Baju Baru Nurma

Baju Baru Nurma

Baju Baru Nurma
Oleh : Dhilaziya

Suara panggilan dari abang pengirim paket membuat Nurma melonjak kegirangan. Sudah sejak pagi dia menunggu. Barang yang diantar adalah pesanan baju baru milik Nurma. Dibelikan Ibu tiga hari yang lalu. Nurma memilih sendiri baju yang diinginkan. Mereka membeli dari kawan Ibu yang berjualan online.

Nurma amat gembira saat membuka bungkusan paket. Sebuah baju gamis berbahan denim, dengan hiasan bunga di bagian depan segera dipeluknya. Nurma suka sekali baju barunya.

Gadis berkepang dua itu segera berlari ke depan lemari. Ada cermin besar di pintu lemari. Nurma menempelkan baju baru ke badannya. Mematut-matut sambil berputar-putar mengagumi penampilannya.

“Wah cantik sekali, Nak.”

Tiba-tiba Ibu sudah berdiri di belakang Nurma. Nurma lantas berbalik dan memeluk Ibu sambil mengucapkan terima kasih.

“Nah, sekarang ayo kita pilih bajumu.”

Bibir Nurma seketika manyun. Setiap kali membeli baju baru, perkataan Ibu yang satu ini paling tidak disukainya. Ibu dan Ayah punya aturan, bahwa jika Nurma membeli baju baru, maka dia harus menyedekahkan bajunya yang lama. Kata mereka, begitu Nabi mengajarkan.

“Tapi baju Nurma nggak ada yang jelek, Buk.”

“Eh, Sayang. Sejak kapan Ibu bilang yang disedekahkan adalah yang jelek. Apa kamu mau kalo dikasih sesuatu yang jelek?”

Nurma menggeleng, bibir gadis kecil berusia sepuluh tahun itu masih membentuk kue corobikang.

“Bersedekah harus dengan hati yang gembira. Suka hati karena membuat orang lain bahagia. Kamu senang kan kalo liat Restu tersenyum waktu kamu beri sesuatu?”

Nurma mengangguk kali ini, walaupun bibirnya masih tetap mecucu. Dia jadi teringat Restu, teman bermain yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

Restu tinggal dengan kedua orangtuanya. Ayahnya dulu bekerja sebagai tukang ojek. Ayah Restu tidak bisa bekerja lagi sejak mengalami kecelakaan dan cidera, kakinya putus, sehingga harus menggunakan kruk untuk bisa berjalan. Sedang ibunya Restu bekerja di warung nasi. Membantu memasak dan mencuci di sana.

Restu pernah bercerita kepada Nurma, dia sudah lama tidak pernah membeli baju baru. Baju-baju yang dikenakan adalah baju bekas dari majikan ibunya, atau dari para tetangga. Termasuk juga dari Nurma. Satu-satunya baju baru Restu dalam beberapa waktu terakhir adalah seragam sekolah. Ibu Nurma membeli dua setel, untuk Nurma dan Restu.

“Kasihan Restu ya, Buk.”

“Iya. Dan kamu harus banyak bersyukur. Coba sebutkan apa saja yang kamu rasa lebih dari Restu?”

“Uuhhmm, Ayahku sehat, Ibuku kerjanya nggak susah kayak ibunya Restu. Aku juga sering makan enak. Terus aku juga sering beli baju baru. Bajuku ada banyak. Kadang dibelikan Ibu, kadang Nenek, atau sodara.”

“Naah, pandai sekali anak Ibu. Peluk dulu sini. Ibu bangga sekali sama Nurma.”

Sekarang Nurma tidak lagi merasa kesal. Dia tersenyum dalam dekapan Ibunya. Menikmati belaian tangan Ibu di rambutnya.

“Jadi, yang mana baju untuk Restu?”

Nurma tidak menjawab pertanyaan Ibu. Gadis yang siang itu rambutnya dihias bando berwarna biru muda, segera membuka lemari bajunya. Kemudian dia mulai memilih baju mana yang hendak dia berikan untuk Restu.

Beberapa kali tangannya berhenti memegangi baju dalam lemarinya. Baju warna hijau dengan pita di pinggang sebelah kiri, pasti cantik sekali dipakai Restu. Atau baju dengan gambar tokoh princess di bagian depan, berwarna pink juga pasti akan sangat disukai Restu. Nurma ingat Restu memegang-megang baju itu saat dikenakan Nurma.

“Bingung? Gimana kalo yang ungu itu aja? Motifnya bulet-bulet kecil, pake renda lagi di ujung lengan. Restu pasti keliatan manis pas makenya.”

Nurma diam, lalu tiba-tiba gadis itu berbalik dan menatap ibunya. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu.

“Ada apa, Sayang?”

“Buk, boleh nggak kalo yang buat Restu, baju yang baru aja?”

“Yang barusan datang ini? Yang kamu pilih sendiri karena kamu suka sekali gambar bunganya? Kamu yakin? Nggak nyesel? “

Nurma menimang baju barunya dengan penuh sayang. Membelai gambar bunga di bagian dada dan juga yang tersebar di bagian bawah. Merasakan lembut kainnya, mencium aromanya sebelum mendekapnya di dada.

“Iya, Buk. Aku mau kasih baju baru ini buat Restu. Biar dia senang. Biar sekali-sekali dia dapet baju baru, yang masih ada bungkusnya. Pasti dia gembira sekali nanti.”

“Alhamdulillah, terima kasih Nurma. Terima kasih karena memiliki hati yang amat cantik.”

Sekali lagi Nurma dipeluk ibunya. Didekap amat erat lalu diciumi kedua pipi dan keningnya.

“Ayo kita berangkat ke rumah Restu sekarang. Beli es krim dulu, mau?”

“Mau! Yeey! Makasih, Buk!”(*)

#dz.20102020

Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penilis tetap di Loker Kata

Leave a Reply