Menyibak Kabut di Kepala Surya
Oleh : Syifa Aimbi
Dia terlahir di kota sunyi yang tertutup kabut. Entah bagaimana asap putih tebal menyelimuti kota itu. Tidak pernah ada hutan yang terbakar, tidak pula kota itu berada di dataran tinggi, tapi kabut tidak pernah menghilang pergi. Masyarakat sudah paham betul masalah ini. Sebab itulah kenapa semua kendaraan harus selalu menghidupkan lampu, atau memasang bunyi. Pandangan yang terbatas sangat berbahaya. Lagi pula, di kota kecil ini tidak terlalu diperlukan banyak kendaraan. Sekali tempuh saja kota ini selesai dijelajahi. Di sinilah Surya tumbuh. Surya, nama yang menjadi doa kedua orangtuanya. Berharap sang anak menjadi penerang bagi kota berkabut itu.
Tidak ada yang salah dengan tumbuh kembangnya, Surya dibesarkan dengan penuh cinta. Namun, kota berkabut itu membuat cahaya di kepalanya pun ikut redup. Tidak hanya satu, tapi ia dengan sadis menghabisi belasan nyawa manusia. Pembunuhan paling sadis membuat kota berkabut mengisi berita kriminal di seluruh dunia. Bagaimana tidak, seluruh korban ditemukan dengan kondisi yang sama, mata dan telinga yang hilang.
Kasus ini terbongkar setelah ditemukannya sepotong telinga di kandang anjing miliknya. Kedua orangtuanya tidak pernah menyangka, anak mereka yang juga seorang guru menjadi pelakunya. Surya terlihat begitu sempurna menjadi guru teladan bagi muridnya. Bahkan saat ditangkap pun ia tidak lupa menitipkan nilai akhir anak didiknya. Sungguh sempurna.
Di pengadilan kota berkabut pagi ini, ia duduk sambil tersenyum di hadapan para saksi dan penonton yang kebanyakan dari keluarga korban. Hari ini adalah masa baginya untuk menceritakan semua. Kenapa ia melakukan perbuatan yang tidak manusiawi itu. Baju seragam tahanan berwarna kelabu melekat pas di tubuhnya. Nomor 107 tersablon di dada kirinya. Rambutnya terlihat lebih panjang, bulu-bulu kasar menghiasi dagu, pipi dan kumisnya. Ia terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. Jika ia tidak duduk sebagai pesakitan, ratusan mata yang memandangnya pasti menaruh simpati. Apalagi dengan senyum yang tidak pernah absen dari wajahnya. Namun, mata tetap menjadi jendela jiwa. Tatapan tajam itu seakan sanggup menebas kepala tanpa menggunakan senjata. Sang jaksa sempat bergidik saat tidak sengaja menatapnya.
“Saudara Surya, bisa Anda ceritakan bagaimana Anda menghabisi Tuan Candra, korban pertama?” tanya Jaksa. Kali ini ia menghindari menatap mata si Surya.
Surya terlihat tersenyum mendengar pertanyaan Jaksa. Pertanyaan ini sudah berpuluh kali dilemparkan padanya. Namun, ia tidak pernah lelah juga menceritakannya. Baginya, cerita itu sudah seperti hafalan materi ajarnya, bahkan mungkin tetap sama hingga titik koma.
“Saya tidak mengenal dekat Tuan Candra. Yang saya sesali, mereka mengabaikan anugerah Tuhan. Jadi layak untuk dicabut ketika tidak lagi dipergunakan.”
“Biadab! Matilah kau di neraka!” teriak salah seorang penonton yang sepertinya adalah keluarga korban.
Ruang sidang ricuh seketika, para keluarga korban yang sebelumnya sudah berjanji akan bersikap tenang tersulut emosinya. Hakim berulang kali memukul palu, memohon ketenangan agar sidang dapat dilanjutkan. Namun, keluarga korban terlanjur emosi. Akhirnya seluruh keluarga disuruh keluar, dan hanya dapat menonton dari luar ruangan. Sidang kembali dilanjutkan.
“Saya harap semua dapat bekerja sama. Kita semua ingin kasus ini segera dituntaskan, terdakwa harus mendapat hukumannya, bukan? Mari kita lanjutkan, silakan jaksa penuntut umum,” ujar Agustin, satu-satunya hakim wanita di kota ini. Rasa emosi membuat punggungnya panas, ia tidak sabar menyeret psikopat yang telah meresahkan kota itu ke bilik eksekusi. Belakangan para senior dan beberapa rekan dari seluruh negeri tidak henti-hentinya menghubungi. Ia bahkan sampai harus mematikan ponselnya. Masalah kehidupannya saja sudah membuatnya resah, ditambah pekerjaan yang seakan tiada habisnya. Sepertinya pensiun dini perlu segera diurusnya setelah kasus ini.
“Terima kasih, Bu Hakim. Saudara Surya, saya akan melanjutkan. Apa alasan saudara menghabisi nyawa Tuan Candra?”
“Simpel saja, bukan kali pertama ia menabrak hewan di jalan. Yang terakhir menjadi korban adalah anjing Anda bukan, Pak Jaksa?” Surya menatap sang jaksa dan tersenyum.
“I-iya, tapi itu bukan alasan untuk Anda menghabisi nyawanya.”
“Saya mungkin memaafkannya jika ia bertanggung jawab dan menguburkan hewan malang itu dengan layak. Tapi ia malah menendangnya ke tong sampah.” Tidak ada emosi di wajahnya, Surya terlihat sangat tenang.
“Lima korban berikutnya dibunuh dengan alasan yang sama?” tanya jaksa kembali.
“kurang lebih begitu, dengan cara menjijikkan lainnya.”
“Lalu bagaimana dengan tiga korban yang ditemukan mengambang di danau?”
“Oh, kalau itu karena mereka berada di waktu yang salah. Seharusnya mereka tak menemukanku saat menguburkan para korban.” Surya kembali tersenyum.
Seluruh yang hadir di ruangan itu bergidik ngeri ketika mendengar seluruh penjelasan Surya. Bahkan ada yang sampai muntah, tidak tahan membayangkan apa yang dilakukan pembunuh keji itu. Tentu saja yang paling menakutkan adalah, semua ia ceritakan dengan enteng. Surya selalu melempar senyum seakan sudah kehilangan simpati. Berkali-kali orang-orang bergumam mengutuknya. Ia tetap tenang.
“Yang terakhir, Pak Guntur. Bagaimana Anda bisah membunuh atasan Anda. Bukankah Pak Guntur adalah guru Anda juga?” tanya jaksa kemudian.
“Saya sudah membuat pernyataan, saya tidak ingin menjawab lagi. Yang jelas saya akan bertanggung jawab.”
Berbeda dari sebelumnya, kali ini Surya terlihat gusar. Tangannya kini bergetar, ia terlihat meremas ujung meja. Buku-buku jarinya sampai terlihat memutih, seakan ia menahan amarah.
“Jelaskan saja alasan Anda membunuhnya. Bahkan korban terakhir ditemukan dengan tubuh yang tidak lagi utuh. Polisi bahkan kesulitan menemukan potongan tubuh yang lainnya. Apa yang dilakukan Pak Guntur hingga membuat Anda membunuhnya. Apa ia juga membunuh hewan juga?” Jaksa berusaha mengorek kembali, pertanyaan ini memang tidak tuntas dijawab oleh terdakwa. Ia selalu mengelak setiap kali ditanya.
“Saya tidak akan menjawabnya. Sudahlah, Bu Hakim. Jatuhkan saja hukuman mati itu. Bacakan saja segera.” Mata tajam tadi kini terlihat menderita, seakan menahan sakit yang teramat sangat.
Polisi mulai berjaga-jaga di belakangnya. Mencegah pria yang diduga menderita masalah kejiwaan ini mengamuk.
“Maaf, Bu Hakim. Saya keberatan, klien saya sudah menjawab sebelumnya tentang hal ini. Tolong lanjutkan saja.” Pengacara yang sejak tadi hanya diam kini mulai angkat suara. Ia sebenarnya juga enggan menjadi pembela sang pembunuh, tapi ekspresi Surya saat ini juga membuatnya iba.
“Keberatan Anda di tolak. Silahkan dilanjutkan, Jaksa!” Bu Hakim tidak peduli. Sejujurnya ia juga cukup penasaran dengan korban terakhir, nasib jenazahnya paling parah dari yang lainnya. Bahkan sisa dagingnya menjadi makanan diberikan pada anjing jalanan.
Surya emosi, ia menantang mata Bu Hakim.” Jadi Anda penasaran, Bu Hakim? Baik, tapi jangan menyesal nantinya. Pria itu, menjijikkan. Ia bahkan lebih hina dari seekor anjing. Ia menggerayangi tubuh murid-muridku. Anak-anak itu sudah berteriak, tapi ia tidak mau mendengar dan terus saja menyalurkan nafsu binatangnya.” Surya kini meraung, seisi ruangan terdiam. Tidak menyangka kasus ini membuka aib baru.
“Anda mau tahu korban terkahirnya? Kalina, ya, Bu Hakim, putri Anda.”
Ruang sidang kembali ricuh, sang hakim tidak sadarkan diri.(*)
Depok, 9 November 2020
Syifa Aimbine, ibu dengan sepasang anak yang super aktif.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata