Perempuan dan Kenangan (Part 13)
Oleh: Cici Ramadhani
Setiap malam aku meringis kesakitan di dalam kamar kosku. Entah mengapa, sakit ini menyerang hanya di malam hari sehingga membuatku sangat sulit terpejam. Aku meminum sedikit demi sedikit bir hitam yang dibawakan Arya kemarin malam. Rasa pahitnya membuatku merasa ingin muntah, namun dengan cepat kumakan pisang yang juga dibelikan Arya.
Bu Bidan menganjurkan aku meminum bir hitam dan makan buah pisang untuk meredakan rasa pahitnya. Beliau melarangku meminum jamu-jamuan atau urut perut karena bisa merusak rahim. Dengan bantuan bir hitam itu nanti janinku akan jatuh sendiri dan kami harus membersihkannya dan menguburnya secara layak, jangan pernah membuangnya di sembarang tempat.
Arya benar-benar menepati janjinya. Sepuluh hari telah berlalu, dia tak pernah meninggalkanku melewati ini semua. Ya, walau aku tahu ini semata-mata untuk kepentingan pribadinya, namun setidaknya dia tidak melepaskan tanggung jawab tentang keadaanku. Biasanya, dua hari sekali Arya akan datang ke kos, sekadar membawakan buah dan bir hitam kemudian pulang. Namun, malam ini dia terlihat aneh. Dia datang namun tidak langsung pulang, katanya ada yang ingin disampaikannya.
“Aku sudah katakan setelah ini selesai kita tak perlu bertemu lagi. Tak perlu dekat dan berbicara seperti dulu lagi. Aku ikhlas atas semua yang terjadi. Jadi, tak ada lagi yang perlu kita bicarakan,” ucapku kesal.
Aku memang minta dia menemaniku melewati ini semua sampai benar-benar berakhir, tapi hanya sebatas tanggung jawab moral, tidak lebih. Bahkan aku bersedia ditangani seorang bidan bukan dokter agar biaya yang dikeluarkannya tidak terlalu besar. Dia hanya rugi materi, tapi aku sebagai perempuan lebih banyak menanggung kerugian.
“Aku minum bir hitamnya, ya.”
Belum sempat aku menjawab, Arya sudah menegak bir hitam yang masih berada dalam kantong plastik berwarna hitam yang dibawanya. Matanya menyipit akibat sensasi pahit bir hitam.
Kami sengaja memilih duduk di teras samping rumah kosku. Temaram lampu jalan membuat samar penglihatan tetangga atau orang yang lalu-lalang.
“Tadi, di rumah aku juga udah sempat minum bersama Boy. Tapi tetap juga tidak membuatku tenang. Aku kepikiran terus untuk menemui Rara.” Arya menegak kembali bir itu.
Walau samar namun dapat terlihat jelas olehku bahwa Arya sedang frustrasi. Ada apa denganmu, Arya? Apa yang membuatmu kembali datang padaku? Tak tahukah kau, aku sedang menata hatiku? Aku ingin terbiasa tanpamu sampai harus rela berhenti bekerja.
Dua minggu lalu, Arya memintaku untuk resaign. “Berhentilah bekerja di kantor,” ucapnya saat kami duduk di teras samping rumah.
Aku menatapnya tajam. “Tenang aja, aku pasti akan berhenti tapi setelah aku mendapat panggilan dari tempat lain.” Sudah sebulan aku menunggu hasil interview.
“Jangan salah paham. Aku ingin Rara buka usaha. Contohnya seperti grosir. Nanti biar aku yang modalin. Usaha grosir itu cukup menjanjikan, loh,” jelasnya dengan tersenyum.
“Aku enggak mau jualan gitu. Aku maunya tetap kerja kantoran,” jawabku tegas.
Namun, kini aku seorang pengangguran. Mana mungkin aku bekerja dalam situasi pendarahan seperti saat ini.
Rembulan tertutup awan kelam. Waktu terasa begitu lambat berputar. Tak ada kata yang keluar dari mulut Arya. Dia hanya terus menenggak minuman yang terbungkus plastik di tangan kirinya.
“Sudah, jangan terlalu banyak minum. Bahaya nanti saat berkendara pulang.” Aku mengambil minuman dari tangannya ketika dia mau menenggaknya kembali.
“Besok aku belikan yang baru, ya. Yang itu biar aku habiskan aja, nanggung,” ucapnya sambil mencoba meraih kembali apa yang telah kuambil.
“Enggak,” elakku. “Kalau mau minum, sana pulang, jangan di sini!” Aku marah, namun tetap berusaha menahan nada suara agar anak kos lain tidak mendengar.
“Jangan tinggalkan aku, Ra. Aku mohon,” ucapnya lirih. “Cuma kamu satu-satunya teman perempuan yang dekat denganku, kamu yang ngerti keadaanku, bisa berbaur dengan teman-temanku. Cuma kamu. Kalau kamu juga pergi, aku enggak punya siapa-siapa.” Arya menunduk, suaranya terdengar serak.
Aku tak tahu apakah dia senang menangis atau karena terlalu banyak minum? Remang malam menutupi lukanya. Aku merasa iba, bagaimanapun dia adalah pria yang kucintai. Melihatnya terluka sama seperti menyayat luka sendiri. Aku masih terdiam, membiarkan dia sendiri yang menyampaikan kegundahannya.
“Aina akan menikah dengan pria itu, kepala cabang di bank tempatnya bekerja. Akhirnya, dia menyerah dan meninggalkanku. Katanya, orang tuanya lebih setuju dengan pria itu dibanding aku. Aina memintaku tidak lagi menghubunginya karena ingin menjaga perasaan calon suaminya. Aku hancur, Ra. Kalau kamu juga pergi meninggalkanku, aku akan lebih hancur.” Arya menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Dia sungguh meracau malam ini, tapi dia tetap berusaha sadar dan mengendalikan dirinya. Aku sakit melihatnya menderita, tapi aku juga sedang dalam kehancuran.
“Jadi, maksudmu apa? Setelah kamu dicampakkan, kamu jadikan aku pelarian? Kamu pikir aku enggak hancur?” kataku penuh emosi.
“Tidak. Aku enggak berniat menjadikanmu pelarian. Rara bisa tanya Boy dan Wita. Sebelumnya aku telah bercerita pada mereka. Lagipula, aku dan Aina sudah berakhir sejak malam tahun baru lalu.”
Deg. Detak jantungku seakan berhenti berdetak. Malam tahun baru? Malam yang terasa begitu panjang sehingga membuat kami melakukan dosa besar. Apakah itu bentuk dari rasa kekecewaan dan kemarahan seorang Arya terhadap Aina? Dan, aku yang menjadi pelariannya? Aku ingin meluapkan tangis dan amarah bersamaan. Namun, aku masih mencoba mengontrol diri. Mungkin kalau kami hanya berdua di tengah hutan, aku akan meneriaki dan memukulnya.
“Tadinya, aku ingin jadi pembunuh. Kalau aku tidak bisa memiliki Aina, pria lain pun takkan bisa. Rasanya ingin kubunuh mereka semua, kemudian aku bunuh diri. Tapi ternyata, nyaliku tidak sebesar itu. Dengan besar hati, untuk terakhir kalinya tadi sore aku menghubungi Aina. Aku berbicara dengan Aina dan calon suaminya. Pria itu meminta maaf padaku karena telah merebut Aina. Kukatakan padanya, itu bukan salahnya karena Aina yang memilihnya bukan diriku.”
Aku tak percaya dengan yang kudengar. Benarkah ini akhir cerita cinta Arya? Setelah semua perjuangan selama tiga tahun. Setelah semua pengorbanan yang kuberikan? Aku menatap Arya tak percaya sambil menggelengkan kepala. Mencoba menepis segala prasangka yang menyapa.
“Pulanglah. Tenangkan pikiranmu di rumah. Aku tak bisa lagi membantumu. Aku sudah berkorban dengan segala yang kupunya demi kebahagiaanmu, masa depanmu bersama Aina. Namun, jika takdir berkata lain, aku enggak tahu harus bagaimana.” Pikiranku terasa buntu. Semua rasa menjadi satu. Tapi, satu yang pasti, aku hanya ingin fokus dengan janin yang belum juga keluar dari mulut rahimku.
Arya masih diam terpaku. Dia menyandarkan kepalanya pada tembok rumah. Aku tak pernah melihatnya semenyedihkan ini.
“Pulanglah, malam mulai larut. Walau ini malam Minggu, tapi aku tetap enggak enak sama anak kos lain dan para tetangga.” Kali ini aku mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal.
Arya mengangkat kepalanya dan melihat jam di pergelangan tangan kanannya. “Ah, iya. Sudah jam sebelas ternyata. Mengapa waktu begitu cepat berlalu,” keluhnya seraya bangkit dari duduk.
Akhir-akhir ini, aku merasa kami berada di dua dimensi waktu. Aku di waktu yang terasa berlalu begitu lambat, sedangkan Arya di waktu yang lebih cepat.
Sudah sejam lalu Arya pamit pulang, namun mata ini tak dapat terpejam. Ya Allah, mengapa Engkau tak mempersatukan mereka? Padahal aku telah rela mengorbankan semua. Kalau memang nama mereka tidak tertulis di Lauhul Mahfudz, seharusnya Engkau menggerakkan hati kami dalam mempertahankan janin ini. Aku terus menangisi segala hal. Ranjang ini menjadi saksi bahwa tiap malamku kini penuh penderitaan.
Entah karena memang sudah ditakdirkan atau akibat stres yang melanda semalaman, pagi harinya janinku gugur. Setelah kubasuh dengan air, aku membalutnya dengan tisu. Kukirim pesan pada Arya untuk segera menjemputku.
“Di mana akan kita kubur ini?” tanyaku ketika motor mulai keluar dari gang.
Arya tidak menjawab. Dia hanya melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Arya membawaku ke rumah kontrakannya yang terlihat sepi.
“Romi lagi pulang ke rumah orang tuanya, Boy lagi ngantar Wita ke rumah saudaranya.” Seperti membaca pikiranku, Arya menjelaskan.
Aku mengikuti Arya hingga ke belakang rumah. Ada halaman kecil yang ditumbuhi pohon mangga yang tingginya tidak melebihi tinggi rumah. Arya mulai menggali tepat di bawah pohon dengan pisau yang sebelumnya dia ambil dari dapur. Rumah ini dikelilingi tembok dari rumah-rumah tetangga. Tak ada yang melihat, namun sesekali aku mengamati sekitar karena rasa takut yang selalu mendera. Setelah merasa cukup dalam, Arya menguburkan janin itu.
Maafkan, Bunda, ucapku dalam hati. Air mata merembes. Bagaimanapun itu adalah darah dagingku, dari pria yang kucintai. Namun, dengan tega aku membunuhnya. Ya Allah, ampuni aku ….
“Bukan aku enggak suka punya anak, apalagi anak pertama laki-laki. Tapi, aku belum siap jika harus sekarang.” Arya menepuk-nepuk gundukan tanah agar merata kemudian menutupinya dengan daun-daun yang berguguran.
Tak ada satu orang pun yang bisa menghindar ketika cinta menyapa. Bahkan ketika berkali-kali merasa jatuh, maka berkali-kali itu juga kau akan mencinta. Aku mencintaimu, Arya. Namun, aku takkan memaksa kau untuk membalas perasaanku. Aku juga tidak ingin kita menua dengan keadaan terpaksa. Kau telah kehilangan jabang bayimu dan juga cintamu–Aina. Kita tak bisa menghindari pengalaman pahit manisnya mencintai. Ke mana takdir akan membawa kita, Arya? Biarlah waktu yang menjawab segalanya.
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com