Ketika Bu Lastri Kejang di Pelataran Rumahnya

Ketika Bu Lastri Kejang di Pelataran Rumahnya

Ketika Bu Lastri Kejang di Pelataran Rumahnya
Oleh : Ayna Indiera

Dari dalam rumah, saya melihat Sur turun dari motornya dan berjalan tergesa-gesa menuju rumah saya. Raut wajah dan rambutnya kocar-kacir. Tampaknya ia datang bukan sakadar untuk menumpang ngopi. Sayangnya saya sedang tidak berkenan mendengar kabar apa pun keluar dari mulutnya, yang mungkin saja akan mengganggu kebersamaan saya dengan Lilik. Hari ini, umur Lilik genap delapan. Ia telah memotong kue pagi tadi, ketika Bu Lastri memetik daun sirih yang menjalar di tiang teras rumah saya. Saya berjanji akan menemani Lilik bermain seharian dan membacakan buku cerita baru. Namun, kedatangan Sur seolah-olah membawa pil kekecewaan, lalu saya memaksa Lilik untuk meminumnya. Tiba-tiba saja saya memikirkan untuk membuat pengumuman “TIDAK MENERIMA TAMU” dan memakunya di tiang teras.

Mas Kusmanto—suami saya—menyambut Sur dengan keramahan seorang sahabat yang seolah-olah tidak bertemu selama belasan tahun. Padahal saya cukup bosan menyiapkan cangkir serta menyeduh kopi untuk Sur. Karena itu saya lebih hafal takaran kopi di cangkir Sur ketimbang istrinya sendiri.

“Lekas ambil kunci motormu, Mas Kus. Bu Lastri pingsan!” kata Sur. Ia menyodorkan wajahnya yang lebar ke muka Mas Kusmanto. 

“Atur napasmu dulu, Sur. Lalu bicara pelan-pelan. Ada apa?” tanya Mas Kus, seraya mempersilakan Sur duduk.

Saya mengangsurkan air dan Sur meneguknya sampai tak bersisa. Lalu tanpa mengatur lagi napasnya, lelaki itu menyampaikan maksud kedatangannya.

“Bu Lastri tiba-tiba saja pingsan, Mas.” Mulut Sur cengap-cengap. “Bu Lastri kejang lebih dulu, lalu jatuh di lantai terasnya. Saya baringkan ia di kursi panjang ruang tamu. Tetapi belum sampai lima menit, ia kejang lagi dan jatuh dari kursi. Saya mengangkatnya lagi. Badannya berat, Mas! Di kursi pun ia kejang lagi. Kali ini sambil merintih menyebut nama Mbak Nunuk dan Lilik.”

Saya melengung mendengar nama kami disebut.

“Apa hubungannya sama saya Sur?”

“Mana saya tahu, Mbak. Yang pasti, sekarang Bu Lastri pingsan setelah menyebut nama Mbak Nunuk,” jawab Sur.

Tanpa banyak pertimbangan, Mas Kus mengambil kunci motor. Ia mengajak saya menjenguk Bu Lastri di rumahnya. Karena nama saya yang disebut-sebut dan saya tidak mau seseorang menyebar berita buruk dari mulut ke mulut, dengan berat hati saya mengungsikan Lilik ke rumah bibinya.

Dalam perjalanan menuju rumah Bu Lastri, Mas Kus bertanya pada saya, kira-kira apa hubungan saya dengan sakit Bu Lastri kali ini? Saya bilang tidak tahu. Sebab Bu Lastri memang sering bertingkah aneh beberapa bulan belakangan. Ia rajin keliling kampung dan bertamu ke rumah siapa saja yang dimau. Yang paling sering ia datangi adalah rumah Menur. Mungkin karena Menur orang berada dan masih muda, mengingatkan Bu Lastri pada kedua anaknya yang tinggal di kota. Ditambah lagi, di rumah Menur juga selalu tersedia makanan-makanan enak, meskipun saya dengar satu-dua tetangga bergunjing jika Menur tak jarang mengabaikan Bu Lastri. Namun, tidak seperti biasanya, pagi tadi Bu Lastri mampir ke rumah saya untuk meminta beberapa lembar daun sirih.

Saya juga mengatakan kepada Mas Kus jika Bu Lastri pernah mengalami sakit yang sama awal bulan lalu, ketika Menur baru pulang pelesiran dari luar kota. Sekira setengah jam sepulang bertamu dari rumah Menur, perempuan tua itu kejang-kejang di pelataran rumahnya lalu pingsan. Saya mendengar berita itu dari istri Sur, sebab waktu itu ia yang mengurusnya. Istri Sur membopong Bu Lastri ke ruang tamu seorang diri, padahal badannya jauh lebih kecil. Lalu sebelum matahari melewati ubun-ubun, istri Sur meninggalkan Bu Lastri sebentar. Ia datang ke rumah saya sembari menggendong bayi Sur. Bocah lelaki itu dititipkan pada saya. Mungkin karena terlalu ribet baginya untuk mengurus bayi Sur dan Bu Lastri secara bersamaan.

Saya merasa kasihan kepadanya lalu mencoba menghasutnya. “Suruh saja istrinya Kang Budi atau istrinya Kang Mustopa untuk mengurus Bu Lastri. Toh, kalau Bu Lastri dapat bantuan dari pemerintah, anak-anak mereka juga pasti dapat jatah jajan darinya.”

“Saya sudah coba bicara dengan keduanya serta tetangga lainnya. Tetapi semuanya punya alasan masing-masing, Mbak. Ya, sibuklah, sakit pingganglah, merianglah, dan macam-macam.”

“Jadi mau sampai kapan kamu merawat Bu Lastri?” tanya saya.

“Entahlah.” Istri Sur mengembuskan napas. “Saya sudah mencoba menghubungi nomor telepon anaknya, tetapi tidak ada satu pun yang aktif. Apa saya bawa Bu Lastri ke puskesmas saja ya, Mbak? Kita urunan buat biaya pengobatannya,” imbuhnya.

Selama ini, Bu Lastri tinggal seorang diri di rumahnya. Sudah lebih dari lima tahun ia ditinggal mati sang suami. Sementara kedua anaknya tinggal berjauhan dan telah membangun rumah tangga masing-masing. Terakhir kali saya melihat keduanya berkunjung pertengahan tahun lalu. Berarti telah lewat satu tahun Bu Lastri dan rumah tuanya menunggu kunjungan mereka.

“Padahal tadi ia sempat sadar, Mbak. Tapi setelah itu meracau menyebut macam-macam makanan yang enggak ada di kampung ini.” Istri Sur menggaruk-garuk kepala. “Jangan-jangan Bu Lastri telah kemasukan jin, Mbak.”

“Hush! Kok, kamu bisa kepikiran begitu?”

“Entahlah. Mungkin karena sudah banyak yang bilang kalau Bu Lastri suka bertingkah aneh,” jawabnya. “Terus kalau memang itu permintaan jin, ke mana kita mencari semua makanan yang disebutnya tadi, Mbak?”

“Di rumah Menur, mungkin,” jawab saya sekenanya sembari membetulkan kerudung.

***

Mas Kusmanto menghentikan motornya di depan teras Bu Lastri. Lamunan saya tentang obrolan tempo hari bersama istri Sur pun mendadak buyar.

Tepat di depan pintu Bu Lastri, Sur mengibas-ngibaskan potongan kardus ke mukanya. Kaus biru yang dikenakan terlihat basah di bagian ketiak. Saya bersiap mengatur napas. Bau badan Sur memang selalu membuat saya ingin muntah, seperti mencium rendaman bawang putih dalam tetesan keringat. Bahkan lebih parah dari itu. Yang membuat saya heran, istrinya tidak pernah sekali pun mengeluhkan kekurangan Sur pada siapa pun, termasuk saya. Sungguh berbeda dengan tetangga lainnya. Mereka gampang sekali mengeluh. Tidak punya uang, mengeluh. Suami suka nongkrong di warung kopi, mengeluh. Bahkan suami tidur siang seharian saja bisa dikeluhkan mereka berhari-hari.

Di kursi panjang ruang tamu Bu Lastri, saya melihat perempuan tua itu merebah. Kepalanya yang dipenuhi uban menindih bantal yang warnanya tampak sama tua dengan umur Bu Lastri. Wajahnya lemas. Keriput di pinggir matanya semakin kerut.

“Gimana keadaannya, Bu?” taya Mas Kus setelah mencium tangan Bu Lastri. Saya ikut menciumnya. Sayangnya ia tak acuh dan memandang langit-langit rumah dengan tatapan kuyu.

“Ibu sudah makan?” Gantian saya yang bertanya.

Bu Lastri menoleh.

“Kue ulang tahun Lilik masih ada?” 

Saya manggut-manggut.

Sudah saya duga sebelumnya, sakit Bu Lastri kali ini persis dengan sakitnya ketika meminta kue yang dibawa Menur dari pelesiran. Dan pagi tadi, Bu Lastri memetik daun sirih di teras saya saat Lilik memotong kue ulang tahunnya, di samping kue ada beberapa tangkai anggur hijau kiriman Bapak Mertua.

“Anggurnya juga masih ada, Nuk?” tanyanya lagi.

“Iya, Bu. Nanti akan Mas Kus ambil dan bawa kemari.”

Lantas Mas Kus menginjak punggung kaki saya pelan.

***

Sudah lebih dari tiga hari Sur maupun istrinya tidak bertamu ke rumah saya. Selama itu pula saya tidak mendengar kabar Bu Lastri kejang-kejang. Saya pikir penyakit perempuan tua itu sudah sembuh. Mungkin banyak orang yang telah mendoakannya. Sebagian berdoa karena benar-benar merasa prihatin dan yang lainnya karena takuk Bu Lastri merepotkannya. Saya berada di barisan tengah. Terkadang saya benar-benar merasa prihatin, tetapi tidak jarang saya merasa sebal jika harus direpotkannya. Saya rasa Menur pun demikian. Karena itu diam-diam ia pergi plesiran lagi. Tetapi konon, kali ini ia mengajak seorang tetangganya yang lebih miskin daripada Bu Lastri untuk ikut liburan. Konon juga, mereka menyewa sebuah kamar hotel mewah di sana.

Berita itu baru saja menyebar di kampung dan sampai ke telinga Bu Lastri.

Siang tadi, sembari menggendong bayi Sur, istri Sur akhirnya mampir lagi ke rumah saya. Wajahnya masam. Pikir saya, mungkin karena pengaruh cuaca yang sangat terik beberapa hari ini, sehingga ia mulai tidak tahan dengan bau badan suaminya. Namun, kalimat pertama yang diucapkan sungguh jauh dari dugaan.

“Bu Lastri menyuruh saya menelepon Menur lagi dan menanyakan kapan ia pulang,” kata istri Sur. Sontak saya tertawa.

“Memang ada perlu apa si Bu Lastri? Kangen sama Menur atau oleh-olehnya?”

Istri Sur mengedikkan bahu, lalu meneguk es teh manis yang saya suguhkan.

“Saya datang saat terik begini karena tak tahan dengan Bu Lastri.” Dikibas-kibaskannya kain gendongan ke muka. “Barusan ia kejang kejang lagi di pelataran. Sepertinya karena saya tidak menuruti perintahnya untuk menelepon Menur.” Ia tersenyum kecut, begitu pun saya.

“Apa nanti kata Menur kalau saya benar-benar meneleponnya dan menanyakan kepulangannya? Menur bisa saja berpikir kalau saya mengharapkan oleh-olehnya.” Istri Sur mengibas-kibaskan lagi ujung kain gendongannya ke muka. Wajahnya berkeringat dan sedikit berminyak. Lalu saya rasa minyak di wajahnya menempel ke mulut kami berdua. Setelah itu, mulut kami jadi sangat licin mencibir kehidupan Bu Lastri. Semenit, dua menit, sepuluh menit, hingga bermenit-menit kemudian.

Dari celah jendela terlihat jarum jam di dinding ruang tamu bergerak lagi. Jarum panjangnya menyentuh angka dua belas, jarum pendeknya parkir di angka tiga. Telah satu jam kami duduk di teras, menceritakan kelakuan Bu Lastri hingga terpingkal-pingkal menertawakannya. Terutama ketika ia berpura-pura kejang. Dan seperti tengah dininabobokan, bayi Sur pun terlelap di pangkuan ibunya, di antara tawa yang membuat panas matahari tak terasa lagi.

Namun, tiba-tiba saja saya merasa ada sebongkah bara yang berjejalan di kerongkongan. Suasana menjadi hening. Tidak ada suara selain dengkur lembut bayi Sur. Semua khidmat mendengarkan berita yang disiarkan seorang lelaki melalui pengeras suara di masjid.

“Telah meninggal dunia. Saudari kita, Lastri binti Husein. Pada pukul empat belas lewat lima belas menit.”

Saya mengembuskan napas berat, menatap jauh ke sebuah tempat yang jarang sekali saya kunjungi. Bahkan jarang pula dikunjungi oleh kedua orang yang mengeluarkan tangisan pertama mereka di sana. Sekarang mereka tinggal di kota. Sebentar lagi mereka pulang dan pasti mengeluarkan tangis seperti sewaktu pertama kali dilahirkan.(*)

 

Balikpapan, 16 Oktober 2020

Ayna Indiera, lahir di Bekasi dan telah belasan tahun hijrah ke kota Balikpapan. Penulis bisa dijumpai di facebook @Ayna Indiera atau Instagram @Aynaindier.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply