Aku, Kamu, dan Hujan

Aku, Kamu, dan Hujan

Aku, Kamu, dan Hujan

“Kita tahu semua itu salah, lalu kenapa masih melakukannya? Kenapa malah mempersulitnya?” tukas Angga sore itu, tidak setuju dengan saranku.

Kata-katanya mengiang di telingaku, berakar dan kemudian tumbuh semakin lebat, membuat pertanyaan-pertanyaan lain ikut tumbuh. Benar apa yang Angga katakan sore itu, aku hanya keliru, aku hanya terburu-buru. Memutuskan hal penting atas dasar emosi semata.

Sore itu aku merajuk, mogok bicara. Aku memilih diam dan mengunci diri di kamar seharian. Aku selalu saja bersikap kekanak-kanakan setiap kali keinginanku tidak terpenuhi, atau setiap kali ada hal yang tidak kusenangi terjadi.

“Maria … ayo keluar, kita bicarakan baik-baik,” pinta Angga dengan suara memelas, mulai lelah untuk membujukku.

Sepulang kerja tadi Angga terus berdiri di depan pintu kamar, memintaku keluar. Tapi aku tak beranjak sedikit pun dari ranjang, pun tidak membuka pintu yang terkunci.

“Maria … ayolah.” Angga belum menyerah rupanya.

Aku melempar buku yang ada di meja, melemparnya kuat-kuat ke arah pintu. Kukatakan padanya kalau aku sudah tidak peduli lagi.

“Aku ingin cerai!”

Kata itu yang terus aku ucapkan sepagi tadi sebelum Angga berangkat kerja. Aku sebal atas kejadian semalam. Mungkin itu hanya hal sederhana seperti yang Angga katakan, tapi tidak untukku. Aku tidak percaya semua penjelasan yang Angga utarakan. Aku tahu dia berbohong.

“Kamu keluar dulu, Maria. Kita bisa bicara baik-baik. Jika memang tidak bisa, maka aku menyerah…” bujuk Angga yang sudah hafal dengan sikap keras kepalaku.

Setelah berpikir cukup lama akhirnya aku beranjak dari tempat tidur. Perlahan aku membuka pintu. Semula Angga hanya melihatnya, namun kemudian dia mulai menahan pintu begitu tahu kalau aku hendak menutupnya kembali—mencoba lari dari masalah.

“Baiklah, kita bicarakan ini dulu. Apa pun yang kamu katakan aku akan mendengarkannya, aku tidak akan memotong walau sepatah kata pun.” Angga mencoba membuat sebuah kesepakatan. Dia ingin menyelesaikannya hari ini juga. “Bagaimana? Kamu setuju?”

Aku yang masih menahan pintu dari dalam berpikir sesaat, menimbang kesepakatan yang dibuat Angga.

“Kamu mau kita bicara di luar atau aku yang masuk ke dalam?”

“Aku akan keluar.”

***

Malam ini aku terus menimbang-nimbang jawaban yang Angga berikan—memikirkan ulang tentang keputusan yang aku buat. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa.

Shintya, wanita itu, aku mengenalnya dengan baik. Tapi Angga, dia suamiku, dan aku juga telah mengenal Angga jauh sebelum ini, bahkan saat aku masih berusia 8 tahun. Bukan waktu yang lama untuk mengenal seseorang, tapi nampaknya waktu tak menjamin kita untuk bisa benar-benar mengenal seseorang.

“Kamu sudah tidur?” tanya Angga dari balik pintu.

Aku tak menjawab sepatah kata pun.

“Aku tahu kamu belum tidur, aku sudah sangat mengenalmu. Jadi kalau begitu … dengarkanlah aku. Kuharap semua ini akan membuat kamu mulai merenunginya, membuat kamu memikirkan ulang keputusanmu,” kata Angga dengan suara lemah.

Aku menatap ke arah pintu, membayangkan sosok Angga yang setia menunggu di sana meski sudah berjam-jam membujukku. Dia tidak pernah beranjak selangkah pun dari sana.

“Saat itu hari sedang hujan … hujan deras yang menyelimuti seluruh kota. Orang-orang enggan beranjak keluar dari rumah dan memilih untuk bermalas-malasan di ranjangnya yang nyaman. Sementara aku, saat itu bertemu dengan seorang gadis kecil. Dia membawa sepotong roti sembari memegang payungnya kuat-kuat. Dia menatapku dari kejauhan, dan perlahan-lahan dia mulai melangkah, mendekat, semakin dekat. Kamu ingat hari itu..?” suaranya terhenti, terdengar isaknya walau samar.

“Benar sekali … gadis kecil itu adalah kamu. Kamu yang selalu sama seperti yang aku lihat sekarang. Kamu yang selalu menjadi sosok penyayang di mataku, yang menangis ketika melihat orang lain dalam kesusahan, yang akan berlari ketika orang lain membutuhkan pertolongan. Saat itu aku bertanya-tanya, ‘Siapakah malaikat kecil di hadapanku ini?’ Dia memberikan sepotong roti dan payung yang dibawanya, lantas berlari kecil, segera setelah aku menerimanya. Menghilang dalam hujan.

“…itu hanya sepotong memori indah yang aku punya. Aku terus mencari-cari, terus bertanya-tanya. Kupikir tidak akan menemukannya lagi, tidak dapat melihatnya lagi. Seorang gadis kecil yang usinya empat tahun lebih muda daripada aku, yang tingginya tak sampai sebahuku. Tapi matanya berbinar, indah sekali.”

Aku mulai beranjak meninggalkan ranjangku, menyandarkan diriku tepat di daun pintu. Aku ingin mendengarnya dari dekat, mendengarnya lebih jelas.

“Saat aku menyerah, saat aku pikir aku tidak mungkin menemukannya, akhirnya dia ada di hadapanku. Seolah-olah dia yang mencariku. Lagi-lagi gadis kecil itu menghampiriku, dengan sepotong roti dan payung di tangannya. Dia berjalan perlahan mendekatiku, semakin dekat, semuanya sama seperti hari yang lalu. Dan lagi, dia memberikan sepotong roti juga payung yang di pegangnya, namun kali ini dia melepas jaket yang dia kenakan, memakaikannya di tubuhku yang hanya mengenakan sehelai kaus tipis yang usang.”

Lagi-lagi terdengar isak Angga. Aku tahu dia sedang menyeka airmata, mengenang semua yang telah terlewati, membayangkan kembali kejadian bertahun-tahun lalu. Jika dia tidak menceritakannya aku bahkan tidak ingat. Aku sudah lupa semua itu.

“…dia hendak berlari lagi seperti saat itu, meninggalkanku sendiri bersama hujan. Tapi aku menahannya, aku berhasil menggenggam tangannya.” Angga tertawa sejenak, semenit kemudian melanjutkan cerita, “Dia menatapku, matanya masih berkaca-kaca seperti saat lalu. Aku bahkan belum berucap terima kasih, atau menanyakan namanya. Tapi apa kamu tahu? Gadis kecil itu menangis, air matanya saru bersama hujan deras yang membasahi bumi. Dia terduduk di jalan, menangis kencang. Aku kebingungan, orang-orang yang berlalu-lalang menatap ke arahku dengan pandangan menyelidik.

“Aku yang panik langsung melepas payung yang ada di tanganku, payung kedua hadiah dari sang gadis kecil yang cantik. Aku berjongkok di hadapannya, bertanya mengapa dia menangis. Saat itu mungkin usiaku sudah dua belas tahun, setahun lebih tua dari saat pertama kami bertemu. Saat itu aku tak mengerti dengan jawaban yang dia berikan, tapi setelah aku cukup dewasa maka aku tahu mengapa dia menangis saat itu. Apa kamu ingat apa yang kamu katakan?” ucapnya, disusul dengan isak tangis yang sesenggukan.

Aku menggeleng dari balik pintu. Aku sungguh tidak ingat kejadian itu sama sekali. Aku bahkan tidak ingat seperti apa saat pertama kali aku bertemu Angga. Aku hanya tahu kami sudah menjadi kawan baik pada musim panas tahun itu. Aku tak mengingat sedikit pun tentang hujan.

“Aku tidak tahu apakah kamu mengingatnya atau tidak, tapi baiklah, aku akan mengatakannya. Saat itu kamu menangis, kamu tidak menjawab sepatah kata pun saat aku menanyakannya beberapa kali. Baru setelah tangisanmu reda, kamu mulai berbicara. Itu pertama kalinya aku mendengar suaramu, bahkan masih terdengar jelas sampai saat ini. Kamu bertanya mengapa aku berdiri di bawah hujan tanpa payung, mengapa aku berada di luar dengan pakaian yang sangat tipis.

“Saat itu aku tidak tahu, tapi kini aku tahu bahwa kamu mengkhawatirkan aku. Kamu cemas kalau aku akan jatuh sakit, itu sebabnya kamu selalu memberikanku sepotong roti dan payung yang sedang kamu gunakan. Kamu berlari menerobos hujan, tak peduli dengan dirimu sendiri setelah memberikan makanan dan payung milikmu.

“Kamu … seorang gadis yang tak pernah aku kenal, seorang gadis yang datang begitu saja di tengah derasnya hujan. Kamu mengkhawatirkan seseorang yang tak kamu ketahui di saat semua orang membuang muka. Kamu mencemaskannya sampai-sampai tak memikirkan dirimu sendiri, mencemaskannya sampai menangis begitu deras di bawah rintik hujan. Dan saat itu aku tahu … aku tahu bahwa kamu duniaku. Tak peduli seberapa luas dunia yang aku miliki, saat kamu tidak berada di sampingku maka itu menyakitkan, menyesakkan.”

Aku menitikkan air mata mendengar ceritanya. Aku tidak pernah mengingat itu, mungkin aku sudah lupa, atau aku tidak menganggapnya spesial. Dia selalu diam, menjagaku dengan baik, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya dia masih mengingat kejadian hari itu, yang mana mungkin aku dan hujan telah mengalir—terlupa begitu saja.

Perlahan aku bangkit, membuka pintu. Menatapnya yang masih duduk bersandar di tembok samping daun pintu—menatap langit-langit.

“Kamu tahu? Meski waktu berubah, meski waktu terasa sulit, kamu masih tetap sama. Tidak peduli telah berlalu 10 tahun, 20 tahun, atau bahkan 60 tahun, kamu akan selalu sama.” Angga masih sibuk melanjutkan ceritanya, memikirkan sesuatu sampai-sampai tidak tahu bahwa aku memerhatikannya sejak tadi.

“Aku tidak tahu,” ucapku membuyarkan lamunannya. Ia pun langsung bangkit, menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku tidak tahu kalau kamu akan sebodoh itu. Itu sudah berlalu sangat lama. Kamu bilang usiamu 12 tahun? Kamu bercanda? Itu berarti 15 tahun yang lalu, lantas kenapa bersusah payah mengingatnya sendiri?” seruku ketus, berpura-pura tidak peduli dengan ceritanya.

Angga menahan tangisnya. Ia tersenyum simpul dan mengusap air matanya yang jatuh begitu saja.

“Aku tahu sejak awal bahwa kamu tidak mengingatnya. Itulah kenapa semua menjadi begitu berharga untukku. Karena gadis kecil itu, gadis kecil yang kini berdiri di hadapanku, adalah seseorang yang tulus. Dia terlalu sibuk memikirkan kesusahan orang lain hingga tidak punya waktu untuk mengingat kebaikannya sendiri,” jawab Angga dengan lembut. Senyumnya begitu berseri.

Aku menyeka ujung mataku yang mulai berair, menahan haru atas betapa tulusnya cinta yang dimiliki suamiku. Tak peduli seberapa kekanak-kanakannya aku, seberapa egoisnya aku, dia selalu saja melihat segala kebaikan yang aku miliki. Ia melupakan begitu saja semua sifat-sifat burukku.

Angga langsung memelukku, menangis sambil berkata dia merindukanku, meminta maaf berulang-ulang.

“Kenapa kamu meminta maaf? Tidak ada yang salah, tidak ada yang terjadi sama sekali,” jawabku sambil menepuk-nepuk pelan punggungnya. Aku menahan airmataku yang kian menggenang.

“Benarkah?” tanya Angga dengan senyum yang dibarengi oleh sebaris air mata yang masih mengalir.

Aku mengangguk.

“Terima kasih,” seru Angga dengan perasaan bahagia. Ia memelukku lebih erat dari sebelumnya.

Aku ikut tersenyum dan membalas pelukkannya.

“Jangan terlalu erat,” larangku.

“Kenapa?”

“Kasihan baby, nanti jadi sesak napas karena kamu terlalu bersemangat,” jawabku mengingatkan.

Angga terkejut dan tak bisa berkata-kata. Dia baru tahu kalau saat ini aku sudah hamil satu bulan. “Benarkah?” tanya Angga dengan gugup. Tangannya gemetar ketika hendak memegang perutku.

Aku mengangguk sekali lagi dan tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya.

Angga tertawa pelan, percaya tak percaya kalau sebentar lagi dia akan segera menjadi seorang ayah. Ia tersenyum serba salah, lantas kembali memelukku.

“Maaf aku lupa,” ucapnya ketika aku mengingatkannya untuk tidak memeluk terlalu erat. Harusnya berita itu sudah kuberitahukan kemarin malam. Seharian aku berpikir keras tentang bagaimana cara memberitahunya agar menjadi kejutan, tapi semuanya malah berakhir dengan peristiwa yang tidak terduga. Aku hampir saja kehilangannya, membuat calon anakku harus lahir tanpa seorang ayah.

Aku tidak tahu seperti apa cara mencintai yang tepat. Aku tidak tahu bagaimana harus memulai segalanya. Tapi kini aku tahu, dia selalu bisa melihat sisi terbaik dari pasangannya demi mempertahankan keharmonisan keluarga.(*)

Lily Rosella, gadis penyuka warna-warna pastel, kelahiran Jakarta 21 tahun silam, tepatnya tanggal 10 Desember 1996.

Fb: Aila Celestyn

Email: Lyaakina@gmail.com

Pengurus dan kontributor

Cara mengirim tulisan

Leave a Reply