Perempuan dan Kenangan (Part 12)

Perempuan dan Kenangan (Part 12)

Perempuan dan Kenangan (Part 12)

Oleh: Cici Ramadhani

Sudah tiga hari berlalu. Aku dan Arya terus memutar otak, mencari jalan keluar bagaimana menjatuhkan janin ini. Saat Arya mencoba menghubungi teman kuliahnya, aku teringat Ane. Cuma Ane satu-satunya teman sejak dulu yang bisa berbagi suka duka. Lagipula Ane juga pernah mengalami seperti yang kualami saat ini.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Ane memintaku untuk datang ke rumah mertuanya. Dia mengatakan merasa bosan karena suaminya sudah kembali bekerja.

Ane menyambutku dengan ciri khasnya, ramai dan selalu ceria. Perutnya tampak lebih besar dan turun. Ane bilang, harusnya minggu lalu dia sudah lahiran. Akan tetapi tak ada tanda bayinya mau keluar.

Ane mengajakku ngobrol di dalam kamar. “Maklum, Makbun gak tahan panas. Maunya adem terus, AC sampai 24 jam,” ucapnya sambil cengengesan.

Dengan menahan rasa malu, aku mulai menceritakan semua pada Ane dan meminta saran darinya. Namun, Ane tidak bisa memberikan saran apa pun. Karena dulu janinnya lemah dan jatuh sendiri.

“Kalau aku jadi kamu, aku minta dia untuk bertanggungjawab. Apalagi dia sudah mapan, Ra,” ucap Ane dari seberang. “Kalau aku dulu karena sama-sama baru tamat SMA. Tapi Sam janji pada mamaku, setelah cita-citanya tercapai dia akan menikahiku. Namun, nyatanya dia gak pernah datang untuk memenuhi janjinya.”

Aku tahu bagaimana kisah cinta Ane dan Sam. Mereka berpacaran sejak kelas dua SMA. Mereka bertemu saat pertandingan basket antar SMA. Saat kelulusan tiba Ane bercerita telah kehilangan keperawanannya. Walau berbeda agama nyatanya mereka bisa bertahan hingga lima tahun. Dan Ane akhirnya harus melepaskan Sam karena Sam tak kunjung melamarnya padahal sudah menjadi abdi negara.

“Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ra?” Suara Ane menyadarkanku.

“Aku gak tau, An,” jawabku putus asa. Kalau Ane berani berbagi pada mamanya, sementara aku tak punya keberanian sebesar itu. Aku tak sanggup menghancurkan hati Ibu.

“Saranku, jangan gugurkan anak itu. Minta dia menikahimu,” ucapnya ketika melihat aku mual-mual.

***

Aku menyadari telah melakukan dosa besar. Sedari awal cinta ini telah jatuh pada orang yang tidak tepat. Aku sungguh merasa sangat bersalah pada Aina. Seandainya ada kesempatan bertemu, aku ingin meminta maaf padanya atas hari-hari yang kulalui bersama Arya, atas rasa yang kian berkembang. Hingga kesalahan fatal yang kami lakukan dengan kesadaran.

Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada gunanya lagi menyesali apa yang telah terjadi. Pintaku pada-Nya kini, aku diberi kesempatan kedua memperbaiki segala yang bisa diperbaiki.

Dengan bantuan seorang teman, Arya menemukan alamat bidan kampung yang akan membantuku melakukan proses aborsi.

Perkiraan Bu Bidan, janin ini berusia sepuluh minggu. Bu Bidan menyebutkan biaya yang harus dikeluarkan Arya dan meminta uang panjar untuk membeli obat yang akan dimasukkan ke dalam rahimku.

Tanpa pikir panjang, Arya langsung menyerahkan uang satu juta pada Bu Bidan.

***

Saat berada di ranjang pesakitan, seketika aku takut mati mendadak, seperti film-film yang pernah kutonton. Sebuah pesan kukirim pada Arya sebelum Bu Bidan kembali mengeksekusiku.

Tolong, minta ampun pada Allah. Tolong doakan aku selamat. Rasanya sakit sekali. Aku takut.

Centang dua berwarna biru, yang artinya pesan WA-ku telah dibaca Arya namun dia tak membalasnya. Aku terus menangis sambil menahan sakit.

Bu Bidan yang kutaksir berusia empat puluhan terlihat kesal. “Memang kalau perempuan berkulit putih itu enggak tahan sakit. Jangan bersuara! Nanti tetangga pada datang dengar suara tangismu.” Bidan itu berjalan masuk ke dalam kamar.

Sebisa mungkin aku menahan isak tangis ini. Bu Bidan juga takut heningnya malam mampu membawa lirih tangis ini ke rumah para tetangga yang hanya berjarak sepuluh meter.

“Gigit kain ini.” Bidan itu menyerahkan sebuah kain panjang yang dibawanya dari dalam kamar. “Tahan sedikit lagi biar cepat selesai. Sudah larut malam ini, besok pagi saya ada rapat ke kota,” katanya menatapku.

Aku mengangguk takut, aku pun ingin ini cepat berlalu. Dengan terpaksa kubuka lagi kakiku lebar-lebar. Aku menjerit, suaraku bagai tertahan di dalam perut karena gigi yang merapat menggigit kain. Kembali mulut rahim ini dibuka paksa dengan berbagai alat. Seketika ranjangku penuh darah. Bu Bidan memberikan alat yang telah dikeluarkannya dari rahimku dan memintaku untuk membersihkannya. Saat membersihkan diri di kamar mandi, aku menangis kesakitan meratapi segala kebodohanku.

“Kamu pacaran sama suami orang?” tanya Bu Bidan saat kami duduk di ruang tamu menunggu Arya menjemputku.

Aku tidak tahu kemana dia pergi. Aku memintanya mencari mesjid atau musala selama menungguku selesai. Entah masih ada yang buka atau tidak di tengah malam seperti ini. Jalanan kampung ini pun sudah sangat sepi ketika kami selesai hingga jam sebelas malam.

Tiga hari lalu, Arya ikut menungguiku, melihat segala proses yang dilakukan Bu Bidan padaku. Namun, Bu Bidan merasa tidak nyaman dan meminta Arya pergi. Mungkin dia takut Arya akan menghalangi pekerjaannya ketika melihatku menangis kesakitan. Dan malam ini setelah mengantarku, Arya langsung pergi seperti pesan Bu Bidan sebelumnya.

“Bukan, Bu. Dia sudah punya pacar, tapi berselingkuh denganku,” jawabku menunduk.

“Sekali lelaki selingkuh, itu akan terus dilakukannya. Kalau dia menikah dengan pacarnya, suatu saat dia akan menghubungimu lagi. Atau enggak, pasti berselingkuh dengan yang lain. Enggak percaya? Potong kupingku,” katanya penuh emosi.

Di usianya ini, kuyakin banyak pengalaman yang telah dilaluinya, atau mungkin dia bercerita dari beberapa pengalaman pasien yang pernah ditanganinya. Kenyataannya banyak orang melakukan jalan pintas seperti yang kulakukan. Entah itu karena usia yang terlalu belia, atau hubungan cinta terlarang. Apa pun alasannya, ini tidak boleh terjadi. Menambah dosa dengan menghilangkan nyawa yang belum sempat terlahir ke dunia. Dan aku menyadari semua itu. Ada banyak hal yang kupertimbangkan. Terutama gelagat Arya yang menolak darah dagingnya. Nama baik kedua keluarga juga menjadi taruhan. Semua menjadi beban yang terasa kupikul seorang diri.

Setelah Arya menyerahkan sejumlah uang pada Bu Bidan, kami berpamitan pulang.

Aku bersandar lemas dalam boncengan. Jalanan yang rusak membuat perutku seperti diacak-acak kembali. Rasanya sungguh sakit. Padahal Arya sudah melajukan motornya sangat perlahan saat melewati bebatuan, namun rasa sakit tak dapat dihindarkan. Jalanan kota terlihat sepi, namun masih ada beberapa kendaraan lalu-lalang. Terlihat juga beberapa waria sedang menjajakan diri saat kami melintasi sebuah jalan. Baru kali ini aku melihat langsung kehidupan malam jalanan kota.

Arya membawaku ke rumah kontrakannya. Perumahan ini layaknya kuburan di malam hari. Sudah jam dua pagi, tapi rasa sakit mengalahkan rasa kantukku.

Arya menyelimuti tubuhku dengan selimut. “Cobalah tidur, tubuhmu butuh istirahat,” katanya lirih. Wajahnya penuh kekhawatiran sejak menjemputku.

“Kamu enggak takut terjadi apa-apa padaku tadi? Tadi, aku takut mati. Aku belum siap.” Kembali air mataku menetes.

“Aku juga takut, bukan cuma Rara,” katanya sambil menghapus air mataku.

“Kamu menunggu di mana, tadi?”

“Di warung, beli rokok. Saat warungnya tutup aku mutar-mutar.” Arya merebahkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet.

Hening malam membuat detik jam yang berputar terdengar begitu nyaring. Aku meringkuk di dalam selimut menahan sakit, perutku seperti diremas-remas. Kupandangi wajah Arya yang tertidur lelap. Wajah tampan itu terlihat begitu lelah. Mungkin Arya tak merasa seperti sakit yang kurasakan, namun beban moral pasti tak bisa dia hindari. Aku tak pernah menyesal mencintaimu, aku juga tak menyesal berkorban untukmu. Semoga Allah mengampuni segala dosa kita dan memberikan kita kesempatan melanjutkan hidup yang lebih baik. Aku terus melafazkan doa dalam hati bersama derai air mata.

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun,sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply