Mama dan Negeri Jiran
Oleh : Ina Agustin
Awan mendung menghiasi cakrawala. Kilatan cahaya menyilaukan mata. Petir bersahutan memekakkan telinga. Gawaiku berbunyi mendendangkan lagu cinta. Kulihat kode area +60. Siapakah gerangan? Ku-reject panggilan tersebut, karena aku tak kenal nomor itu. Mungkin orang iseng saja. Namun, setelah ku-reject, gawaiku kembali berbunyi. Nomor itu lagi. Siapakah pemilik nomor tanpa foto profil ini? Dengan ragu, kuusap layar, menerima panggilan tersebut.
“Assalamu’alaikum. Neng, ini Mama! Kenape tak langsung angkat? Macam mane kabarnye?”
“Wa’alaikumussalam, Mama ….” Air mataku luruh bagai tak bertuan.
Bagai seorang anak kecil yang diberi hadiah, aku bahagia saat melihat Mama meski hanya di layar gawai. Bagaimana tidak? Sudah lebih dari lima tahun tidak ada kabar darinya. Mama tidak bisa dihubungi, nomornya tidak aktif. Ternyata ini adalah nomor barunya.
Sebongkah rindu yang tersimpan di kalbu sedikit terobati saat menerima panggilan video dari Mama. Wajahnya yang mulai senja disertai beberapa gigi seri yang sudah tanggal, membuat hatiku terenyuh. Meski demikian, Mama, di mataku kau tetap cantik.
Teringat kenangan saat aku masih kecil. Mama menggendongku sampai ke sekolah karena ia tak mau sepatuku basah terkena genangan air hujan. Mama yang membawakan payung ke sekolah saat hujan deras melanda. Mama juga yang siaga membawaku ke dokter dan begadang demi menjagaku yang sedang sakit. Mama yang mengajariku salat dan mengaji. Mama yang mencarikan aku tempat kos yang sangat nyaman saat SMA dulu. Mama yang selalu ceria di hadapanku. Mama yang selalu memberikan yang terbaik untukku. Mama oh Mama, sungguh aku sangat merindukanmu.
“Neng, kenape nangis?” tanya Mama padaku dengan logat Melayu.
“Eng—gak apa-apa, Ma, tadi kelilipan, hehe,” jawabku sambil mengusap mata.
“Neng, mane anak-anak? Mama nak liat cucu!”
Kuarahkan gawai pada kedua anakku. Mereka tersenyum saat melihat neneknya.
“Halo, Nenek! Aku Faris, dan ini adikku, Haikal,” ujar anak pertamaku sambil menunjuk adiknya.
Mama sangat gembira saat melihat cucu-cucunya. Bagaimana tidak. Mama belum pernah bertemu langsung dengan mereka. Mama berangkat jadi TKW ke Negeri Jiran setahun sebelum aku menikah.
Kuhela napas perlahan. Ada sesak terasa tatkala teringat lagi pertengkaran sengit Mama dan Bapak. Pertengkaran yang berujung pada kepergian Mama ke Malaysia. Masih terngiang di telingaku, Bapaklah yang menyuruh Mama pergi jadi TKW. Penghasilan Bapak yang setiap harinya makin menurun tak mencukupi kebutuhan keluarga. Bukannya berusaha cari jalan lain, Bapak malah asyik dengan sabung ayam.
“Neng, kenape diam je?”
“Oh, ma-maaf, Ma.”
Ingin rasanya kukatakan bahwa Bapak sudah menikah lagi dan pindah tempat tinggal, namun kuurungkan. Aku belum siap. Aku tak mau merusak kebahagiaan Mama.
“Neng, insyaallah, setahun lagi, Mama nak balik. Lepas tuh, Mama mau buka warung nasi buat bantu bapakmu.” Kulihat aura kerinduan di wajah Mama pada lelaki yang dicintainya.
“Tuhan, apa yang harus kulakukan?“batinku.
Waktu terasa lambat berputar. Menunggu seminggu saja untuk bertemu Mama terasa sangat lama. Hanya doa yang bisa kulakukan.
Kami mengobrol cukup lama melalui video call. Mama menceritakan tentang kehidupannya di sana. Suka duka ia lalui seorang diri. Bekerja sebagai ART, baby sitter, dan security. Sekarang Mama bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran di Malaysia. Dari sekian pekerjaan yang pernah digelutinya, ada satu pengalaman buruk yang ia ceritakan. Pengalaman pertama saat menjadi ART di rumah seorang duda yang nonmuslim. Mama diminta memasak daging babi. Mama juga disuruh makan daging babi tersebut karena sang majikan tidak mau menyediakan bahan makanan lain. Mama bagaikan kerja rodi. Belum selesai pekerjaan yang satu, sudah disuruh melakukan pekerjaan lainnya. Salat pun harus sembunyi-sembunyi agar tak dimarahi. Sampai di suatu hari, Mama dipanggil masuk ke kamar sang majikan dan diminta melayani nafsu bejat lelaki itu. Spontan Mama lari tak tentu arah, hingga akhirnya bertemu dengan seorang perempuan paruh baya yang mengajak Mama bekerja di tempat lain. Air mataku kembali menetes saat mendengar penuturannya.
“Pokoknya nanti Mama cerita lebih banyak kalau Mama dah pulang ke tanah air.”
Dari nada bicaranya, terlihat Mama pun rindu keluarga. Namun, saat ini belum tepat waktunya pulang, karena ia harus mengumpulkan rupiah untuk merehab rumah dan modal usaha.
Mamaku pahlawanku. Mungkin itulah julukan yang tepat untuknya. Mama yang membiayai kuliahku hingga lulus. Mama yang rela menempuh jarak ribuan bahkan jutaan kilometer demi sebongkah harapan. Mama yang selalu bersikap optimis menjalani hari meski sang suami sudah tak di sisinya lagi. (*)
Serang, 26 Oktober 2020
Penulis bernama lengkap Ina Agustin, lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Pandeglang, Banten. Perempuan penyuka warna merah marun ini memiliki hobi membaca dan menulis dan membuat kudapan. Moto: Hidup di dunia hanya sekali, hiduplah yang berarti! Penulis bisa disapa di FB dengan nama akun yang sama.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata