Hurt-Beat
Oleh: Vianda Alshafaq
Part 1: Trust Me!
Setengah mati, ia mencoba baik-baik saja. Ia menahan sesuatu yang mulai memanas, yang bisa meledak kapan saja dari bola matanya. Sudah lebih dari dua jam, tetapi Mila masih duduk di atas kasur yang dihamparkan begitu saja di atas lantai. Ia hanya menatap kalimat-kalimat yang ia tulis di layar laptop hitam yang ada di atas pahanya. Meski sudah setengah mati menahan air mata yang menggenang, tetapi tetap saja ia gagal. Dalam sekejap, air mata itu sudah membentuk anak-anak sungai di pipinya.
“Bodoh banget, sih, Mil. Harusnya lo itu udah nggak mewek lagi,” ucapnya pada diri sendiri sembari menghapus air mata yang terus saja mengalir di pipi.
Tiba-tiba, dari pintu kamar, Dinda masuk sembari menenteng sebuah map yang berisi tugas-tugas kuliah. Di punggungnya juga terdapat sebuah ransel hitam besar yang terlihat berat. Dinda mengernyit. Ia menatap Mila lekat-lekat.
“Kenapa, lo?”
“Nggak apa-apa. Cuma lagi pengen nangis aja.”
“Gila! Mana ada orang yang pengen nangis. Lo lagi patah hati, ya? Ayo ngaku!”
Mila cemberut. Tangannya masih menghapus air mata. Sesekali ia menggerutu, sebal mendengar ucapan teman sekamarnya itu. Mila melemparkan sebuah kertas yang sudah ia remukkan kepada Dinda. Sementara Dinda hanya tertawa bahagia karena berhasil membuat sahabatnya kesal.
“Patah hati apanya. Gua aja nggak punya cowok.”
“Noh, si Gilang. Kayaknya cocok, tuh, sama lo. Lagian, dia kan emang sayang sama lo. Tinggal terima aja, apa salahnya.”
Mendengar nama Gilang, Mila merasa kurang nyaman. Ia merasa bersalah pada laki-laki itu. Tetapi, Mila memang sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi agar laki-laki itu berhenti mendekat. Bukannya Mila tidak mau berteman dengan Gilang, hanya saja, perasaan laki-laki itu yang lebih dari seorang teman membuat Mila merasa aneh saat mendapat perhatian darinya.
Mila baru kenal Gilang tiga bulan belakangan. Mereka pertama kali berkenalan saat mereka masuk ke universitas ini. Secara kebetulan, mereka berkenalan di grup WhatsApp khusus mahasiswa baru jurusan mereka. Perkenalan mereka berlanjut dengan chat secara pribadi. Lalu, saat pertama kali masa perkenalan kampus, mereka bertemu di bawah pohon rindang di tepi jalan ketika mereka akan pergi ke auditorium. Sejak saat itu, mereka lebih sering bertemu, walau kadang hanya secara kebetulan.
“Lo kenapa harus bawa-bawa Gilang, sih. Nggak ada bahan lain apa. Hibur gua, kek. Traktir gua, kek. Atau apa gitu selain bahas Gilang.”
“Lagian lo kenapa nangis, sih? Tumben banget. Biasanya juga lo ngamuk kayak singa betina yang belum makan.”
Sekali lagi, Mila dibuat sebal. Mulutnya maju ke depan, menandingi hidungnya yang mancung ke dalam. Tetapi, di dalam hati, Mila merasa bersyukur karena Dinda pulang dan membuatnya sebal. Setidaknya, sebal lebih baik daripada sedih berkepanjangan, menurut Mila.
Suasana di ruangan itu mulai hening. Mila tidak juga menjawab pertanyaan Dinda. Dan, Dinda pun juga tidak lagi bertanya. Sebab, Dinda paham kalau Mila akan bercerita dengan sendirinya saat ia merasa siap untuk bercerita.
Mila merebahkan tubuhnya ke kasur. Matanya menatap plafon kamar yang berwarna putih. Pikirannya menerawang jauh ke masa silam. Masa-masa yang berat, yang pernah membuat Mila berniat untuk mati saat itu. Sesekali Mila tersenyum memikirkan pikiran-pikiran konyol yang mulai bergelayut di benaknya. Betapa bodohnya dia sehingga pernah berpikir untuk mati di masa lalu.
“Habis nangis, senyum-senyum sendiri. Emang gila ya, lo, Mil. Lo kenapa, sih, sebenarnya? Heran gua.”
“Menurut lo, salah nggak, sih, kalau ada orang yang nyalahin Tuhan karena takdir hidupnya?”
Dinda terdiam sejenak. Tidak biasanya Mila bertanya begitu. Apalagi ia tadi habis menangis. Tiba-tiba, Dinda mulai merasa bahwa Mila memang sedang menghadapi sesuatu yang berat lagi. Sebab, Dinda sangat mengenal Mila. Dan, ia tahu, Mila bukan tipe perempuan yang mudah mengeluarkan isi hatinya secara terang-terangan.
“Ya, jelas salah lah. Lo pikir Tuhan itu kayak manusia yang sering salah. Kalau kata Bu Ira ya waktu SMA dulu, Allah itu Mahabaik dan Mahatahu. Jadi, nggak mungkin salah. Bahkan sampai dunia berakhir sekalipun, Allah nggak akan pernah salah, Mil.”
Mila merenungi kalimat Dinda baik-baik. Ia sekarang paham maksud guru agama sewaktu ia SMA dulu itu, setelah mengalami semuanya sendiri. Mila yang waktu itu, hanya menganggap perkataan gurunya seperti angin lalu. Tetapi Mila yang sekarang, sangat memahami kalimat itu, bahwa Allah tidak pernah salah.
“Sekali lagi gua tanya, lo sebenarnya kenapa, sih, Mil? Nggak lo banget yang nanya kayak tadi.”
“Gua nggak apa-apa, Din. Trust me, there’s nothing going wrong.”
“Andai gua baru kenal lo tiga bulan ini, gua pasti bakal percaya gitu aja. Sayangnya, gua kena lo itu udah tiga tahun.”
Mila hanya tesenyum.
***
Hidup kadang memang sesulit ini. Baru kemarin Mila membohongi Dinda, tapi kali ini ia membohongi dirinya sendiri. Sebenarnya, sejak kemarin, Mila merasakan perih yang teramat sangat di hatinya. Ia merasa seperti dihunjam ribuan belati yang terbuat dari kenangan-kenangan masa silam. Mila sedang rapuh. Jiwanya runtuh. Persis seperti mimpi-mimpinya selama ini.
Lagi-lagi, Mila mencoba menahan diri untuk tidak menangis. Sekuat hati. Setengah mati. Tetapi, tetap saja ia gagal. Mila menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan yang ia taruh di atas meja. Untunglah sekarang dosennya tidak masuk. Jadi, ia bisa menenangkan diri dengan tenggelam dalam pikirannya sendiri, sementara teman-temannya sedang mendiskusikan sesuatu yang tidak ia pedulikan.
Melihat Mila yang menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan, Aruna mendekat. Ia heran dan bingung melihat sahabatnya seperti itu. Tiga bulan mengenal Mila, sekali pun Aruna belum pernah melihatnya begitu. Dalam pikirannya, Aruna menerka bahwa Mila sedang tidak baik-baik saja.
“Tidur, Mil?” tanya Aruna pelan. Ia pindah duduk ke samping Mila dan meletakkan tasnya di atas meja.
Mila mengangkat wajah. Ia melihat Aruna yang menatapnya dengan tatapan seribu tanya. Mila menghela napas pelan. Entah kenapa, di saat-saat seperti ini, Mila tidak suka ditanya. Ia tidak ingin diganggu. Mila sudah cukup terusik dengan luka yang kembali bernanah. Apalagi ia juga sudah tidak tahan menahan rindu yang sudah bertumpuk-tumpuk, sudah menggunung. Hanya saja, seberapa pun besarnya tumpukan rindu itu, Mila tetap tidak bisa kembali ke masa lalu.
“Gua nggak apa-apa. Cuma capek aja,” jawab Mila lesu, lalu kembali menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan.
Mendapat jawaban seperti itu, Aruna hanya mengangguk-angguk. Mungkin Mila hanya sedang lelah atau kurang istirahat karena sering bergadang akhir-akhir ini, begitu pikir Aruna. Melihat Mila yang kembali seperti tadi, Aruna juga ikut kembali mendengarkan salah satu teman mereka yang sedang berbicara di depan kelas. Mereka sedang membahas sebuah kegiatan wajib bagi mahasiswa baru yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi.
“Seandainya bisa memilih, aku ingin melupakan semuanya,” ujar Mila dalam hati.
Sudah satu jam lebih mereka dalam ruangan itu. Diskusi sudah selesai. Sebagian besar mahasiswa Kimia itu sudah bersiap-siap untuk pulang. Tetapi, Mila masih seperti tadi. Sampai Iren–sahabatnya selain Aruna—memegang pundaknya dan mengajaknya pulang.
Dengan perasaan yang masih kacau, Mila pulang bersama sahabatnya itu. Mereka memilih pulang melalui pantai. Tentu saja mereka berniat menikmati matahari tenggelam sebelum pulang ke indekos masing-masing.
Angin di pantai itu bertiup sedikit kencang. Suasana di sana sangat bising, penuh dengan suara empasan gelombang yang keras. Gelombang itu seakan mengamuk. Marah. Kesal. Dan, Mila merasa gelombang itu seperti dirinya saat itu. Mila sedang marah pada dirinya sendiri, ia kesal pada kenangan masa lalu yang kembali hidup setelah sekian lama ia kubur dalam palung hatinya.
Senja itu, Mila lebih banyak diam ketimbang bicara. Tidak seperti biasanya. Hal itu membuat dua sahabatnya merasa aneh. Hanya saja, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah sesekali melemparkan candaan agar Mila tertawa atau hanya sekadar tersenyum.
“Lo kenapa, sih, Mil? Dari tadi kayaknya ada something gitu. Cerita dong biar bebannya berkurang,” ujar Iren yang mulai tak tahan melihat kebungkaman Mila.
“Gua baik-baik aja, kok. Cuma ya lagi nggak pengen ngomong aja.”
“Sayangnya gua nggak percaya.” Iren mengambil gelas berisi minuman yang ia pesan tadi, lalu menenggaknya sampai habis.
“Yoklah pulang. Uda mau magrib,” ajak Iren yang langsung membuat Mila dan Aruna berdiri.
Bersambung ….
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor: Fitri Fatimah