Cinta Gila
Oleh : Dhilaziya
Haish, mulut si Vera ini bener-bener, deh! Untung saja aku gegas membekapnya dengan tangan kiriku. Jika tidak, sudah bisa dipastikan kami menjadi tontonan orang di kedai kopi yang kami singgahi.
Padahal apa yang aku katakan bukan sesuatu yang berlebihan. Aku hanya bilang kalo aku sedang jatuh cinta. Apa salahnya? Aku wanita dewasa, dengan orientasi seksual normal. Tentu saja layak jika aku naksir pada pria tampan.
“Kamu waras?”
Vera bertanya sambil menempelkan telapak tangannya di dahiku. Entah teori dari mana sebenarnya yang mengasumsikan derajat kesehatan mental seseorang berbanding lurus dengan suhu tubuh. Tentu saja aku waras. Sangat malah.
“Iyalah. Yang salah dia, kok!”
“Salah gimana?”
“Banyak. Salah dia adalah terlalu ganteng. Yang bilang dia enggak ganteng, aku yakin dia yang ga waras. Bibirnya seksi, tebel enggak, tipis banget juga enggak, pas. Aih! Pas senyum, beeuuhh, auto lemes aku. Matanya kalo ngeliatin, bisa bikin aku meleleh. Nah, pas aku udah mbleber habis meleleh itu, ya cuma senyum dia yang bisa bikin aku utuh lagi. Kacau kan? Terus alisnya! Itu fatal! Mana boleh alisnya terlihat begitu sempurna. Tebal, hitam, bikin matanya keliatan syahdu mendayu-dayu. Seolah aku mendengar kidung-kidung pemujaan para biksu setiap kali melihat matanya meredup di bawah naungan alisnya.”
Aku menjawab pertanyaan Vera dengan menggebu, lalu berakhir mendekap diriku sendiri sambil memejam membayangkan pesona pria yang menjadi topik perbincangan kami.
“Kamu beneran gila kayaknya, Dhil.”
“Heh! Itu belum seberapa. Kesalahan berikut adalah kenapa dia perhatian sekali? Nawarin anter pulang, ngajak berangkat bareng, beberapa kali nraktir makan siang. Suka bantuin kerjaan aku. Mana ga pernah marah-marah. Kalo ngasih tau sabar banget, suaranya lembut, empuk kek kue muffin. Mana parfumnya enak. Haduuuhh! Betaaah! “
“Dia gitu karena dia supervisormu, rumah dia searah ama kosan kamu, Dhiiiill.”
“Halah! Kalo emang dasarnya dia ga ada rasa, ga mungkin kan perhatian gitu!”
Vera mendesah. Sepertinya dia lelah.
“Tapi dia udah punya istri! Kamu mau jadi pelakor?”
“Demi Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan seluruh alam semesta! Waah, lancang sekali anda, Nisanak? Mana ada aku ngomong mo ngerebut suami orang? Aku cuma bilang, aku naksir dia. Aku jatuh cinta. Salah?”
Aku memelototi kawan yang paling akrab denganku selama ini. Entah kesambet demit dari mana sampai kali ini dia berprasangka seburuk itu padaku. Padahal dia tahu, selama ini aku adalah perempuan bermartabat yang menjunjung tinggi nama baik dan harga diri.
“Ya kalo udah tau dia ada bini, kamu hentikanlah perasaan itu.”
“Vera sayaaaangg! Dengerin, ya. Perasaan itu datang tanpa permisi, pas diusir pergi ngeyel sekali. Gituh. Kamu pikir aku ga tau, dia udah sepuluh tahun nikah, punya anak dua. Rumah mertuanya cuma beda kompleks. Istrinya jualan onlen. Anaknya yang gede kelas dua. Yang kecil, cowok, playgroup di sekolah yang sama ama embaknya. Aku tauuuuu, Ver. Jatuh cinta itu kudu total. All in. Jadi ya aku dah mencari info soal dia. Lengkap!”
“Kamu kudu diruqyah!”
“Jiah! Kamu pikir aku kesurupan? Aku cuma jatuh cinta. Aku bahagia mencintai dia. Melihatnya tertawa, bahagia, sukses, aku senang. Bahkan aku suka kalo liat dia lagi merhatiin istrinya. Masangin seatbelt misalnya. Itu maaanis sekali.”
“Terus, apa yang kamu harapkan dari keabsurdanmu ini, Dhil?”
“Ga ada. Aku cuma ingin bebas mencintai dia. Syukur-syukur kalo dia juga bisa sayang sama aku. Gitu aja. Sesekali pergi bareng, ngobrolin apa aja, dia kan wawasannya luas, diperhatiin, gitu udah bikin aku senang. Aku juga ga mau dia ampe gimana-gimana ama istrinya. Gini aja, cukup.”
Vera menatapku lekat selama beberapa saat. Kelihatan sekali dia bingung mendengar penjelasanku. Meski begitu sebagai sahabat terbaik, aku yakin dia akan tetap bersamaku segila apa pun kelakuanku.
“Aku harap, kamu bisa mengendalikan diri, Dhil. Terlalu banyak yang kamu pertaruhkan kalo kamu menurutu hal ini.”
“Aku masih sehat, Ver. Aku juga ga mau rencana pernikahanku berantakan. Yudha lelaki baik, aku mencintainya. Dia akan jadi suami dan ayah yang luar biasa, aku yakin. Aku bahagia selama tiga tahun sebagai kekasihnya. Saat ini, aku hanya sedang membiarkan hatiku mengembara. Yudha tetaplah tempatku pulang. Tidak bisa tidak.”
“Ayo pulang, Dhil. Sebelum karyawan cafe terpaksa membersihkan serpihan kepalaku yang meledak. Pulang! Sekarang!”
Kadang-kadang Vera berlebihan sekali. Untung sayang.(*)
#dz. 19102020
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Uzwah Anna
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulia tetap di Loker Kata