Kotak Musik Willy

Kotak Musik Willy

Kotak Musik Willy
Oleh : Nuke Soeprijono

MamaWilly segera keluar kamar setelah mengantarkan segelas susu hangat untuk Willy. Tanpa berusaha mencegah mamanya, Willy memilih menghabiskan susu hangat itu dan meletakkan gelasnya di atas nakas. Willy terdiam, sedikit kecewa berdenyar dalam hatinya. Dengan mamanya, Willy sebenarnya ingin berbincang lebih lama. Dia berharap akan ada dongeng dan alunan lagu dari kotak musik yang diputar seperti yang dilakukan ayahnya dulu.

Willy adalah seorang yatim. Setahun lalu, ayahnya meninggal karena kecelakaan tunggal yang terjadi tak jauh dari rumahnya. Hal ini banyak mengubah perangai sang mama. Kini mama Willy menjadi jarang bicara kepada siapa pun. Termasuk pada putra semata wayangnya itu. Willy merasa hilang percaya diri. Dalam hatinya seperti ada sesuatu yang kosong dan tersekat-sekat di beberapa bagian. Terlebih ketika sang mama tidak bisa menggantikan peran sang ayah yang selama ini Willy dapatkan.

Sepintas tidak ada yang aneh dari anak lelaki umur sebelas tahun itu selain matanya yang cekung. Willy sering mengalami susah tidur. Untuk mengalihkannya, dia suka sekali melihat keadaan luar dari jendela kamarnya sambil duduk di samping meja hingga larut malam. Mungkin itu penyebab mata Willy menjadi cekung.

Dulu, saat menjelang tidur, ayah Willy selalu menemani sambil memutar kotak musik yang terbuat dari kayu dan menceritakan hal-hal hebat yang terjadi di luar sana. Ayah Willy adalah seorang pedagang di kota. Kotak musik itu hadiah dari sang ayah saat dirinya berulang tahun yang kedelapan. 
Seperti malam-malam sebelumnya, tadinya Willy ingin mendengarkan musik dari kotak itu sebelum dirinya benar-benar terlelap. Akan tetapi, alunan musik yang Willy inginkan tidak bisa didengarkan. Tuas di samping kotak itu hanya bisa bergerak memutar bebas tanpa bisa diatur. Bocah berambut ikal ini hanya bisa menghela napas dan tertunduk lesu.

Malam semakin pekat, terdengar suara burung hantu di luar kamar Willy. Burung yang mempunyai mata bulat besar yang terdiri dari tiga buah kelopak itu mungkin sedang memindai sesuatu yang tak kasatmata. Atau melihat ada sosok lain yang tengah mengintai. Entahlah.

Memang rumah peninggalan ayah Wiily berada di pinggiran kota. Di sana masih banyak pohon cemara yang tinggi dan sungai jernih. Tak heran jika masih banyak hewan nokturnal yang bebas berkeliaran. Jarak satu rumah dengan rumah lainnya–yang pintu dan jendelanya besar-besar–pun berjauhan.

Sementara di dalam kamar, Willy belum juga menampakkan gelagat mengantuk. Masih terdiam dalam pikirannya yang berkelana entah ke mana. 
Willy kemudian melepas tuas yang sudah tidak bisa berfungsi tadi. Dengan tatapan yang sayu, dimainkan dan diputar-putarnya benda dari besi itu. Sesekali diletakkan di dadanya, dipeluk, layaknya kesayangan.

Lama Willy terdiam. Lalu dia berjalan ke arah jendela besar lainnya di sisi kiri kamar yang cahayanya lebih temaram. Dibuka kaca jendela itu kemudian dia berdiri mematung di sana. Mata cekungnya menerawang ke langit seolah-olah mengingat sesuatu hal yang membekas dalam. Pantulan sinar rembulan tepat mengenai wajah Willy. Terasa sendu, hatinya semakin pilu.

Lagi-lagi burung hantu di atas dahan pohon cemara itu mengeluarkan suara. Berlomba dengan desau angin yang lama-lama membuat bulu tengkuk Willy meremang. Willy menatap mata bulat burung hantu yang bercahaya itu. Dia terkesiap saat mata burung hantu itu semakin lama semakin membesar dan tampak dahan pohon cemara di belakangnya bergoyang meliuk-liuk membentuk sosok bayangan seperti monster.

Cepat-cepat Willy menutup kaca jendela kamarnya. Dia membalikkan badan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup tak beraturan. Suara burung hantu kini sayup-sayup terdengar, tetapi embusan angin yang menerobos pelan dari celah jendela masih terasa. Willy berlari menuju tempat tidur dan menarik selimutnya tinggi-tinggi. Dia masih takut dan terus berdoa dalam hati dengan mata tertutup.

Hingga beberapa saat kemudian Willy mendengar sesuatu.

Kraak! Kraak! Kraak!

Tiba-tiba di luar seperti ada suara ranting kayu patah. Semakin keras suara itu seperti nyata dari arah jendela. Willy hanya mampu mengintip dari balik selimut. Dia makin ketakutan ketika bayangan yang menyerupai akar pohon itu menjelma bagai monster yang merangsek ke dalam hingga memecahkan kaca jendela kamar menjadi kepingan-kepingan.

“Mamaaa!”

Willy segera melompat dari tempat tidur. Dia berlari ke arah pintu, berusaha menggapai gagangnya. Sial! Pintu seperti terkunci. Willy panik setengah mati ketika melihat ke belakang, akar pohon itu berjalan merambat mendekatinya dengan pasti. Willy terus mencoba menggerakkan gagang pintu itu. Digerakkan turun naik berulang kali dengan cepat dan … berhasil!

Willy terus berlari sambil berteriak-teriak memanggil mamanya. Aneh! Rumah seperti tak berpenghuni, kosong, dan terasa jauh sekali. Willy berlari turun melewati anak tangga yang berulir. Dia melirik ke belakang, monster akar itu masih mengejarnya. Karena tergesa-gesa, Willy lalu terjatuh berguling-guling hingga ke bawah.

“Aaarrgh!”

“Mama! Tolong Willy!”

Willy merasakan kakinya nyeri dan berdarah, tetapi dia berusaha berdiri lagi, menggapai-gapai apa saja yang ada di atasnya. Willy begitu ketakutan. Berjalan tertatih menahan sakit sedangkan mama yang dipanggilnya tak kunjung datang menolong. Akhirnya Willy terjatuh lagi, dalam pikirannya dia merelakan jika harus ditangkap atau dimakan sekalian oleh monster akar tadi.

“Ayah, tolong Willy … Willy ikut dengan Ayah saja,” desis bocah itu sambil memicingkan mata, pasrah.
Tiba-tiba Willy merasakan tubuhnya terangkat. Dia membuka mata sedikit, mencari tahu apa yang terjadi. Willy terkejut begitu tahu si monster akar tadi yang membawa tubuhnya ke atas. Mengembalikan ke dalam kamar lalu menidurkannya di atas ranjang.

Sayup-sayup Willy mendengar senandung dari kotak musiknya yang rusak. Ajaib! Sekarang kotak musik itu bisa berfungsi lagi. Willy sangat gembira. Dia berusaha bangun untuk mencari tahu apa yang terjadi, tetapi ada sesuatu yang menahan badannya. Willy melirik ke arah samping. “Ayah!” pekik Willy tertahan.

Terlihat bayangan ayah Willy di sebelahnya, membelai rambut ikal Willy tanpa berbicara sepatah kata. Willy menangis sejadi-jadinya. 
“Ayah, aku rindu!” Willy meraung, berusaha memeluk bayangan itu.

Tiba-tiba mama Willy sudah berdiri di depan pintu kamar dan berlari mendekat. Dia berusaha membangunkan Willy yang samar berteriak-teriak memanggil ayahnya sambil memeluk kotak musik. Mama Willy menangis sambil memeluk erat putranya seolah tak ingin melepasnya lagi. 

Tgr_Okt2020

Nuke Soeprijono, si alter ego yang baru belajar menulis.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply