Innocent Bos
R Herlina Sari
Part 2
Pagi ini, adalah hari pertamaku kerja di PT. Nusantara Jaya Group sebagai pegawai magang. Sengaja aku berangkat lebih pagi, selain menghindari macet, juga menghindari terlambat. Terlebih, dari info yang kudapat jika datang terlambat hari pertama bekerja di kantor, tiada maaf bagimu.
Layaknya pegawai baru, aku mengenakan rok sepan warna hitam, blus putih juga sepatu pantofel dengan warna senada. Rambut kuikat sepatutnya. Rapi. Itulah sekilas yang aku lihat dari cermin sepeda motor.
Kususuri lorong panjang area kantor. Lengang. Terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan. Sesuai arahan pak satpam, aku berjalan menuju bilik kerja yang ada di lantai tiga. Sudah ada papan nama tertera di sana.
Aku memasuki sebuah ruangan sederhana, layaknya ruangan kantor pada umumnya. Di sana terdapat sebuah meja, lengkap dengan seperangkat komputer dan telepon, juga berbagai macam alat tulis dan kertas. Di bagian belakang, terdapat sebuah lemari lengkap beserta kuncinya yang masih menggantung.
Di pojok ruangan, ada sebuah pot bunga besar. Sayang terbuat dari plastik. Jadi tidak ada harum-harumnya. Ah, di otak kecilku jadi terlintas ide untuk membawa bunga bonsai yang akan kuletakkan di samping meja kerja. Bonsai bunga krokot saja kali, ya. Murah, mudah, dan indah saat berbunga. Apalagi jika berwarna-warni dalam satu pot. Pasti akan terasa nyaman.
Suasana sepi, belum ada satu orang pun yang datang. Aku terdiam, mengamati keadaan. Entah kebetulan atau tidak, ruanganku ada di dekat jendela. Bisa melihat suasana luar di kala bosan melanda. Walaupun yang tampak hanya bangunan-bangunan bertingkat dengan suasana kemacetan yang selalu menghiasi jalan besar.
Setidaknya, cukup untuk mengubah suasana sesaat. Terlebih saat tumpukan berkas berserakan di atas meja untuk ke depannya. Walaupun saat ini aku masih belum tahu apa yang harus kulakukan, tetapi sebuah bayang-bayang tentang apa yang akan aku kerjakan di sela-sela jam kantor terlintas begitu saja.
“Ibu, biasa minum apa?”
Aku menoleh saat mendengar sapaan wanita paruh baya. Mungkin office girl di kantor ini.
“Secangkir kopi, cukup.”
Aku bahkan lupa tadi belum menyesap kopi buatan Emak. Euforia hari pertama sangat terasa. Hingga melupakan segalanya. Gugup, grogi, senang, bercampur jadi satu.
Tak berselang lama, secangkir kopi terhidang di atas meja. Aroma kopi menguar ke indera penciuman. Harumnya membuat tubuh rileks. Menenangkan. Senyawa kafeina itu tahu apa yang aku butuhkan saat ini.
“Terima kasih, Bu ….” Mau kusapa tapi aku belum mengenalnya.
“Panggil saya Bi Ijah, office girl yang biasa melayani pegawai kantor lantai tiga,” jelasnya secara perlahan. “Ada lagi yang Ibu perlukan? Kalau tidak saya mau melanjutkan pekerjaan,” sahutnya kemudian.
“Tidak ada Bi, terima kasih.”
Bunyi dering telepon mengagetkan lamunanku. Kulihat jam tangan, baru pukul delapan. Jam kerjaku dimulai jam sembilan. Mengapa sudah ada telepon sepagi ini?
Akhirnya aku angkat telepon. Dari siapa, urusan belakangan.
“Halo, selamat pagi.”
“Shera kamu sudah datang? Segera ke ruangan saya, sekarang!” Belum sempat aku jawab, telepon sudah ditutup.
Siapa yang telepon tadi? Bu Sherly kah? Ah … kucoba peruntungan saja segera ke ruangan Bu Sherly
“Pagi, Bu … Ibu memanggil saya?”
“Hari pertama kerja, kamu bantu Pak Nala, mendata hasil kerja sales bulan lalu. Sore ini harus diserahkan ke pak Tama,” kata Bu Sherly sambil menyerahkan setumpuk dokumen.
Satu kata yang ada di otak, gila. Baru hari pertama, sudah diberi kerjaan yang membuat sebagian otak tersayat. Gak tanggung-tanggung. Aku lihat sekilas berkas yang ada di tangan. Tebalnya seperti kamus Bahasa Inggris.
Saat membaca halaman pertama aku terkesiap. Sales di kantor ini ada sembilan puluh sembilan orang yang terbagi menjadi sembilan divisi. Setiap sales mempunyai area sendiri-sendiri. Membayangkan saja membuat perutku bergejolak. Semangat Shera, kamu pasti bisa.
Kulangkahkan kaki secara perlahan menuju ruang kerja. Semangat yang datang menggebu seolah-olah ditelan bumi. Lemas, membayangkan laporan yang akan selesai entah kapan. Namun, harus dikerjakan dalam waktu singkat.
“Dor! Pagi-pagi udah lemes aja,” sapa seseorang dari bilik meja kerja.
“Kamu lagi, kamu lagi. Gak bosan apa gangguin orang yang lagi asyik?”
“Kerja, Neng, bukan malah bengong aja.”
“Eh, tapi ngapain kamu di sini? Baru keterima kerja juga?” tanyaku antusias. Berharap jawaban yang diberikan menyejukkan pikiran. Berharap ada seseorang yang datang membantu. Memilah-milah data, atau paling tidak ada teman bicara, berbagi suka tanpa duka. Eh ….
“Enggak, aku ke sini cuma pengen tau, siapa yang lagi kesambet setan bengong.”
“Eh, sialan.”
“Kenalin, aku Raka. Kita enggak satu divisi, sih. Aku di lantai empat.”
“Shera, panggil aja She, dah kenal, kan? Sekarang mendingan kamu pergi. Eneg tau gak.”
Segera kuusir cowok tengil, usil nan dekil dari hadapanku.
Aku melirik jam tangan. Sudah pukul 09.00 WIB. Pantas saja suasana sudah mulai ramai. Kulirik secangkir kopi di atas meja lalu menyesapnya sedikit. Sudah dingin dan terasa pahit di mulut.
***
Punggungku terasa pegal setelah seharian duduk berkutat dengan berbagai paper dan data. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Saatnya makan siang. Tanpa terasa perut sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam sepertinya sedang meronta meminta asupan.
Ingin rasanya pergi ke luar kantor, makan di kafe seberang. Namun, kata-kata Bu Sherly kembali menghantui kepalaku. Kuurungkan niat beristirahat, lalu melanjutkan pekerjaan agar segera selesai. Walaupun lapar kian meraja.
Tanpa terasa waktu berjalan cukup cepat. Laporan yang kukerjakan seharian hampir selesai. Beruntung, walau tak sempat makan siang, Bi Ijah membantu membelikan roti di store bawah. Lumayan sebagai penunda lapar.
Kini, data-data telah tersusun rapi. Terpisah menurut jenis dan divisi. Tinggal merekap, memasukkan ke dalam komputer. Segera kukebut laporan. Kubuka komputer yang ada di atas meja. Jari-jariku mengetuk tuts-tuts keyboard dengan lincah. Menimbulkan suara khasnya.
Pukul 16.00, pak Nala–kepala divisi, datang meminta pertanggung jawaban. Sosok lelaki dewasa, tinggi jangkung dengan jenggot tipis tertangkap mata. Tanpa senyum. Dingin. Ada gurat ketegasan di wajahnya. Akhirnya, aku mengalami sendiri, cerita-cerita romance di Wattpad yang menceritakan sosok CEO dingin , tanpa senyum, dan perasaan.
Kira-kira seperti itulah penjabaran tentang sosok pak Nala, sang kepala divisi marketing di perusahaan ini. Aku meneguk ludah. Gagap.
“Shera, tugas yang saya minta, segera bawa ke ruangan!”
“Baik, Pak.” Dengan tanpa basa-basi segera aku susul beliau membawakan sebuah map merah, berisi data-data yang diperlukan.
Aku bingung, ada tanya dalam benakku. Bukankah Pak Nala bisa saja mengambil data sembari memanggilku tadi? Kenapa aku harus ikut ke ruangannya? Atau bisa saja dia menyuruhku ke ruangannya dengan menelepon. Bukankah itu lebih tidak membuang waktu dan tenaganya untuk berjalan?
Ah, sudahlah. Bos model seperti itu memang susah dipahami. Sesampainya di depan ruangan Pak Nala, aku ragu untuk melangkah.
“Kenapa tidak masuk?” Pak Nala akhirnya mengeluarkan suara.
“I … iya, Pak.” Dengan pelan aku melangkah memasuki ruangan.
“Mana laporannya?”
Dengan segera kuberikan map merah yang kubawa.
“Di meja pojok ada makanan, kamu makan sekarang.”
“Eh.” Aku terkejut dengan kalimat terakhir.
“Ini perintah, Shera. Tidak habis kamu tidak boleh pulang,” kata Pak Nala bagai guntur menggelegar. Tegas dan keras. Lelaki tegap berkaca-mata itu cukup membingungkan.
“Eh, i … iya, Pak,” sahutku pelan.
Dengan langkah perlahan aku menuju meja yang dibicarakan. Di atas meja ada sebuah kotak nasi berlabel Ayam Bakar Wong Solo. Berisikan nasi dengan lauk ayam bakar, lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Air liurku menetes, tetapi aku tak berani menyentuhnya. Jadi, kudiamkan saja.
“Dimakan Shera, atau mau saya suapin?” tanya pak Nala.
“Eh, i … ya, Pak.”
Tanpa peduli, aku buka kotak itu dan makan dengan lahap, seperti kuntilanak yang lagi kelaparan. Memang, sebungkus roti tak mampu menggantikan sepiring nasi.
“Pelan-pelan saja, tidak ada yang minta.”
Deg! Cara makanku yang tak ada anggun-anggunnya diperhatikan Pak Nala. Mukaku merah padam. Langsung saja aku ambil langkah seribu, keluar ruangan dengan hati berdegup kencang. Tanpa memedulikan sekotak nasi yang belum habis.
“Mati kamu, Shera!” Aku segera sadar jika membiarkan kotak nasi begitu saja.
***
(Bersambung)
Bionarasi
RHS, pecinta hujan dan lumba-lumba.
Editor: Erlyna