Tiga Kepompong
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro
“Kel!” Kelya menoleh. Si pemanggil itu ternyata Geo, sahabatnya.
Langkah kaki Kelya berhenti tepat di lorong sekolah. “Apa?”
“Pulang sekolah kita ke rumah Vano. Nemenin dia katanya. Sekalian makan-makan. Iya, kan—”
“Ngaco! Gua bilang nemenin doang, gak makan-makan, tuh,” lanjut Vano, menyela ucapan Geo.
“Kalian cuma mau ngasih tau itu doang? Nggak liat tumpukan buku ini? Gua lagi ribet.” Kelya membalas kesal. Kedua sahabatnya itu selalu saja merepotkan.
Vano tertawa. Ia mengambil semua tumpukan buku yang Kelya bawa, kemudian membagi tumpukan itu menjadi dua.
“Nih, jangan biarin Kel ribet sendiri. Yang ada, bisa perang dunia,” ujar Vano sembari melontarkan tawa, meledek Kelya.
“Bisa-bisa makanan di kantin abis dia makan,” lanjut Geo menimpali.
Kelya mencubit bahu Geo dan Vano. Mereka tidak pernah berhenti meledeknya. “Anterin buku itu ke meja guru.”
“Guru siapa?” tanya Geo bingung.
“Tepatnya, meja Pak Jaka!” seru Kelya sembari memelototi mereka. Tawanya seketika pecah saat melihat raut wajah Geo dan Vano yang seketika memucat.
Bagaimana tidak? Pak Jaka merupakan salah satu guru paling killer di sekolah. Tubuhnya tinggi besar, memiliki warna kulit gelap, serta sorot mata tajam yang mampu membuat seluruh siswa tidak berkutik. Namun, di balik itu semua, Pak Jaka sebenarnya tidak begitu menyeramkan. Hanya saja, cara mengajar Pak Jaka memang selalu membuat suasana menjadi tegang.
Geo menghela napas kasar. “Lemah lu, Van! Pak Jaka doang, mah, sama kecoa aja dia takut.”
Vano menatap Geo, seolah memberi suatu isyarat. Namun, Geo tidak mengerti apa maksudnya. Sementara Kelya menutup setengah wajahnya.
“Geo Mataro!”
Oh, Tidak! Itu suara Pak Jaka!
Geo merasa lemas, kejantanannya seketika lenyap entah ke mana. Ia menoleh ke asal suara, pandangannya langsung menghadap tepat ke wajah Pak Jaka. Sorot mata Pak Jaka tampak sangat mengerikan.
Geomelontarkan senyum kaku. “Ma–maaf, Pak.”
“Sepulang sekolah nanti, temui saya di kantor!”
***
Kelya menyeruput es teh manis dingin. Ia duduk di koridor sekolah bersama Vano, menunggu Geo yang sedang berurusan dengan Pak Jaka. Hari sudah menjelang sore, tapi, belum ada tanda-tanda jika Geo akan berjalan keluar dari kantor. Padahal sudah hampir satu jam Kelya dan Vano menunggu.
“Harusnya kita tinggalin aja, tuh, si Geo,” ujar Vano geram.
“Sabar, ah. Gitu-gitu dia babu, eh, temen gue.” Kelya kembali menyeruput es teh manisnya.
“Lagian cari gara-gara aja. Bosen tau nunggu di sini.”
Vano menyandarkan kepala tepat di bahu Kelya. “Tadinya gua mau ngajak kalian makan-makan beneran, sih. Tapi karena si Geo ngelakuin hal bodoh, pending aja, deh. Udah sore juga.”
“Enak aja, lu! Nggak ada pending-pending-an. Mending kita beli makan sekarang aja, yuk. Sambil nunggu si Geo. Jadi, misal urusan dia sama Pak Jaka udah selesai, tinggal langsung ke rumah lu, deh,” jelas Kelya. Ia langsung beranjak berdiri, membiarkan tubuh Vano ambruk ke samping karena tumpuannya lepas.
“Males, ah.” Vano justru membenarkan posisinya. Ia berbaring di atas kursi, menjadikan tasnya sebagai bantal.
“Van, ih, ayo.”
“Tadi katanya nunggu Geo?”
“Males, ah.” Kelya mengikuti perkataan dan gerak tubuh Vano sebelumnya.
“Ya udah, ayo.”
Baru saja Vano bangkit, tiba-tiba Geo berlari menghampiri. Ia berteriak, “Kel! Van! Tunggu!”
“Apaan, sih?” tanya Kelya menyipitkan mata.
“Gue sedih banget, sumpah! Ah, kesel.”
Kelyadan Vano menatap jijik sahabatnya.
“Lu kesambet? Ngaco banget. Datang-datang panik begitu.” Vano memegang dahi Geo, kemudian mengarahkannya ke pantat.
“Wah, suhunya sama. Pantesan lu tiba-tiba nggak waras,” lanjut Vano. Ia dan Kelya seketika tertawa.
“Nilai Matematika gue merah,” ujar Geo tampak serius.
“Nilai merah cuma gara-gara ngatain Pak Jaka takut kecoa?” tanya Kelya, ikut menunjukan raut wajah serius.
“Temen bodoh! Bukan karena itu. Awalnya—”
“Kita lanjut obrolin di rumah Vano, deh. Laper banget gue. Mumpung Vano mau bayarin kita makan juga. Iya, kan, Van?”
“Yoi!”
Geo mengangguk pasrah. Mengikuti Kelya dan Vano.
***
Akhirnya mereka sampai di rumah Vano. Kelya bergegas mengambil minum di dapur. Ia tidak lagi canggung berada di rumah Vano maupun Geo. Mereka sudah bersahabatan sejak lama, jadi Kelya sudah biasa.
Orangtua Vano sibuk bekerja di luar kota. Selama ini Kelya dan Geo-lah sahabat yang selalu menemaninya. Meski Kelya seorang wanita, Vano dan Geo tidak pernah melakukan sesuatu di luar batas wajar. Mereka justru selalu menjaga Kelya. Menjadikan Kelya seorang putri.
“Van,” ujar Kelya sembari melontarkan senyum.
Vano mengangguk. Ia sudah mengerti, di antara dirinya dan Geo pasti selalu membuka bungkus makanan milik Kelya. Sebuah rutinitas yang selalu mereka lakukan ketika bersama.
Itulah mereka. Dengan sifat yang berbeda, mereka saling memahami. Kelya sangat beruntung dapat bertemu dengan dua orang aneh itu dalam hidupnya. Vano dan Geo selalu menjadi alasan Kelya tersenyum. Bukan tentang siapa mereka, melainkan tentang betapa berharganya mereka di hidup Kelya.
Sejak awal pertemuan Kelya dengan Vano dan Geo, mereka selalu bersama. Kelya tidak peduli pandangan orang lain terhadapnya. Selama ini, teman yang Kelya miliki dapat terhitung jari. Semua teman-temannya tidak ada yang dapat mengerti dirinya seperti Geo dan Vano.
Bagi Kelya, persahabatan dengan lawan jenis tidak semua berujung cinta. Yang terpenting, kebersamaan dan kenyamanan. Kelya selalu mencurahkan segala tentangnya pada Geo dan Vano. Kedua lelaki itu pendengar yang baik. Mereka selalu menghargai Kelya. Kelya merasa bahwa ia sangat beruntung dapat bersahabat dengan Geo dan Vano.
“Biasanya lu suka ini, Kel. Mau?” tanya Geo menawari kulit ayam.”
“Boleh,” balas Kelya. “Eh, lanjut cerita tadi, dong. Tentang Pak Jaka itu.”
“Males, gue. Nggak ngerti lagi gimana harus ngadepin Pak Jaka. Ternyata, gue dipanggil bukan karena ngatain Pak Jaka takut kecoa. Tapi karena …,” ujar Geo, menggantung.
“Karena apa?” tanya Vano penasaran.
“Karena gue ngumpetin sendal Pak Jaka sebelumnya.” Geo melontarkan senyum malu.
“Gila, lu, ya!”
“Gue iseng aja. Ternyata Pak Jaka tau kalo gue yang ngumpetin. Kalau tentang nilai itu, sebenernya nilai awal gue masih aman. Tapi karena Pak Jaka ngurangin nilainya, jadi merah, deh. Gue harus remedial.”
“Lagian, lu ngapa demen banget nyari masalah sama Pak Jaka?”
“Penasaran aja, sih.”
Dasar Geo! Hanya sebatas penasaran mampu membuat nilai Matematikanya berkurang? Mungkin saja Geo sudah mematangkan rencana sebelumnya. Berani sekali ia membuat Pak Jaka marah.
Tanpa Kelya sadari, Vano menuangkan saos sambal tertalu banyak tepat di atas makanan miliknya. “VANO, LU BERMASALAH SAMA GUE!”
Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada 03 Oktober.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata