Satu Kisah Selepas Hujan
Oleh: Syifa Aimbine
Aroma petrikor menyusup lembut di hidung, membuat perasaannya membaik. Wanita paruh baya itu enggan beranjak dari kursi malasnya meski hujan kini telah usai. Ia masih betah menikmati sisa udara dingin yang memeluk kulitnya yang bernoda. Waktu memastikan bahwa penuaan pasti tiba, mengikis kebanggaan akan pesona masa muda.
Masa pun mundur sekitar tiga puluh tahun yang lalu, ketika kecantikan adalah salah satu keunggulan yang diberikan Tuhan padanya. Tubuh yang tinggi, pinggul yang ramping, kulit bersih, dan kesempurnaan susunan wajah, menimbulkan rasa iri dari kaumnya sendiri. Kenapa Tuhan menciptakannya begitu sempurna?
Kesenangan hidup tak sampai di situ saja. Lahir di keluarga berada dan selalu tampak harmonis melengkapi alasan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya. Sifat menyenangkan itulah yang membuat semua ingin menjadi temannya. Para lawan jenis pun tak ketinggalan untuk berkompetisi merebut hatinya. Tentu saja tak semudah itu, ia cukup selektif memilih. Kandidat tertinggilah yang menjadi pemenangnya.
Beberapa tahun setelah itu, sebuah pernikahan megah digelar di kota. Ia menikah dengan seorang pejabat muda, calon bupati. Tampan dan mapan, sudah pasti menjadi syarat utama. Sungguh pasangan paling serasi yang pernah ada. Membuat seluruh mata ikut bahagia, meski yang iri juga tak terhitung jumlahnya.
Tentu saja Tuhan punya cara sendiri merangkul hamba-Nya. Sedikit godaan membuat pria itu tergelincir, lupa akan kesempurnaan perhiasan di rumahnya. Seperti kata nasihat; dosa kecil mengundang dosa besar, begitulah jalannya. Sang bupati muda terjebak dalam kasus yang lebih besar. Namanya langsung mengisi hampir setiap surat kabar dan berita. Namun, tidak lagi menyisakan iri para pembaca. Justru makian dan sumpah serapah yang diterimanya.
Sang istri? Dengan berbesar hati memaafkan suaminya. Menerimanya dan menunggunya keluar dari hotel prodeo. Mulai dari sini, senyum di wajahnya mulai langka. Kebahagiaannya mulai terkikis derita. Tuhan mulai menguji kemampuannya.
Singkat cerita, mereka kembali berkumpul bersama. Mengikhlaskan dosa dan menutupinya dengan janji untuk kembali menghiasi senyum di wajah istri cantiknya. Namun, tentu saja hasutan dosa terlalu manis untuk dilewatkan begitu saja.
Beberapa tahun setelah kembali ke masyarakat, pria yang telah bergelar Ayah itu kembali berulah. Mengorek luka lama di hati istrinya yang tengah mengandung anak kedua mereka. Kadang ada orang yang memang lebih suka mencicip jajanan pasar dengan alasan bosan melihat makanan sehat di rumahnya. Meski tanpa suara, tapi kuman yang ditularkan jajanan pasar tadi tetap liar berpindah. Makhluk mini itu mencari tempat hidup baru di persinggahannya di rumah.
Nahas, bayi kedua lahir menanggung dosa yang diperbuat ayahnya. Selang-selang kecil dipaksa masuk untuk menopang hidupnya. Pupus, senyum itu benar-benar pergi dari wajah cantik ibu istrinya. Apalagi ketika vonis penyakit menular–yang belum ada obatnya– itu ditulis di rekam medisnya. Kali ini sulit rasanya memberi maaf pada pria yang pernah dicintainya itu. Terlebih ketika sang bayi mengakhiri penderitaannya di dunia.
Keluarga sang istri marah besar ketika tahu penyebabnya. Kegaduhan terjadi di rumah yang masih terkibar bendera kuning di halamannya. Sang residivis memang tak pernah lepas dari pertemanannya dengan dosa. Amarah sang mertua membuat sisi gelapnya kembali meronta keluar, menyisakan ceceran darah dari dua mayat yang salah satunya masih menggelepar meregang ruh yang ditarik paksa.
Sesaat lingkungan perumahan mewah yang biasa tenang berubah seketika. Teriakan, tangisan bersahut-sahutan. Mobil polisi dan ambulan hilir mudik beberapa jam kemudian. Duka kembali datang, sepasang suami istri yang dengan bahagia melepas putri cantik mereka harus melepas nyawa di tangan menantunya. Tragis, itulah kata pertama yang muncul di awal berita.
Di rumah besar itu, kini tinggal si wanita cantik dan putri tunggalnya. Tangis kini menjadi hiasan wajahnya. Atas saran dari keluarga, rumah nahas itu pun akhirnya ditinggalkan. Ia memilih sebuah rumah sederhana yang jauh di luar kota. Menghapus jejak derita yang selalu mengikutinya.
Saran mati telah acap kali didengarnya, dibisikkan oleh entah siapa. Namun, suara sang putri jelita kembali menyadarkannya. Putri kecil itu rupanya mewarisi kecantikan yang telah hilang darinya. Meski hidup dengan obat setiap harinya, ia tetap berusaha berdiri. Dengan sedikit modal keterampilan dasar yang pernah ia latih, bisnis kecil-kecilan ia tekuni. Perlahan memang, tapi cukup membuatnya mampu berdiri dengan satu kaki.
Dokter sudah berulang kali memberi prediksi mati untuk penyakit bawaan yang membuat ia rentan dan lemah. Namun, Tuhan sekali lagi seakan masih ingin melihat seberapa kuat ia bertahan. Sebulan, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua belas tahun, rupanya ia masih tetap bernyawa. Meski berangsur-angsur fungsi organ penting di tubuhnya mulai hilang.
Jika mengingat masa lalu, ia malu. Betapa segala kesombongan membuatnya sempat menantang Tuhan. Bagaimana cara Tuhan akan mengujinya? Bagaimana cara Tuhan menegurnya? Ternyata Tuhan tak pernah bercanda. Semua kesombongan itu harus ia bayar langsung di dunia.
Ia kembali menarik napas dalam. Aroma rerumputan basah kembali masuk melalui hidungnya, meski berakhir dengan batuk dalam yang menyakitkan dada. Darah kemudian menyembur dari mulutnya. Namun, kali ini ia tak lagi menangis. Tamu yang sejak tadi berdiri di hadapannya membuat senyumnya kembali. Menyisakan jejak indah di sisa wajah cantinya yang mulai kaku.
Depok, 31 Oktober 2020
Syifa Aimbine, wanita rumahan yang hobi jajan cemilan.
Editor: Imas Hanifah N