Pura-pura Lupa

Pura-pura Lupa

Pura-Pura Lupa

Oleh: Dhilaziya

Aku menatap sosok pria yang paling lekat dalam hati dan pikiran. Sosok yang paling kusayang dari dulu, sekarang, dan aku yakin hingga nanti, selamanya. Pria terkasih yang punggungnya pernah menjadi tempat ternyaman bagiku beberapa waktu lalu, bukan dalam masa yang sebentar. Sebelum perempuan lain menyingkirkanku.

Tatapan matanya masih sama. Lembut, hangat, dan menenangkan, laksana magnet yang menjadikannya pusat hidupku. Seketika aku sadar, aku masih tetap mencintainya. Sangat, dan kukira akan selalu begitu.

Dalam sekian waktu yang kukira akan selamanya, kami pernah begitu saling. Pria berbadan kokoh yang pernah mengatakan bahwa adanya adalah demi kebahagiaanku. Memang, dia tak berbohong. Dia benar-benar melakukan nyaris segalanya untukku.

Pada malam-malam penuh tangis oleh luka, dadanya adalah tempat paling nyaman. Pada detik-detik paling merisaukan, genggam tangannya adalah yang paling hangat. Lalu bisiknya akan membuatku kembali tenang.

“Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

Pada waktu itu, aku merasa hidupku sempurna dan aku tak butuh siapa yang lain. Hidupku utuh dan penuh.

Lalu badai datang.

Mulanya aku mengira takkan tersingkir semudah itu. Perempuan itu cantik. Tawanya menyenangkan. Seolah murai berkicau di awal hari, mengajak siapa yang mendengar tawanya dan melihat wajahnya saat tertawa melupa semua nestapa. Tetapi bukan itu yang paling membuatku nelangsa.

“Dia mengisi yang selama ini kosong. Dia melengkapi.”

Aku remuk, tercabik, dan merasa ditinggalkan. Rajukanku tak membuatnya bergeming. Dia memilih menurut pada hati yang melambung oleh cinta baru.

Lalu … mengapa hari ini dia datang? Berdiri di hadapanku, merentangkan tangan menawarkan pelukan. Tatapannya syahdu dan penuh isyarat kerinduan, juga panggilan lirih yang segera saja membuat hatiku temaram. Oleh kangen yang sekian purnama kucoba alihkan.

Ke mana dia semusim terakhir? Nyatanya aku merangkak sendiri menjejaki kenangan. Ketika di awal dia merangkai kisah baru, sesekali dia masih melibatkan aku, mengingat adaku. Lalu perlahan dia tenggelam dalam pusaran kehidupan baru, membiarkan aku mengapung hanyut hilang arah, seorang diri.

Aku, begitu pun dia, sama mengerti bahwa tak bisa aku berada di bentang kisahnya sekarang. Kehidupan baru yang dia sebut, bagiku adalah pengkhianatan. Aku meradang tak rela. Aku mengingatkan dia perihal janji untuk menjadikanku satu-satunya. Bermula dari tangis lirih kemudian teriakan penuh amarah dariku, disambut dengan rayuan dan permohonan darinya, segalanya sia-sia. Perpisahan adalah keniscayaan. Dia bersikeras dan aku bersikukuh. Kami sepakat memilih jalan yang berbeda.

“Tidakkah kau rindu?”

Pertanyaan macam apa itu? Berani sekali dia menanyakan itu. Sebagai orang yang pasti tahu bahwa belum kulupa aroma tubuhnya, dia pasti paham pada gejolak dalam ringkih dadaku. Rindu yang berderak-derak meresahkan hati, memantul-mantulkan pikiran antara tetap diam sambil berjuang membunuh rindu, atau lari mengesampingkan gengsi menujunya. Kadang aku ingin sekali menghambur kepadanya dan meneriakkan kangenku. Tapi aku kelu dan bisu. Aku tak ingin terlihat kalah di hadapan si perempuan baru.

Tak apa bukan jika aku membenci perempuan itu? Kurasa tak keliru kalau aku menolak milikku direbut dan dikuasai orang baru. Terang-benderang kukatakan hal itu. Dia diam tergugu menatapku.

“Ayah, sudahlah. Nikmati hidup Ayah sekarang. Niki baik-baik saja. Pekerjaan Niki cukup untuk menghidupi Niki. Bukankah Ayah akan memiliki anak bersamanya? Bukankah kata Ayah kehamilannya tidak mudah? Niki tak apa.”

Aku mengakui kekalahan. Aku juga mengemban luka yang mungkin juga dirasakan ibuku. Perempuan yang takluk dalam pertarungan ketika melahirkanku, dua puluh lima tahun lalu. Aku adalah saksi dadi janji-janji yang diucap Ayah setiap kali berziarah atau mengulang kisah, bahwa takkan ada perempuan lain, bahwa aku dan kenangan akan ibu lebih dari cukup, untuk meniti hidup hingga waktu kembali mempertemukan mereka. Bahwa aku boleh memegang janjinya sebagai tekad seorang ksatria.

Maka sekali lagi kukatakan, biarkan aku menjauh. Aku takkan merusuh. Bahwa aku mendoakan bahagianya, bukan karena rela, tetapi karena aku sungguh menginginkan bahagianya. Bahwa kali ini, biar aku yang pura-pura lupa, pada laraku. Kuharap itu selamanya.

Selesai.

#dz.21102020

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply