Hurt-Beat
Oleh: Vianda Alshafaq
Part 3: The Beginning
Gelak tawa terdengar cukup keras dan riuh di Lapau Ibu. Jika hari Jumat sudah datang dan tiga belas siswa itu sedang berkumpul, maka Lapau Ibu akan berubah seperti pasar. Ada-ada saja yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Jika tidak tertawa, biasanya mereka akan bercerita. Tetap saja, Lapau Ibu akan berisik karena setiap meja akan ada yang bercerita.
Kali ini giliran Diva, gadis berkacamata yang sangat menggemari mi goreng. Diva duduk di meja yang sama dengan Mila, Nadia, Rara, dan Viola. Sambil memasukkan mi goreng pesanannya ke mulut, Viola memulai perkataannya.
“Lo, tuh, ya, kebiasaan banget. Habisin dulu itu isi mulut baru ngomong. Kalau nggak, jangan diisi dulu. Ngomong aja dulu,” omel Viola yang hanya dibalas kekehan oleh Diva.
Melihat Viola yang mengomel dengan kuah mi pesanannya yang berserakan di sekitar bibir, Nadia dan yang lainnya sontak tertawa. Mereka selalu begitu, hanya hal kecil saja bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Bahkan, mata Mila sampai berair seperti orang menangis. Nadia sampai memegangi perutnya dan terpingkal-pingkal. Sementara Rara, memang sedikit lebih baik, karena ia hanya tertawa sedikit dan melongo seperti tidak mengerti.
“Eh, Vi. Nih, gua kasih tisu. Hapus tuh mulut lo, bikin gua malu aja,” ujar Diva menyerahkan tisu bekasnya ke arah Viola.
Hal itu lagi-lagi membuat mereka tertawa setelah melihat wajah Viola yang berubah masam dan mulutnya yang maju ke depan. Sembari membuka kacamatanya, Viola berkata, “Kamu mah gitu. Ngasih aku yang bekas. Nggak perhatian banget. Aku mau kita putus. Titik.” Nada bicaranya yang dibuat-buat membuat satu ruangan itu merasa jijik.
“Sorry, gua masih normal,” ujar Diva kemudian berdiri dan mengambil camilan.
***
Tiga belas perempuan sudah duduk di bangku sebuah ruangan. Beberapa senior duduk di depan. Sementara di meja guru, seorang laki-laki paruh baya duduk dengan kaki kanan yang dinaikkan ke atas kaki kiri. Di tangannya, ada sebuah buku laporan poin hari ini.
Hari ini, Mila mendapat posisi kelima dengan skor 230. Sementara Dina tetap bertahan di posisi pertama sejak beberapa pertemuan terakhir. Di urutan terakhir, ada Ayna dengan skor minus lima.
“Kemampuan kalian secara keseluruhan sudah meningkat. Bapak sudah bilang, kalian harus tenang. Dengarkan soalnya baik-baik. Jangan asal cepat pencet bel. Perhatikan intonasi host-nya seperti apa.”
Mendengar ucapan pelatih itu, mereka mengangguk-angguk. Setiap bertemu dengan sang pelatih, mereka akan selalu mendengar semua ini: mereka harus berlatih untuk tenang dan tidak gegabah dalam menekan bel.
“Poin minus lima yang kalian dapatkan itu, nilainya bukan minus lima, Nak. Tetapi, nilainya itu minus lima belas. Sebab tim lain akan mendapatkan nilai sepuluh, sementara kalian kehilangan lima poin. Dan, percaya atau tidak, satu minus lima itu bisa membuat kalian kalah,” lanjut sang pelatih.
Hari sudah semakin sore, Mila sudah mulai cemas. Jarak sekolah dan rumahnya cukup jauh. Apalagi angkot sangat susah kalau sudah sore seperti ini. Jantung Mila mulai berdebar lebih kencang. Ia tidak lagi fokus mendengarkan petuah-petuah yang disampaikan oleh sang pelatih. Matanya sudah memandang ke arah luar, melihat awan yang mulai mengelabu.
“Ah, senja ini tidak boleh hujan!” batin Mila.
Sesekali Mila melirik jam tangan berwarna hitam yang bertengger di pergelangan tangannya. Pukul lima lewat seperempat. Sebentar lagi sudah setengah enam. Sementara pelatihnya belum juga memberi tanda-tanda bahwa pertemuan kali itu akan diakhiri. Mila meremas-remas tangannya sendiri. Kakinya digoyang-goyangkan dengan pelan di bawah meja.
Sebenarnya, saat mereka latihan, pulang pukul enam sore pun sudah biasa. Hanya saja, karena jarak rumah yang jauh dan transportasi yang sulit, Mila selalu cemas. Ditambah lagi ada kemungkinan bahwa setelah sampai ia akan kena marah atau minimal didiamkan oleh ibu atau kakaknya.
Mila paham sekali jika ibunya marah kalau Mila pulang telat. Selain seorang gadis, Mila juga pulang sendirian. Tidak ada temannya yang satu arah. Jadi, kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang macam-macam selalu membayang ketika Mila pulang terlambat.
“Dua minggu lagi, Bapak mau kita melakukan uji tanding dengan sekolah lain. Nanti Bapak akan kasih tahu di mana dan dengan sekolah mana saja. Bapak tidak mau kalian main-main nanti. Kalian harus serius. Paham?”
Secara serentak, mereka mengatakan “paham”. Di otak Mila otomatis terputar ingatan pertemuan mereka pertama kali dengan pelatihnya itu. Sang pelatih mengatakan bahwa latihan adalah perlombaan, dan perlombaan adalah latihan. Dan, Mila sangat meyakini dan mengamalkan hal itu.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu Mila sudah datang. Pelatihnya mengakhiri pertemuan hari itu. Secara bergantian, mereka maju ke depan dan menyalami sang pelatih. Dengan langkah tergesa, Mila maju. Menyalami pelatihnya kemudian bergegas keluar. Ia harus segera pulang, karena waktu juga sudah pukul setengah enam lewat.
“Mil, bareng dong!” teriak Nadia.
Sebenarnya, untuk pulang, Mila dua kali naik angkot. Satu angkot ke jalan raya, dan satu angkot lagi menuju rumahnya. Angkot pertama, rata-rata mereka menaiki angkot yang sama. Ketika sudah sampai di Padang Lua, mereka akan berpisah dan menaiki angkot ke daerah masing-masing.
Mila memutuskan untuk pulang bersama sampai Padang Lua. Walau hatinya sedikit kesal melihat teman-temannya yang masih melangkah dengan santai, Mila tetap berjalan bersama mereka. Selalu begitu. Jika tidak, ia akan dicap tidak kompak atau sombong karena memilih sendirian.
Kadang-kadang, dalam kondisi seperti itu, Mila bertanya dalam hatinya apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekompakan dan kesombongan? Kerap kali, ketika ia sedang terburu-buru, ia harus mengalah agar tidak dicap sombong atau tidak mau berbarengan bersama yang lain. Nyaris enam bulan latihan dan menghabiskan banyak waktu bersama kelompoknya itu, hal inilah yang paling tidak disukai Mila.
Pernah suatu kali, minggu keempat mereka latihan, Mila disidang–istilah yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah atau mengevaluasi kegiatan mereka, atau menyampaikan hal-hal yang tidak mereka suka antarpeserta. Itu adalah pertama kalinya sidang dilakukan. Kakak mereka–angkatan sebelum Mila dan teman-temannya—duduk di depan dan mulai berbicara. Mereka tidak menyampaikannya dengan terang-terangan, tetapi secara tersirat atau mungkin bisa juga disebut dengan cara menyindir.
Awalnya, Mila tidak begitu peduli dengan apa yang mereka sampaikan. Mila tidak respek sama sekali dengan senior-seniornya itu. Bukannya bagaimana, hanya saja, menurut Mila, mereka terlalu banyak memberi harapan-harapan yang belum tentu diraih. Mereka juga terlalu membanggakan diri mereka yang bertanding sampai ke tingkat nasional. Satu hal lagi yang membuat Mila tidak suka adalah sikap mereka yang kentara sekali tidak menyukai Mila.
Dalam sidang itu, mereka mengatakan kalau Mila sombong hanya karena ia lebih sering sendiri daripada bergabung dengan yang lainnya. Mendengar perkataan itu, Mila merasa getir. Hatinya terasa dihunjam pisau-pisau tajam. Tidak, sekali pun Mila tidak pernah menyombongkan diri. Ia hanya memang tidak bisa secepat itu bergaul dengan orang baru. Apalagi mereka tidak pernah mengajak Mila lebih dulu. Itu yang membuat Mila tidak bergabung bersama mereka. Mila … tidak pandai mengawali sebuah perkenalan. Mila adalah gadis tertutup dan memang lebih menyukai kesendirian.
“Saya tidak tahu dasar penilaian itu apa. Satu-satunya yang saya ketahui adalah saya tidak pernah merasa sombong. Jika kesendirian saya dianggap sebuah kesombongan. Maka ke depannya saya akan tetap sombong,” ujar Mila dengan air mata yag sudah jatuh di pipinya.
Seumur-umur, baru kali ini Mila dicap sombong oleh orang yang baru dikenalnya. Mungkin di luar sana ada juga orang-orang yang berpikir demikian karena Mila yang cenderung sendirian, tetapi mereka tidak mengatakannya secara terang-terangan seperti itu.
Bukannya Mila tidak mau mendengar bagaimana pendapat orang lain terhadap dirinya, hanya saja, untuk perkenalan yang masih singkat, Mila merasa penilaian itu belum objektif.
“Saya tidak mengerti bagaimana menjelaskan diri saya kepada orang lain. Satu-satunya yang bisa saya katakan adalah saya tidak bisa memulai sebuah pertemanan.”
Itu kalimat terakhir yang Mila katakan hari itu. Air matanya masih mengalir hingga akhir. Setelah Mila mengatakan hal tersebut, kakak-kakaknya itu mulai menceramahi yang lain: bahwa mereka harus saling menjaga kekompakan dan tidak boleh berkelompok-kelompok.
Bersambung ….
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor: Fitri Fatimah