Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 4)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 4)

Sewaktu Kecil Aku Buta (Bab 4)

Oleh : Dyah Diputri

Terkadang, wajah yang setiap hari dengan begitu mudah menatapmu, justru di hatinya ada rahasia yang tidak pernah kamu ketahui. Setiap orang bebas meluapkan perasaannya, tetapi ada juga yang memilih diam dan menyimpan rasa dalam keheningan.

Boy sudah menghabiskan dua cangkir kopinya di teras. Akan tetapi, hingga malam menjelang, orang yang dinantinya tak kunjung datang. Lelaki itu mengulum senyum kecewa. Denyut nyeri di hatinya memang sudah biasa dirasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun, mengobati dengan kesendirian, tetaplah sulit dilakukan.

“Makan dulu, Boy!” Bu Wanti—mama Boy—muncul dari dalam rumah, mengingatkan.

Patuh. Boy memang patuh kepada orangtua tunggalnya. Hanya sekali dia berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan mamanya, yaitu ketika dia meninggalkan perusahaan travel, tepat saat jenjang kariernya tengah menanjak. Satu-satunya nama yang menjadi alasan lelaki itu, kini justru kembali memberikan aroma kekecewaan.

“Kalau Arum ada acara, ya sudah. Jangan ditunggu,” ucap wanita paruh baya itu sembari menyiapkan makan malam untuk putranya.

“Boy hanya cemas sama Arum, Ma. Dia kelihatan nggak percaya diri sejak tadi pagi. Apa perlu Boy susul aja, ya?”

“Kamu ini ada-ada saja. Arum itu sudah dewasa, bukan lagi anak kelas satu SMK yang sering kamu bikin nangis seperti dulu. Lagi pula, kamu mau ngapain di tengah orang pacaran?” Bu Wanti tersenyum lembut. Wajahnya yang menenangkan dan tampak sabar itu selalu bisa meredam ketergesaan Boy.

Boy melahap makan malamnya dengan tenang. Meski begitu, perasaannya gelisah. Dia pikir, seharusnya Arum mau bertemu dengan mamanya dulu sebelum pergi bertemu keluarga Diaz. Seharusnya Arum mengobati ketidakpercayaan dirinya dulu, seharusnya dia memperbaiki traumanya dulu, seharusnya dia mau belajar membaca kembali di rumahnya seperti waktu dulu. Seharusnya ….

Akan tetapi, Arum benar-benar tidak peduli dengan kecemasannya. Mungkin benar kata mamanya, Arum sudah dewasa. Dia punya kanvas sendiri tempatnya melukis sesuai kemauannya. Bukan lagi anak baru di kelas sepuluh di jurusan Perhotelan sekolah menengah kejuruan yang dungu dan paling sering menerima teguran dari guru mereka.

“Ma, Boy ke rumah Arumlah!” Merasa tak tenang walau sudah mencoba, nyatanya Boy meninggalkan piringnya begitu saja dan bergegas pergi.

“Habiskan dulu makanmu!”

“Nanti aja Boy makan sama Arum. Ya?” Boy mencium pipi mamanya. Diraihnya kontak motor di bufet lalu melenggang keluar.

“Jangan ngebut! Jangan ganggu orang pacaran! Tunggu aja dengan manis!” nasihat Bu Wanti ketika mesin motor Boy mulai menyala.

***

Arum baru saja turun dari mobil. Ditatapnya bangunan berdesain Jawa klasik yang berdiri di tengah-tengah halaman berumput dan taman bunga, serta gazebo di dekat kolam air mancur. Sungguh pemandangan yang berbeda dengan perkiraan di dalam kepalanya.

Tadinya sebelum naik ke mobil jemputan Diaz, Arum pikir, dia akan menapakkan kaki di sebuah apartemen atau perumahan elite—tempat kebanyakan para pebisnis tinggal. Arum mawas akan gemetaran hebat sebelum bertemu orangtua Diaz. Namun, kini dia bisa bernapas lega setelah meyakini bahwa keluarga Diaz pasti ramah dan bersikap humble layaknya suasana rumah itu.

“Ini rumahku,” kata Diaz. “Tenang saja. Tidak ada pohon beringinnya, kok.”

Arum meringis, merasa tersentil, sedikit. Dia sadar pernah keterlaluan karena menanyakan apakah ibu atau ayah Diaz seperti penghuni pohon beringin atau tidak. Namun, manisnya, Diaz tak merasa tersinggung dengan hal itu.

“Ayo, masuk!” Diaz menggenggam erat tangan Arum.

Menapaki tiga tangga kayu di teras rumah Diaz, entah kenapa Arum kembali diserang kecemasan. Degup di dadanya bertalu cepat, ada desau angin dingin yang mengalirkan desiran hebat dalam darahnya. Aroma rumah kayu jati yang khas, seakan-akan membawa ingatan pada masa yang telah lalu. Arum berjalan pelan, hanya saja nyalinya mendadak seperti sedang ditantang.

“Iaz … aku ….”

“Jangan takut, Mama dan Papa nggak akan gigit kamu,” gurau Diaz.

“Bukan, bukan itu ….” Arum berhenti melangkah. Dilepaskannya genggaman tangan Diaz. Bisa dia rasakan keringat dingin mulai membasahi telapaknya. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

Apa aku harus memelukmu lebih dulu biar kamu nggak nervous, hmm?”

Ayolah, Arum! Ketakutan di kepalamu itu hanya mengada-ada! Tidak ada yang perlu kamu cemaskan! Arum berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Ya, ya. Ini rumah Diaz, tepat keluarga calon suamiku. Kenapa harus takut? Lagi pula Diaz bilang orangtuanya baik, bukan? Lihat, rumahnya saja sederhana walau mereka orang kaya!

Arum menarik napas panjang, lantas mengeluarkannya dalam sekali embus. Dua kali dia lakukan itu, sampai akhirnya berani berkata, “Bismillah. Ayo, masuk!”

Diaz melengkungkan senyum, kembali diraihnya tangan sang kekasih. Mereka berjalan dan membuka knop pintu bersama-sama tanpa sengaja. Detik itu mereka tertawa kecil, menghibur diri sekaligus menghilangkan resah di hati.
Sampai di ruang tamu, Diaz meninggalkan Arum dan memanggil orangtuanya. Sementara gadis itu belum bisa duduk dengan tenang. Dia berdiri dan mengedarkan pandangan, melihat satu per satu hiasan dinding dan ornamen rumah.
Ada banyak foto Diaz yang terpampang manis dalam pigura sejak dia bayi hingga dewasa. Wajah pria itu selalu sukses membuat hati Arum bergetar walau hanya dalam bentuk foto. Ah, hampir saja Arum lupa kalau belum pernah mengambil gambar bersama Diaz. Selain karena Arum memang tidak mau menggunakan ponsel, Diaz pun jarang menemuinya jika sedang sibuk bekerja.

Beralih ke dinding ruang tamu sisi kanan, Arum menatap dua pigura berukuran jumbo yang memperlihatkan keluarga Diaz. Diaz, adik laki-lakinya yang masih remaja, papanya, dan ….

“Rum, ini Papa,” sapa Diaz, cukup membuat jantung Arum terlonjak keras.

“Mama lagi ke kamar mandi. Tunggu sebentar, ya.”

Arum seolah-olah kesulitan bernapas. Ada yang mencekat di saluran napasnya. Dia bahkan tak bisa menyeka peluh yang mulai membanjiri pelipis dan tengkuknya. Dengan gemetar, dia menyalami Pak Jaya—papa Diaz sambil mengangguk takzim. Bibirnya gemetar memperkenalkan diri.

“Sa–saya A–Arum.”

“Ya, saya tahu. Diaz sudah cerita banyak tentang kamu. Perempuan hebat yang menjalankan bisnis kulinernya demi membangun panti asuhan. Saya terkesan sama Nak Arum,” kata Pak Jaya dengan seulas senyum ramah.

Ya, beliau ramah, seperti kata Diaz. Namun, ah!

“Ayo, duduk! Bibi sedang buatkan minum. Tunggu, ya,” bisik Diaz.

Arum tersenyum canggung. Gejolak dalam raganya semakin tak terkendali. Semakin detik waktu berjalan, perasaannya semakin tak keruan.

Diaz masih sibuk memasang tawa seraya mengobrol tentang bisnis kuliner Arum, meninggalkan Arum dengan segumpal kekhawatiran yang bercokol di pikirannya. Sempat terlintas niat untuk pergi saja sebelum orang yang membuat gelenyar dadanya memanas itu muncul ke ruang tamu.

Bersambung …

 

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply