yang kubeli di jalan tadi. “Aku aja sampai lupa soal roti ini, tetapi kamu, kok, bisa tahu aku beli roti?”
“Udah, sini dulu rotinya.” Arya menunjuk kantong hoodie di bagian perutku.
Aku mengeluarkan dua buah roti yang memang sengaja kubeli. “Kamu, kok, udah keringatan? Dari mana? Kita, ‘‘kan, belum lari?” tanyaku heran.
“Rara ajalah yang belum, aku udah.”
Arya menggigit ujung roti isi cokelat yang kuberi. Dia terlihat kelaparan, seolah tenaganya sudah habis keluar dan butuh asupan energi. Dalam sekejap, Arya menghabiskan dua roti yang kubeli, tanpa minum.
“Kelaparan, ya?” ejekku sambil geleng-geleng kepala.
“Iyalah, aku capek ngejar kamu.” Arya terlihat kesal.
“Ngejar di mana? Aku nggak lihat kamu dari tadi.”
“Aku sengaja jogging dari rumah, mau jemput kamu ke kos. Pas di dekat persimpang, kulihat kamu beli roti.”
“Ah, masa, sih? Kamu di mana tadi? Aku nggak lihalihat, loh, beneran.” Aku sungguh tidak percaya Arya jemput aku ke kos tanpa kendaraan. Seingatku, aku tidak melihatnya tadi.
“Aku ngumpet di samping ruko dekat situ. Maksud hati mau kasih kejutan buat kamu, ngagetin kamu. Dengan tetap jaga jarak, aku ikutin kamu terus dari belakang. Sampai mobil pikap itu berhenti dan kamu ngobrol sama supirnya. Aku nggak nyangka kamu naik mobil itu. Aku kejar mobil itu dan teriak-teriak panggil namamu, tetapi kamu nggak dengar. Aku udah kayak orang gila, tahu nggak? Kenapa juga, sih, harus naik mobil itu?” Arya berkacak pinggang.
Dia sungguh terlihat kecewa dan kesal bersamaan. Sementara aku yang mendengarkan ceritanya tertawa terbahak-bahak, membayangkan Arya berlari mengejar mobil bak sinetron di layar televisi.
“Malah ketawa,” katanya marah.
“Iya, maaf. Nggak nyangka aja kamu beneran lakuin itu. Tadi tuh supirnya nanya komplek ini, mau ngantar papan bunga pernikahan. Ya, udah, karena tujuannya sama, aku ikutan biar cepat sampai.” Aku coba menjelaskan keadaan tadi, berharap Arya tidak kesal lagi.
Bagaimanapun, ada rasa bersalah melihatnya kelelahan seperti itu. Andai aku tidak naik mobil itu, mungkin kejutannya jadi terasa romantis. (*)
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com