Jenuh
Oleh : Rinanda Tesniana
Perempuan bertubuh kurus itu mencium punggung tanganku. Bibirnya melengkungkan senyum manis yang sudah bosan aku lihat.
“Hati-hati, Bang.”
Selalu ucapan yang sama setiap pagi. Aku sampai hafal di luar kepala.
Kalimat “Hati-hati, Bang” tak pernah absen diucapkannya setiap aku berangkat kerja sejak sepuluh tahun lalu. Nanti pukul dua belas siang, dia mengirim pesan “Sudah makan, Bang?” yang akan aku balas “Sudah” atau lebih sering aku abaikan. Saat sore, ketika aku sampai di rumah, dia kembali mencium punggung tanganku. Bibir yang tak pernah lepas dari senyum itu, kembali bertanya “Jam berapa dari kantor, Bang?”
Astaga! Aku hampir menabrak anak kecil yang melaju di atas sepedanya karena memikirkan Aruni–istriku. Aruni adalah perempuan konvensional, dia patuh pada apa pun perkataanku.
Sebelas tahun lalu, dia bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan yang sama denganku. Siapa tak kenal Aruni? Perempuan cantik yang selalu berpakaian terbuka. Omzet perusahaan meningkat sejak dia mulai merambah ke beberapa BUMN untuk memasarkan produk oli perusahaan kami.
Aku yang jatuh cinta padanya, aku yang mengejar-ngejar dia. Wajahnya yang seindah purnama tak pernah lepas mengisi mimpiku. Ketika perempuan itu menerima pinanganku, entah berapa orang lelaki di kantor yang patah hati. Sampai-sampai saat resepsi kami, serombongan pria dari kantor datang dengan memakai pakaian serbahitam tanda berkabung.
Aku cemburu, karena itu aku perintahkan dia berhenti kerja dan menjadi ibu rumah tangga saja. Aruni menurut. Perempuan berkulit putih itu tak banyak tingkah.
Namun benar kata orang, tak ada yang abadi, termasuk perasaanku. Dulu aku begitu bangga menunjukkan pada dunia kalau wanita cantik ini adalah istriku. Aku membawanya ke acara kantor, acara reuni, acara pernikahan, acara keluarga, tak ada yang terlewatkan.
Kini semua berubah. Aruni menjelma seperti robot. Dia tak lagi menyenangkan buatku. Obrolan kami sering tak nyambung. Apa pun yang aku bilang, dia setuju. Apa pun yang aku katakan, dia manut. Lalu, di mana seninya? Aku ingin, dia sedikit berontak. Maksudnya di sini, jangan ikut apa kataku saja, sesekali ada pendapat sendiri.
Contohnya, ketika Alya anak sulung kami ingin memiliki handphone sendiri, Aruni menolak mentah-mentah keinginan itu, sedangkan aku, termakan bujuk rayu Alya. Istriku itu tak banyak protes. Dia diam saja ketika Alya sibuk dengan benda mahal yang aku belikan.
Aku bosan dengan Aruni. Semacam apa, ya … bosan saja dengannya. Aku ingin sesuatu yang lebih menantang. Bukan, aku bukan ingin wanita lain, tetapi aku ingin tantangan saja.
Bagiku bekerja adalah pelampiasan terbaik. Bertemu “orang gila” di sana, membuat akalku tetap waras. Mendadak aku iba pada Aruni, dia tak punya pelampiasan seperti aku. Mungkin, dia jadi membosankan begitu karena dia pun jenuh dengan aktivitas di rumah.
Pukul dua belas siang, sebuah pesan masuk. Sudah kuduga, Aruni dan pertanyaan paling standar di dunia. Aku mengabaikan pesan itu, dan pergi makan dengan Leo.
Leo mengangkat telepon ketika kami sedang makan, dia berkata keras pada penelepon di seberang, kemudian menutup teleponnya dengan kasar.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bini gue. Ngajakin berantem melulu, suka banget ngebantah.”
Aku terdiam. Kapan terakhir kali Aruni membantah kata-kataku? Kapan terakhir kali kami bertengkar? Rasanya sudah lama sekali. Dia selalu menuruti apa pun kehendakku. Semua kalimat yang keluar dari bibirku adalah titah raja yang yang wajib dia taati.
Rumah tangga kami memang membosankan. Bahkan aku rindu bertengkar dengannya. Entah kapan semua ini berakhir.
Pukul lima sore aku masih di jalan. Memang aku sengaja pulang agak terlambat, agar pertanyaan dari Aruni nanti dapat aku jawab berbeda. Aku mengantarkan Fina–anak magang–pulang. Fina manis sekali, mengingatkanku pada Aruni sebelas tahun yang lalu. Berpakaian terbuka dengan dandanan menor.
“Makasih, Bang Ilham,” ucap Fina saat tiba di depan rumahnya.
Aku mengangguk. Berbicara dengan Fina selama tiga puluh menit berhasil mendongkrak mood-ku. Aku sengaja menjalankan mobil pelan-pelan, malas rasanya pulang dan bertemu Aruni dengan segala hal di dirinya yang sudah aku hafal, hingga rasanya saat sudah mati nanti dan malaikat maut mewawancaraiku di alam kubur, aku bisa salah jawab, karena dalam otakku hanya pertanyaan dan jawaban khas milik Aruni yang melekat. Aku tertawa dengan pikiranku sendiri. Apa bisa begitu? Atau aku harus mati untuk memastikannya.
***
Hari ini aku pulang kerja tanpa disambut oleh Aruni. Ke mana perempuan itu? Tumben sekali dia tidak menyambutku seperti biasanya. Agak aneh rasanya tidak mendengar pertanyaan rutin yang selalu dia katakan.
Aku berkeliling rumah dan menemukan Aruni sedang menerima telepon di teras belakang. Tawanya begitu lepas saat berbicara dengan seseorang di seberang sana. Sesekali Aruni merapikan rambutnya, atau memperbaiki posisi gaunnya.
“Ketemuan? Kapan?” Aku dengar dia bertanya dengan nada genit.
“Aruni!” panggilku.
Aruni tampak sangat kaget, dengan cepat dia menyembunyikan ponselnya di belakang punggung, kemudian tersenyum janggal padaku.
Firasatku seperti mengentak kuat dalam dada. Perasaanku tak enak melihat sikap canggungnya menyambut kepulanganku.
***
Perempuan adalah makhluk paling peka perasaannya. Dia tidak bisa membohongi saya dengan senyum palsunya. Atau perhatian pura-puranya, saya bisa merasakan dia bosan dengan saya.
Saya tidak tahu, bagaimana harus bersikap di hadapannya, karena itulah mungkin saya jadi bersikap membosankan.
Hidup kami seperti pelaksanaan upacara bendera yang harus dilaksanakan setiap hari Senin. Saya membuatkan sarapannya setiap pagi, kemudian mengantarnya pergi kerja dengan ucapan manis yang sama setiap harinya. Setiap siang, tak lupa saya mengirim pesan, menanyakan perihal makan siangnya, walaupun lebih sering pesan saya tidak dibalas. Ketika dia pulang, saya kembali menyambutnya dengan kata-kata yang sama. Saya pikir, suami-istri lazimnya begitu.
Saya tak peduli, ketika matanya menatap saya dengan bosan, ketika dia menghela napas panjang saat pulang kerja, atau ketika dia pura-pura tidur saat saya bangunkan malam-malam. Bagi saya, melayani sebaik-baiknya adalah tugas seorang istri. Dicintai atau tidak, istri harus mengabdi pada suaminya.
Namun, pertemuan dengan Anton seminggu lalu, membuat hati saya sedikit bergeser. Mantan kekasih saya itu menatap saya dengan hangat. Dia menanyakan kabar saya dengan antusias, merangkul saya dengan akrab, bahkan dia bercerita tentang rumah tangganya yang gagal dengan lepas.
Anton pun rajin menghubungi saya, mengirim pesan singkat
menanyakan kabar saya, sesuatu yang tidak pernah saya dapat dari Bang Ilham. Bang Ilham tidak pernah menelepon saya, walaupun dia dinas di luar selama dua minggu.
Dengan Anton, saya merasa berharga dan dibutuhkan.
***
Padang, 03.11.2020
Rinanda Tesniana, ambiver yang senang membaca.
Editor : Fitri Fatimah