Batu-batu di Punggung dan Rantai di Dalam Kepala
Oleh : Jeevita Ginting
Batu di punggung saya semakin bertambah jumlahnya!
Biarpun rasa sakit yang menjalar-jalar ke seluruh badan itu membuat saya meringis kesakitan, bahkan hampir membuat badan yang sudah bongkok ini terjatuh, Datuk Kareem tetap saja menambahkan batu-batu hitam lain ke ke tumpukan batu di punggung saya. Itu memang hak dia. Sebagai buruhnya, saya tidak bisa menolak karena kami sudah terikat sebuah perjanjian. Namun tetap saja, saya selalu merasa ingin menerkamnya jika dia melakukan itu tiba-tiba. Setidaknya saya akan bersiap, mengokohkan posisi kaki terlebih dulu agar badan tidak limbung, dan malah membuat batu-batu itu terjatuh.
Batu-batu itu merupakan penanda bahwa pemiliknya sudah memiliki tuan, sehingga para lintah darat tidak akan mengejar, mengiming-imingi emas dan uang. Padahal semua itu hanya umpan, agar mereka bisa memperbudak dengan kejam para buruh yang terikat padanya.
Sebenarnya saya pernah menjadi budak salah satu lintah darat. Dia terus datang ke rumah, memamerkan banyak emas di kepalanya. Entah dari mana dia tahu saya dan istri sedang sangat membutuhkan dana karena anak kami sakit parah. Tapi yang pasti, saya tidak akan menerima emas-emas itu.
Selang beberapa hari, Lintah Darat itu kembali datang. Dia berteriak dan menggedor-gedor pintu rumah. Entahlah, mengapa dia membuat keributan seperti itu. Saya pun bergegas keluar, dan langsung mengusirnya. Bukannya pergi, dia malah mengeluarkan rantai dari balik tumpukan emas di kepalanya. Rantainya hidup, dan meliuk-liuk ke leher saya. Ah, apa-apaan ini! Rantainya tak bisa dilepaskan!
Ada apa sebenarnya? Mengapa Lintah Darat itu mengikatkan rantai, padahal saya tidak pernah berurusan dengannya. Tidak ada perjanjian apa pun di antara kami, dan saya juga tidak pernah menerima uang maupun emas dari dia. Juga tidak ada penjelasan apa pun darinya. Saya pun protes, ini tidak masuk akal.
“Jika rantainya sudah mengikat. Itu berarti kamu milik saya!” serunya lantang.
Si Lintah Darat kemudian bergegas pergi. Leher saya tercekik rantai yang terhubung dengan kepalanya. Tidak, saya tidak mau diperbudak olehnya! Saya kembali mencoba melepaskan rantai terkutuk ini, tapi percuma, benda itu malah semakin kuat melilit leher.
Kehabisan tenaga. Saya pasrah dan mengikuti si lintah darat. Ah, bagimana dengan nasib anak dan istri nanti jika saya pergi? Rasanya berat jika harus memberitahu mereka tentang apa yang terjadi. Terlintas wajah kecewa mereka di dalam benak. Saya tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
Saya melirik ke rumah sekilas. Ah, itu Ratmi, istri saya, dia mengintip kami dari balik jendela. Wajahnya terlihat sayu. Maaf, mungkin saya tidak bisa kembali, apalagi jika semakin banyak rantai yang melilit tubuh saya nantinya.
Berhari-hari saya diperlakukan keji oleh Lintah Darat ini. Saya bekerja keras, demi mengumpulkan uang untuk menebus diri saya sendiri. Tapi rasanya sia-sia. Sekali terikat oleh rantai Lintah Darat, mustahil bisa lepas dengan mudah. Ya, semakin lama, rantainya malah semakin kencang melilit leher hingga saya merasa kesulitan untuk bernapas.
Makin lama badan semakin bongkok. Siang-malam bekerja demi mengisi uang ke kepala Lintah Darat sialan itu. Seharusnya rantai ini sudah lepas, tetapi kok malah sebaliknya. Saya pun kembali protes padanya. Dia menatap saya nyalang, kemudian mengatakan bahwa hutang saya padanya sama sekali belum berkurang.
Bagaimana bisa? Saya yakin, dia pasti sengaja berbuat curang dan tidak akan membiarkan rantai ini lepas dari leher saya.
Frustrasi. Kenapa saya harus terlilit rantai menyeramkan ini? Meski berusaha lari sejauh mungkin, rantai ini tetap saja mengikat. Dan ketika si Linntah Darat mencari saya, badan pun terseret, dan saya akan berada tepat di hadapan dia. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa lari?
Lihat mereka, para buruh yang memanggul batu-batu besar itu. Jika diijinkan, saya lebih baik menjadi seperti mereka, memanggul batu besar ke mana-mana, tetapi terbebas dari rantai yang kian memuakkan ini.
Tiba-tiba seseorang mendatangi saya. Apakah dia orang terpandang? Pakaiannya berbahan bagus, sepertinya itu sutra. Dia pun menyerahkan sebuah gunting emas. Katanya gunting itu akan membebaskan saya dari rantai ini. Benarkah? Saya hampir tak percaya, tetapi perkataannya terdengar meyakinkan.
Akhirnya, sebuah perjanjian dibuat. Gunting itu menjadi milik saya tetapi dengan syarat, saya harus bekerja untuknya. Memanggul batu-batu yang dia punya, seumur hidup. Ini seperti keajaiban. Mungkin Tuhan sedang berpihak pada saya.
Ratmi terlihat pucat setelah membuka pintu. Jelas dia terkejut. Saya hanya tersenyum, lantas bergegas masuk, tak sabar bertemu dengan anak saya satu-satunya. Bagaimana keadaan dia? Semoga Tuhan juga berpihak dengan mengangkat semua penyakitnya.
Nihil. Dia tidak ada di mana-mana. Saya pun bertanya pada Ratmi. Perempuan itu terdiam sesaat, lantas menangis sejadinya sambil mengatakan sesuatu yang … ya, sesuatu yang sama sekali tak ingin saya dengar.
Tak ada gunanya menyesal, semua sudah terjadi. Anak kami sudah berpulang terlebih dahulu. Ya, sia-sia memang bergantung pada Lintah Darat itu. Saya yakin, Ratmi pasti sangat terpukul. Dia terus meminta maaf.
Saya pun berusaha semakin keras. Tak apa, jika batu-batu besar itu semakin bertambah banyak, bahkan membuat Ratmi mengeluh ketika kami tidur.(*)
Jeevita Ginting. Perempuan berusia 20 tahun yang tetap menggemari kartun.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata