Satu-Dua Jawaban Ayah

Satu-Dua Jawaban Ayah

Satu-Dua Jawaban Ayah
Oleh : Dyah Diputri

Saya pernah bertanya kepada Ayah, kenapa ada orang gila, dan kenapa orang bisa gila? Saya melihat anak-anak seusia saya menyoraki seorang wanita berbaju kumal yang berjalan dengan pandangan aneh ke sekitarnya. Wanita itu wajahnya tak terawat, hitam bernoda, dan meski dari jarak tiga meter, baunya yang membuat mual sudah tercium. Aromanya seperti besi berkarat di bengkel Bang Nunu atau bau pesing di got kecil tersumbat di pinggiran jalan. Ia berjalan sendiri dengan menggigiti jarinya—yang tentu saja berkuku hitam dan panjang.

“Anak-anak itu menyebut si wanita gila. Dari mana mereka mengerti itu, Ayah?”

Ayah tak menjawab. Ia menuntun saya lebih cepat menuju depot Mak Siti. Begitu masuk, ia memesan makanan dan minuman. Diambilnya posisi duduk di ujung depot yang menghadap ke tembok, sedangkan saya sebaliknya. Saya masih ingin melihat si wanita gila itu dari jauh.

Ayah masih fokus menyantap semangkuk nasi soto ayam kampung di depot Mak Siti. Tak diacuhkannya saya yang sedari tadi diburu rasa penasaran akan wanita itu. Pandangan saya pun sampai tak lepas dari tindak-tanduk anak-anak yang semakin riuh mendengungkan kalimat Orang gila …. Orang gila …. dengan nada yang khas dan serempak. Sementara si wanita yang dicibir beramai-ramai semakin terlihat ketakutan. Ia seakan-akan tak berani berteriak, meminta tolong, menggertak, maupun mengelak. Ia diam saja saat disebut gila. Apa ia mengaku bahwa ia memang gila? Entahlah.

“Apa orang gila tidak akan ada yang menolong, Ayah? Saya kasihan dengannya. Bolehkah saya menolongnya?”

“Tidak bisa.” Begitu Ayah menjawab pertanyaan putri kecilnya yang masih berusia tujuh tahun.

Saya berkata lagi, “Tidak bisa, bukan berarti tidak boleh, bukan? Lalu, kapan saya bisa menolong orang gila?”

Ayah tidak menjawab pertanyaan saya. Tidak untuk pertanyaan itu dan pertanyaan lainnya. Ia meneguk segelas teh kopi hitam, lalu beralih duduk di bangku panjang di depan warung Mak Siti, menyalakan korek api, lalu merokok dengan tatapan sendu ke arah jalanan. Saya rasa, saat itu Ayah mulai tertarik memandang si wanita gila.

Saya menunggu Ayah selesai merokok sembari menghabiskan separuh porsi nasi soto ayam kampung yang dipesankannya. Akan tetapi, kegiatan makan saya tidak dapat terasa menyenangkan. Pikiran-pikiran saya dipenuhi tentang wanita gila itu. Di mana wanita gila itu tinggal, bersama siapa, apa ia tak dicari keluarganya? Apa … ia sudah makan?

***

Saya kembali bertanya tentang orang gila, ketika melihat semakin banyak orang berbaju bolong-bolong di jalanan. Mereka tertawa di bawah terik matahari sambil mengunyah remah-remah roti yang mereka temukan di tong sampah. Setelah mulutnya penuh remah makanan, mereka berjalan-jalan menakuti sebagian orang dengan peringisannya.

“Apa orang gila tidak punya pekerjaan lain selain menakuti orang lain? Lihat, Ayah! Bahkan, saya yang sudah SMA pun takut jika berdekatan dengan mereka.”

Saya bergidik ngeri manakala seorang gila berjalan ke arah kami—saya dan Ayah—yang sedang menikmati segelas cappuccino di outdoor kafe tengah kota. Seiring waktu, saya hampir menyelesaikan pendidikan tingkat atas. Kami baru saja selesai mendaftarkan nama saya di universitas ternama di kota ini, mengambil jurusan Psikologi. Sejak Ayah mulai naik jabatan, kami tidak lagi mengunjungi depot Mak Siti, melainkan pergi menikmati waktu senggang di resto atau kafe modern.

“Nanti, kalau saya sudah mulai belajar di kampus, saya akan mencari tahu jawaban tentang mereka.”

“Mereka bukanlah pertanyaan,begitu kata Ayah.

“Tapi mereka punya alasan, bukan?” sergah saya, tak setuju. Setiap hal memiliki sebab, dan setiap sebab selaku punya imbas. Itu hukum sebab akibat yang nyata.

“Urusi saja orang yang waras jika kamu waras.”

“Apa mengurusi orang tidak waras itu kegiatan tidak waras?” Saya menahan senyum. Entahlah, meski waktu dan kondisi kami terus berubah, ekspresi Ayah—saat membahas tentang orang gila—masihlah sama: datar.

Ayah tidak lagi menjawab. Namun, pandangannya mulai melirik ke arah orang gila di sana—yang tertawa cekikikan setelah membuat menangis seorang gadis kecil. Apa yang ada di pikiran dan hati Ayah, saya tidak pernah tahu.

Hingga waktu terus berlalu, dunia semakin tidak waras, dan alam menjadi korban ketidakwarasan manusia … saya mulai menyadari banyak hal dan jawaban.

Empat setengah tahun saya kuliah. Sesuai niat awal, saya ambil jurusan Psikologi. Saya membawa toga dengan bangganya, kemudian memeluk Ayah di bawah panggung kelulusan. Wajah Ayah berseri-seri, tampak sirat kelegaan di balik lengkung senyumnya. Mungkin, Ayah tidak pernah menyangka kalau ia akan berhasil membesarkan putri kecilnya seorang diri setelah kepergian ibu saya, sejak saya berusia satu tahun. Terlebih, saya berhasil membanggakannya. Ya, meski Ayah bilang, ia sempat menyesal membiarkan saya mengambil jurusan itu.

Sore itu kami sedikit berdebat, apakah memilih merayakan kelulusan saya di depot Mak Siti atau minum kopi di kafe seperti biasanya. Setelah melakukan suit karena diamnya Ayah tak bisa ditawar, akhirnya keputusan jatuh ke kafe. Menyebalkan! Padahal, saya mau menapak tilas perjalanan impian saya dengan menyantap nasi soto ayam kampung di depot Mak Siti.

“Tunggulah di bangku di bawah pohon mahoni seperti biasanya. Kafe buka sekitar sepuluh menit lagi.”

“Ayah meninggalkan saya? Mau ke mana?”

“Ayah ingin membeli sesuatu untukmu,” katanya, bergegas pergi.

“Tidak perlu repot, Ayah!” teriakku seiring langkah panjang Ayah yang semakin menjauh.

Aku menunggu sepuluh menit, berteman angin sore yang tiba-tiba saja menusuk lebih dalam ke pori-pori epidermis. Ada yang berdesir cepat dan berdebar dalam diri saya. Semakin kencang, semakin … tak keruan.

Ada yang tidak beres, atau mungkin akan ada yang terjadi—yang tidak sewajarnya. Ada yang menggelitik hati saya. Ada yang mendadak terasa ngilu di dada. Ayah, hanya namanya yang sekelebat terpikirkan.

Pria paruh baya dengan gurat wajah lelah itu berjalan dari seberang jalan. Di tangannya ada seikat mawar putih yang indah, seketika membuat senyum saya mengembang. Namun, hati saya tetap gelisah. Kenapa?

Ayah menyeberang jalan. Satu-dua orang di samping kanannya ikut menyeberang. Dua-tiga mobil masih memotong jalannya. Empat-lima motor belum mau mengalah.

Satu-dua orang menyeberang bersamanya. Menyusul satu lagi yang berlari—entah dari arah mana—dan tiba-tiba berdiri di samping kirinya. Satu orang itu tidak mengenakan baju layak, selayaknya orang gila.

Orang gila!

“Ayah!”

Saya memekik dan berlari, tepat saat orang gila itu berputar-putar seolah-olah ia adalah komidi putar. Tubuh kotornya menyerempet Ayah yang sedang menyeberang. Ayah terdorong ke jalanan.

Satu-dua pejalan kaki berteriak dan balik mundur, batal menyeberang.

Dua-tiga mobil berhenti dan terpaku oleh jeritan.

Tiga-empat motor seakan-akan kehabisan bensin di tengah jalan.

Di tengah jalan … Ayah … saya ….

***

Saya selalu teringat nasihat Ayah agar tidak mengurusi orang gila. Itu sama seperti menabur garam di lautan. Orang gila bukan pertanyaan. Orang gila tidak membutuhkan jawaban. Terlalu banyak hal yang “tidak menyakitkan”, yang menarik untuk diperhatikan daripada mengurusi ketidakwarasan seseorang.

Alasan itu selalu ada,dan sebab itu juga memang ada imbasnya. Itu benar. Kesemuanya benar. Kami sama-sama benar.

Saya memandangi seorang pasien di rumah sakit jiwa. Seorang pasien itu hampir setiap saat menangis sambil berucap, “Saya orang gila, periksa saya!”

Aneh, bukan? Baru kali ini saya menemukan orang gila yang dengan sadar mengatakan itu. Terkadang, pasien itu juga tertawa dan berteriak-teriak meminta segelas kopi. Kemudian, ia menyeruput kopi itu, tersenyum lebar, lalu berkata, “Saya selalu berdebat dengan putri saya tentang kopi dan soto, bahkan itu terjadi sebelum putri saya pergi untuk selamanya.”

Seorang perawat menyuntikkan obat penenang beberapa jam setelah kopi pria itu habis. Ia terlelap beberapa menit setelahnya. Lepas itu, saya mendekatinya.

Saya usap keningnya yang berkerut. Saya kecup pipinya yang keriput. Saya periksa keadaannya yang semrawut. Saya tak lupa meraba nadinya yang masih berdenyut. Setelah itu … saya meninggalkannya di sana. Hanya setiap ia mengingat saya, saya akan datang dan melakukan itu. Saya terus memeriksanya, tentu saja! Namun, saya tidak bisa dan tidak mau bertanya kenapa orang bisa jadi gila, karena saya sudah tahu jawabannya.

 

Malang, 1 Oktober 2020

Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.

Editor : Lily

 

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply