Hadiah dari Bangku Sekolah

Hadiah dari Bangku Sekolah

Hadiah dari Bangku Sekolah
Oleh : Jeevita Ginting

Ketemu! Nggak salah lagi, lelaki yang menggunakan kemeja biru tua berperawakan tinggi semampai itu pasti Andyk. Aku masih ingat banget wajahnya meskipun sudah hampir tujuh tahun nggak ketemu dia. Andyk kayaknya lagi nunggu sesuatu. Dia berdiri di depan kafe sambil sesekali menengok kiri-kanan, lantas ngelirik jam tangan.

Satu menit, dua menit, sampai entah beberapa menit berlalu, nggak ada siapa pun yang menghampiri Andyk. Baguslah. Dan mungkin karena udah nggak sabar nunggu, akhirnya dia memutuskan buat beranjak dari sana. Ya, inilah saatnya.

“Ups, maaf-maaf aku nggak sengaja.” Aku berusaha mengelap lengan kemeja Andyk yang terkena tumpahan es kopi menggunakan tangan kosong. Lelaki berkacamata itu keliatan kesal.

“Udah, gak apa-apa,” ucapnya sambil mengibaskan tangan.

Kami saling bertatap muka sesaat, aku cepat-cepat mengalihkan perhatian, mengambil tisu dari tas, lalu memberikannya pada Andyk.

“Ini buat ngelap kemejanya. Sekali lagi aku minta maaf, ya ….”

Andyk masih memperhatikanku yang menyodorkan tisu untuknya. Semoga aja dia masih ingat sama aku. Ya, dia harus ingat.

“Jia, kan?” celetuknya kemudian.

Aku tersenyum, membetulkan posisi anak rambut untuk sekadar mengalihkan perhatian.

“Eung … maaf, kamu kenal sama aku?” jawabku berbohong.

Andyk tertawa renyah, kemudian menempelkan telunjuknya di keningku selama beberapa detik.

“Ini gue, Andyk. Lo nggak inget? Omong-omong, lo cantik banget sekarang.”

Aku tersipu. Ya, aku memang semengesankan itu. Jadi nggak mungkin lelaki di depanku ini bisa lupa. Kami akhirnya mengobrol di taman dekat area ini. Membicarakan banyak hal, terutama kisah masa lalu yang begitu … menyenangkan?

“Oh iya, soal kejadian di sekolah dulu, gue nggak ada maksud apa-apa. Semua itu murni cuma candaan doang,” paparnya.

Aku tersenyum getir. Semua itu hanya candaan? Wah, pasti menyenangkan berada di posisinya saat itu. “Yah, lagian semua itu udah berlalu, Ndyk. Aku juga udah lupa.”

“Baguslah. Jadi, kapan-kapan kita bisa ketemu lagi, kan?”

Aku mengangguk, lalu meraih pulpen dari dalam tas.

“Nanti chat, ya!” pintaku setelah menuliskan sederet nomor di telapak tanganya. “Ya udah, aku harus pulang nih. See u!”

Untuk hari ini perjumpaan kami cukup sampai di sini aja, tapi aku janji, akan ada pertemuan kedua yang lebih menarik lagi. Sama menariknya seperti candaan Andyk dan teman-temannya dulu.

“Woy ada si cupu lewat. Kasih sambutan, dong!” teriak Andyk saat aku masuk ke dalam kelas.

Susana begitu riuh, semua teman kelas–tidak, mereka itu musuh bukan teman–langsung melemparkan sobekan-sobekan kertas ke arahku. Andyk dan kedua temannya bahkan menumpahkan air mineral ke seragamku. Dengan bangganya mereka kemudian tertawa, tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Tikus got, julukan tersebut disematkan padaku setelah kejadian itu. Menyedihkannya lagi, semua sobekan kertas itu ternyata buku pelajaran milikku. Aku mendapat hukuman dari guru karena dianggap ceroboh. Ah, menyebalkan, kenapa aku tidak berani berkata jujur pada guru.

Jangan ditanya, jelas aku mengalami hari-hari yang buruk selama bersekolah. Keinginan untuk membolos sempat terlintas beberapa kali dalam benak. Namun, jika aku melakukannya, bukankah mereka akan semakin bahagia?

Aku akui, aku bukan orang berada. Aku pendiam, jarang bergaul, dan wajahku juga biasa aja. Mungkin itu alasan mereka menjadikanku sebagai ”hiburan” yang cukup menyenangkan. Melawan? Siapa aku berani melakukan itu. Aku hanya diam, dan terus mendendam. Hingga semakin lama, dendam itu terus menggunung dan tak terkendali.

Ah, rasanya menyenangkan memang mendengar rintihan memilukan dari mahkluk kotor yang gemar menindas orang lain ini. Satu sayatan, dua sayatan, tiga sayatan. Semua itu tak cukup untuk menebus dendam yang sudah melekat di hati. Bahkan kurasa, kematian yang singkat terlalu berharga jika diberikan kepada mereka.

“Maaf, aku cuma bercanda. Jangan dimasukkan ke hati, ya ….”

Senyumku mengembang melihat Andyk yang sudah tak berdaya di hadapan dengan tangan dan kaki yang terikat. Lelaki memang lemah. Mereka terlalu mudah terpaku pada kecantikan seorang perempuan. Ya, tapi nggak apa-apa, setidaknya aku jadi bisa dengan gampang memperdaya mereka.

Andyk kembali meraung dan mengumpat, padahal aku nggak ngapa-ngapain dia. Oh, mungkin itu yang disebut solidaritas. Jadi saat temannya terluka, dia bakalan ikut menderita.

“Jia, kamu nggak waras!” pekik Andyk untuk yang kesekian kali.

Berisik! Aku segera menyumpalkan potongan telinga yang masih berlumuran darah ke mulut Andyk. Ah, aku tertawa puas ketika dia memuntahkan telinga itu bersama seluruh isi perutnya.

2020

Jeevita Ginting. Seorang perempuan yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik lagi.

Editor : Imas Hanifah N

Leave a Reply