Di Sebuah Klinik
Oleh : Ina Agustin
Pekatnya langit menemani kami yang sedang melaju menuju klinik Bidan Khotimah. Jalanan becek dan berlubang tak menyurutkan langkah kami untuk memeriksakan buah hati dalam rahim ini. Bang Farhan melajukan motor dengan pelan. Sesekali dia melihat ke arah spion seolah memastikan keadaanku, karena aku sering tertidur dalam perjalanan. Dia beberapa kali memanggilku. Aku paham akan kekhawatirannya.
Setelah melewati pasar tradisional Rau, kami masuk gang ke arah klinik hingga sampailah di tujuan. Seperti semut mengerumuni gula, semua tempat duduk penuh oleh pasien, bahkan banyak yang berdiri, entah yang mengantar atau mungkin memang pasien juga. Aku segera mengambil nomor antrean yang terletak di depan jendela klinik. Sementara itu, Bang Farhan dan kedua anak kami menuju masjid dekat klinik untuk menunaikan salat Isya.
Saat hendak mengambil nomor antrean, kulihat seorang ibu paruh baya duduk sambil menyusui bayinya yang masih merah, ditemani seorang anak perempuan berjilbab merah berwajah manis. Kutaksir usianya sekitar sembilan tahunan, mungkin anak pertamanya. Lalu bayi yang ada dalam pangkuan ibunya itu sesekali terisak seperti sedang merasakan sakit.
“Maaf, Bu, kalau boleh tahu dede bayinya sakit apa?” tanyaku.
“Panas, Bu,” jawabnya ramah.
“Masyaallah. Ibu yang sabar, ya! Semoga lekas sembuh dedenya!” Aku menyentuh keningnya.
“Cantik sekali dede bayinya,” pujiku, setelah melihat sepasang anting emas yang tersemat di kedua daun telinganya.
“Terima kasih. Ibu mau periksa kandungan, ya? Berapa bulan, Bu?”
“Iya, jalan sembilan bulan,” jawabku sambil tersenyum.
“USG atau periksa aja, Bu?”
“Sekarang jadwal USG. Sudah tiga kali USG, katanya anak perempuan. Kalaupun laki-laki lagi, tetap disyukuri.”
Kulihat ibu itu mengangguk dan menatap datar ke depan seperti ada yang dipikirkan.
“Kalau boleh tahu, Ibu ke sini diantar siapa?” tanyaku penasaran. Karena kulihat sedari tadi dia hanya bertiga dengan anaknya.
“Tukang ojek, Bu. Suami saya enggak mau nganter. Dia sibuk sama dirinya sendiri, padahal lagi ada di rumah,” ujarnya dengan nada kesal.
‘Tega sekali suaminya.’
Ibu itu terdiam. Kulihat matanya berkaca-kaca.
“Boleh saya cerita sesuatu?” tanyanya dengan tatapan sendu, seperti sedang membutuhkan teman untuk berbagi. Kemudian dia menghela napas perlahan, bagaikan ada batu yang mengimpit dadanya. Lalu aku duduk di sampingnya.
“Kalau memang Ibu percaya saya, silakan.” Aku mengusap pundaknya pelan.
Mengalirlah cerita tentang suaminya yang bekerja sebagai tukang panggul di pasar tradisional. Upahnya yang tak seberapa, dia belikan minuman keras. Sang istri hanya kebagian sisanya saja. Karena itu dia pun turut bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga. Namun dia masih cuti setelah melahirkan anak keduanya. Dia berencana menitipkan bayinya pada sang ibu kala dia bekerja di rumah majikannya.
“Ibu yang kuat, ya!”
“Satu lagi yang bikin kesal ….” Kulihat dia mengembuskan napas kasar dengan tatapan nanar. “Sekitar seminggu yang lalu saya pergoki dia lagi gerayangin anak saya, Fina,” cakapnya sembari memegang tangan anak perempuan yang berada di kanannya.
“Sama anak sendiri begitu?”
Ibu itu kembali bercerita bahwasanya Fina adalah anak dari suaminya yang pertama, yang telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Awal menikah dengan suaminya yang sekarang, terlihat baik perangainya. Namun, menjelang satu tahun pernikahan, ketahuan aslinya. Ternyata suaminya tukang mabuk dan mukulin istri.
“Dia paksa saya untuk melayaninya, padahal saya sedang nipas. Tentu saja saya tidak mau. Eh, dia besoknya dia malah begitu sama Fina. Sejak saat itu, ke mana pun saya pergi, saya selalu ajak Fina.”
Mungkinkah itu alasan bagi Mama tidak mau menikah lagi? Lebih dari sepuluh tahun Mama menyandang status sebagai single parent. Dan itu bukan perkara mudah.
Mama yang siaga menggendongku sampai sekolah agar sepatuku tak basah terkena genangan air hujan. Mama yang rela begadang demi menjagaku yang tengah demam, sedang sang suami pergi entah ke mana setelah pertengkaran hebat itu. Pertengkaran yang bersumber dari keinginan kuat Bapak menikahi seorang janda muda di desa sebelah karena janda itu telah mengandung benih Bapak.
Ya, kudengar dan kuingat betul kata-kata Bapak kala itu. Namun waktu itu aku masih belum mengerti tentang semuanya. Hingga di suatu saat Mama menangis saat membaca selembar kertas.
“Rania, kelak kamu akan mengerti kenapa Mama tak mau menikah lagi,” ujar Mama dengan mata berkaca-kaca.
Setelah mengambil nomor antrean dan selesai mendengar cerita ibu itu, aku menyusul ke masjid untuk menunaikan salat Isya terlebih dahulu. Ada sesak yang kurasa. Beberapa detik kemudian, cairan bening luruh dari kedua mataku tanpa permisi.
Serang, 10 November 2020
Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang memiliki hobi baca. Penulis berasal dari sebuah desa kecil di Pandeglang Banten dan kini menetap di Serang bersama sang kekasih halal dan tiga jagoan cilik. Penulis bisa disapa di FB dengan nama akun yang sama.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata