Dahulu Aku Tidak Mencintainya
Oleh : Ika Mulyani
Hayati memang tidak pernah mencintai lelaki itu, sejak awal mereka menikah, hingga kini–sebulan lagi–putri sulung mereka akan menikah. Namun, tetap saja ada rasa pedih yang mendera hati wanita 45 tahun itu, saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa kabar burung itu benar adanya. Hatinya teriris tetapi tak berdarah.
Dari dalam rumah makan tempat ia menghadiri acara temu kangen bersama kawan sekolah menengah, Hayati dapat melihat dengan jelas adegan itu. Rumah makan ini memiliki jendela lebar, yang membuat pengunjungnya dapat dengan jelas menikmati keindahan taman kota di seberang jalan yang tidak terlalu lebar. Ada banyak kursi taman beralas kayu dan berlengan besi tempa hitam berukir indah. Tanaman berbunga aneka jenis dan warna membuat taman itu semakin indah, sementara beberapa pohon berdaun rindang menaungi dan membuat teduh.
Tepat di arah pandang Hayati, di salah satu kursi taman di samping sebatang bugenvil berbunga ungu, tampak sepasang manusia–lelaki tampan dan perempuan cantik–tengah duduk dan asyik bercengkerama. Sesekali si perempuan tersenyum, sementara si laki-laki–yang amat Hayati kenal–menatap lekat lawan bicaranya, dengan sorot mata penuh cinta dan damba.
Hayati tidak ingat lagi, kapan terakhir kali Janu–laki-laki itu–menatapnya dengan cara seperti itu. Mungkin saat di pelaminan dan malam pertama mereka, yang sudah lebih dari seperempat abad berlalu?
“Ti, bukankah itu ….” Bisikan Reni–kawan sebangku dulu–dibalas Hayati dengan anggukan dan senyum pedih.
“Dengan siapa dia?” bisik Reni lagi.
Hayati mengangkat bahu, meskipun sebenarnya ia tahu, siapa perempuan putih cantik berkacamata itu.
Sepasang manusia di seberang sana bangkit dari duduk mereka, dan mulai menyeberang jalan. Sepertinya mereka hendak menuju ke rumah makan ini.
Hayati tersentak. Sebelum Janu dan perempuan itu masuk, ia segera memutuskan untuk pergi dari sini. Ia tidak ingin terjadi drama yang menarik perhatian kawan-kawannya.
“Maaf saya duluan, ya. Saya harus nemenin anak saya fitting baju dan juga pesan kartu undangan. Jangan lupa, nanti pada datang, ya. Undangan resminya nyusul.” Hayati berucap seraya bergegas menyalami satu demi satu sepuluh kawan yang hadir.
Janu dan perempuan itu sudah masuk dan duduk di tempat yang mereka pilih saat Hayati masih berjalan menuju pintu keluar. Sekilas pandangan mereka bertemu, membuat Janu tersentak. Hayati memalingkan wajah dan segera berlalu, pulang. Ia tadi berdusta, karena urusan pernikahan putrinya sepenuhnya ditangani oleh Rina–sang putri–dan calon suaminya.
***
Hayati memang tidak pernah mencintai Janu, tetapi perempuan itu sangat menyayangi ibunya, hingga dulu ia bersedia menerima lamaran laki-laki itu. Ia bersedia menikah demi baktinya pada sang ibunda, dan tidak ingin mengecewakan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya–dan tidak pernah menikah lagi–saat mengandung adik Hayati.
Janu sebenarnya cukup tampan dan juga mapan, dua kombinasi sempurna, idola hampir setiap wanita, dan masuk kategori calon menantu idaman. Saat melamar Hayati dulu, ia sudah memiliki usaha warung kelontong yang omzetnya lumayan besar. Selama masa pernikahan mereka, Janu telah menjadi menantu kesayangan ibunda Hayati.
Hayati tidak pernah tahu, mengapa setelah sekian lama usia pernikahan mereka berlalu, ia tidak juga bisa merasa cinta. Bukan karena ia masih memikirkan seseorang yang pernah hadir sebelum Janu memasuki hidupnya secara tiba-tiba. Dengan Ridwan pun Hayati tidak pernah merasakan cinta menggebu yang menggugah hati. Apakah akan selamanya ia “dingin” seperti ini? Tidak pernah ada kehangatan dalam ribuan malam yang ia lewati bersama Janu, hingga pada akhirnya laki-laki itu pun terlihat enggan sekaligus segan untuk meminta haknya.
“Kak, aku lihat Mas Janu sama perempuan, ngobrol di depan warung bakso dekat SMP,” lapor adik Hayati suatu hari, berbulan-bulan lalu.
“Cuma ngobrol, kan? Teman sekolahnya mungkin,” sahut Hayati tanpa beban, meskipun adiknya menambahkan keterangan bahwa mereka berdiri dekat sekali.
“Kak, aku lihat Mas Janu makan berdua sama perempuan itu.” Kembali sang adik melapor beberapa minggu kemudian.
Ketika laporan demi laporan Hayati terima, ia meminta adiknya untuk tidak ribut. Dan kali ini sang adik menyebut sebuah nama. Nama yang belakangan Hayati tahu sebagai seseorang yang di masa lalu gagal berjodoh dengan Janu.
“Jangan sampai Ibu tahu,” pesannya pada sang adik. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli–karena tidak pernah melihat secara langsung–dan juga tidak ingin mencari tahu. Akan tetapi, ia tidak ingin ibunya, dan juga anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa, tahu dan terjadi keributan.
Namun, ketidakpedulian itu sempurna terkikis saat dengan mata kepalanya, Hayati memergoki kebersamaan mereka, dan cara Janu menatap perempuan itu. Hatinya mulai digerogoti satu rasa yang terasa asing.
Seumur hidupnya yang hampir setengah abad, baru kali ini rasa cemburu mengisi relung hati Hayati. Rasa ini kemudian diikuti oleh datangnya–tanpa bisa dicegah–hasrat mencinta dan tak ingin berbagi.
Karena itu, malam ini, Hayati menunggu kepulangan Janu dengan penuh kerinduan. Dikenakannya busana terseksi di balik kimono tidurnya. Busana pemberian Janu puluhan tahun lalu itu, masih pantas melekat di tubuh Hayati yang tetap langsing.
Namun, Janu tidak juga kunjung pulang. Hanya selarik pesan yang dikirimkan laki-laki itu, “Bu, maaf malam ini saya enggak pulang. Urusan buka cabang toko kita belum selesai.” (*)
Ciawi, 25 Oktober 2020
Ika Mulyani, penyuka warna hijau yang suka sekali bubur kacang hijau.
Editor : Fitri Fatimah