Segelas Racun yang Dibubuhi Madu Saat Dihidangkan
Oleh : Dhilaziya
Dalam perjalanan menuju tempatku bekerja tadi pagi, aku terhenti oleh sebab kemacetan. Kemacetan parah yang lumrah oleh pasar di mana mereka yang bersambang entah sebagai pembeli atau penjual, tumpah ruah hingga di jalanan. Mereka menggasak separuh jalan tanpa kira-kira, tak pakai perhitungan, abai pada kepentingan selain miliknya sendiri. Maka berjejal-jelallah orang-orang sepertiku yang harus rela mepet nyaris anjlok dari bahu jalan, daripada menggelosor di aspal digilas truk besar. Atau sengaja mengalah ketimbang jatuh konyol diseruduk becak atau delman. Belum lagi jika berhadapan dengan mereka yang membawa keranjang besar di boncengan motornya, aku juga memilih menyingkir, tersenggol ujungnya saja sudah bisa membuatku terkapar dengan posisi mengenaskan.
Satu yang khas dari pasar tradisional seperti yang sedang membuatku tertahan dari melanjutkan perjalanan semacam ini adalah tukang obat. Tak peduli pada bising yang dihasilkan bermacam teriakan penuh penawaran dari dua sisi, penjual menawarkan dagangan, dan pembeli menawar harga berharap potongan, suara tukang obat melengking lebih tinggi dari itu semua. Dia juga melenyapkan aroma busuk sayuran lambat laku, langu bau keringat, amis ikan juga bebauan lain yang sukar diidentifikasi karena terlampau riuh bercampur. Dan yang lebih membuat kesal, kerumunan orang yang terlongong mengitarinya, berdusal-dusal meleber hingga ke jalanan.
Tukang obat yang sedang menggelar dagangannya di emperan dangau milik pedagang brambang, berbaju kaos hitam dengan payung lebar sebagai peneduh, adalah tetanggaku. Kusebut begitu karena dia tinggal di desa yang sama denganku. Rumahnya berada di ujung kampung, sepi tanpa rumah tetangga di kiri dan kanan pekarangan. Sementara, belakang rumahnya adalah sawah yang dibatasi parit, dan halaman rumahnya berbatas langsung dengan jalan yang berubah menjadi kubangan lumpur di musim penghujan seperti sekarang. Meski begitu, saat dia di rumah dan mulai membual, rumahnya tak pernah sepi dari orang yang datang.
Mereka yang datang bukan selalu karena sakit, beberapa justru karena hanya di situ mereka bisa membiarkan waktu berlari cepat tanpa merasa rugi sebab tertinggal. Semua merasa penting dan berarti di hadapan si tukang obat. Dia pandai menyenangkan tamu-tamunya. Menyuguhkan apa yang mereka sukai, membuat mereka betah dan enggan pulang.
Bualan-bualan si tukang obat, begitu aku menyebutnya, di hadapan pelanggannya adalah pencerahan. Lelaki tua yang membiarkan rambut putihnya menguasai batok kepalanya tanpa ingin mewarnainya seperti kebanyakan orang, sebab dia percaya bahwa itu menumbuhkan wibawa dan aura kebijaksanaan, memang amat pandai berkata-kata. Di mulutnya hal-hal busuk berganti rupa, bujuk rayunya memanja, senyum sapanya membuat terpesona, banyak dari yang mendengarnya bicara, jatuh terlena.
Bukan tanpa alasan aku tak menyukainya, tentu telah jelas sikapku terhadap kelakuannya, semua karena aku tahu rahasia obat-obat racikannya. Yang dia sebut jamu penurun tekanan darah, adalah akar-akar rumput yang dia ambil saja di pematang sawah. Yang dia namai sebagai ramuan pengendali gula darah adalah daun dari pohon yang akarnya dia jadikan penekan hipertensi. Tentu saja aku mengerti bahwa ramuan herbal memang terbuat dari tanaman yang diracik lalu digunakan sebagai sarana penyembuh, tetapi kata-katanya ketika kutanya apa khasiat tumbuhan yang dia ambil yang membuatku muak.
“Aku juga tak tahu. Yang penting aku akan mengemasnya, kukeringkan dan kutimbang, kubungkus dengan plastik berlogo, kutawarkan dengan kata-kata yang bagus. Dan jangan lupa, iyakan saja segala keluh-kesahnya, benarkan semua pendapatnya, dan turuti saja semua maunya. Jangan lupa tetap menyuruhnya kontrol ke dokter. Merendahlah dengan berkata, saya hanya berikhtiar, ikutlah memaki dokter dan resepnya yang mahal. Di jaman sekarang, begitulah caranya berjualan jika kamu mau tahu. Lumuri gorengan beracunmu dengan madu, niscaya daganganmu laku seperti yang kamu mau.”
Mual sekali aku mendengar penuturannya. Jika tak ingat bahwa bisa saja aku akan berakhir sia-sia dengan menghuni penjara, mungkin parang yang sedang kupegang dan hendak kugunakan menebang pohon pisang yang buahnya masak di ladang, kualihfungsikan menebas lehernya saja. Sempat terlintas di kepalaku berita yang akan ramai terkabar, seorang tukang obat tewas di tangan sepupunya sendiri. Aku memakinya sebelum akhirnya memilih enyah dari hadapannya.
Sekarang di depan mataku, sementara menunggu kemacetan terurai dan aku bisa bebas dari segala keriuhan, aku menontonnya. Seolah sebagai pelakon di atas panggung, dia terlihat tamak menyembur-nyemburkan ludah tipu-dayanya. Aku nelangsa melihat wajah-wajah yang memuja setiap ujaran dustanya. Berapa banyak yang akan terjerat hari ini?(*)
#dz. 12112020.
Dhilaziya, perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwa Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/ menjadi penulis tetap di Loker Kata