Semut dari Neraka

Semut dari Neraka

Semut dari Neraka

Oleh : Nur Khotimah

 

Mas Ibram bilang, aku gila, makanya dia memperlakukanku seperti ini. Demi Tuhan, saat itu aku masih waras! Semua yang kuceritakan, semua yang kualami, nyata. Tak ada sedikit pun bualan di sana. Berbeda dengan saat ini. Sekarang, aku sendiri tak yakin apa aku masih waras.

Sungguh, aku tak pernah menyangka kehidupan akan berubah hanya karena seekor semut. Serangga penyuka manis itu sudah menjungkirbalikkan hidupku.

“Itu Agita … Agnia yang telinganya sedikit terlipat, Mas,” seruku seraya tertawa saat Mas Ibram salah memanggil anaknya.

“Hoo … iyakah?”

Aku hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Saat itu aku sedang melipat baju si Kembar dan membiarkan Mas Ibram bermain-main dengan anak kembar kami yang berusia enam bulan.

Meski tak bergelimang harta, aku merasa bahagia. Suami yang baik dan penurut membuat hidupku nyaman. Kebahagiaan kian bertambah saat aku melahirkan bayi kembar perempuan yang begitu manis, Agita dan Agnia di usia pernikahan yang keempat.

Beberapa minggu yang lalu, saat hendak mencuci botol susu, aku melihat rombongan semut keluar dari lubang wastafel. Segera kunyalakan keran air untuk menghalau mereka. Namun, mereka tak berkurang sedikit pun, justru semakin banyak. Tak hilang akal, aku mengambil pembasmi serangga, kemudian menyemprotnya. Akan tetapi, insektisida itu tak memberi efek sama sekali. Mereka terus saja muncul. Semakin banyak, semakin banyak, semakin banyak. Wastafel kini sudah dipenuhi ribuan semut. Ah, tidak, jumlah mereka sudah bukan lagi ribuan, bisa jadi jutaan. Mereka berdompol-dompol, bergerombol, memenuhi bak wastafel.

Aku bergidik ngeri, kemudian berlari ke ruang tamu. Mengambil gagang telepon dan segera menekan beberapa angka. Tersambung.

“Mas, banyak banget semut di rumah kita,” ujarku setelah terdengar salam dari ujung sana.

“Udah nyoba disemprot?”

“Sudah, Mas. Nggak ngefek ….”

“Coba pakai minyak tanah.”

“Nggak ada,” ucapku seraya mengibaskan tangan mengusir sesuatu yang merayap di pipi.

“Ya sudah, biarkan saja.”

“Tapi, Mas, mereka begitu bany—“ Ucapanku terhenti ketika merasakan sesuatu merayap di daun telinga. Aku menepisnya kasar, terlihat seekor semut jatuh ke lantai. Segera kujauhkan gagang telepon dari wajah. Aku terkejut mana kala melihat semut berbondong-bondong keluar dari lubang suara. Aku spontan melempar gagang telepon. Samar terdengar teriakan Mas Ibram di ujung sana menanyakan apa yang terjadi.

Dengan jantung berdebar-debar, aku berlari ke dapur, hendak mengambil air minum guna menenangkan diri. Saat melewati wastafel, aku merasa aneh. Sudah tak ada satu pun semut di sana, bahkan jejaknya pun tak ada. Aku mengembuskan napas, lega.

Setelah menenggak segelas air, aku kembali ke ruang tamu. Gagang telepon masih menjuntai, suara Mas Ibram masih samar terdengar, tetapi sudah tak ada lagi serangga itu di sana. Entah ke mana mereka, lenyap bagaikan ditelan bumi.

Sejak hari itu, kehidupanku seakan diteror serangga penyuka gula itu. Mereka terus saja menghantui. Sering kali, saat tertidur, aku merasakan seperti ada ribuan semut menggerayangi. Merayap dari kaki, kemudian naik ke atas, menjelajahi setiap titik tubuh. Menimbulkan sensasi geli sekaligus gatal. Bahkan aku merasa sebagian dari mereka seperti masuk ke hidung, telinga, dubur, juga bagian intimku. Rasanya begitu menakutkan. Antara sadar dan tidak, aku juga beberapa kali melihat sesuatu yang besar merayap di tembok. Badannya seperti semut, tetapi memiliki tangan, kaki, dan kepala dengan rambut gimbal serupa manusia. Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah makhluk itu. Anehnya, aku tak menjumpai mereka saat sudah benar-benar terbangun.

Keesokan harinya, aku ceritakan semua kepada Mas Ibram, tetapi lelaki itu hanya tertawa.

“Kamu, tuh, berlebihan. Makanya sampe kebawa mimpi.”

“Serius, Mas. Aku beneran ngerasain mereka merayap di kaki aku. Banyak bangett!! Tapi saat melek, mereka seperti menghilang.”

“Udah lah … itu cuma ketakutan kamu aja.”

“Tapi … mereka memang menakutkan, Mas.”

Mas Ibram tergelak, kemudian berkata, “Kukira di dunia ini hanya Ghena yang takut semut. Ternyata kamu juga.”

Aku terdiam mendengar nama itu disebut. Ada gelenyar aneh di dalam dada.

“Maaf,” ucap Mas Ibram. Sepertinya ia memahami perasaanku.

“Rumah ini banyak semutnya, Mas. Pindah, yuk! Aku takut ….”

“Jangan terlalu berlebihan …,” ujarnya seraya menyesap teh manis yang kusediakan. “Udah, Mas berangkat, ya. Kamu hati-hati di rumah,” pesannya saat meletakkan kembali gelasnya di meja.

Aku mengembuskan napas, kecewa dengan tanggapan Mas Ibram. Tetapi, mau bagaimana lagi? Akhirnya, aku hanya mengangguk. Kemudian bangkit mengikutinya keluar, memperhatikan cara ia mengikat tali sepatu, kemudian mencium punggung tangannya sebelum ia meninggalkan rumah.

Selepas kepergian Mas Ibram, aku menengok kedua buah hati yang masih tertidur pulas. Wajah mereka begitu mirip, saking miripnya sampai-sampai ayahnya pun masih sering kesulitan membedakan mana Agnia mana Agita.

Lamunanku terputus oleh tangisan Agita. Aku menggendongnya, kemudian menyadari ada bentol di pipi dan kaki bayi itu. Semut, ini pasti digigit semut. Setelah mengoleskan minyak telon aku memindahkan si Kembar ke kamar lain. Tempat tidur mereka harus disterilkan dari serangga itu.

Benar saja, kudapati ada tiga ekor semut di ranjang bayi. Tak mau repot, aku menarik seprai kemudian menggulungnya. Saat itulah, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang merayap di kaki. Semut, kenapa tiba-tiba banyak semut?

Aku berusaha menyingkirkan semut-semut itu dengan kaki satunya. Namun, aku kewalahan karena jumlah mereka semakin banyak. Beberapa menggigitku, meninggalkan rasa nyeri dan gatal yang teramat sangat beberapa lagi terus merayap, merambat ke kain rok yang kukenakan. Entah dari mana datangnya, yang jelas, lantai keramik kini tak lagi terlihat putih, berubah menjadi coklat kemerahan. Rumahku kini seperti lautan semut.

Aku bergidik. Ketakutan menyergap saat komplotan semut itu kompak menuju ke arahku. Berusaha menghindar, tetapi mereka begitu banyak. Rombongan itu seakan mengejarku seraya menatap penuh dendam. Mata mereka menyala merah, kaki dan tangannya seumpama cakar yang siap mencengkeramku. Hewan kecil itu kini begitu mengerikan.

Aku terus berjalan mundur dan semakin terdesak. Hingga akhirnya aku jatuh terduduk, rupanya ada sofa di belakangku. Aku merasa sedikit beruntung ketika melihat telepon genggam tergeletak di sana. Aku berjingkat menaiki sofa. Tak peduli semut-semut yang terus mengejar, aku mencoba menghubungi Mas Ibram.

“Pulang, Mas! Semut-semut itu menyerangku!” teriakku.

Tak ada jawaban dari sana. Suamiku justru memutuskan sambungan. Pantang menyerah, aku mencoba menghubunginya lagi. Semut-semut itu semakin dekat, mempersempit ruang gerak.

“Mas lagi banyak kerjaan, jangan telepon-telepon terus!”

“Tapi, Mas … semut-semut ini menyerangku. Banyak banget, Mas …,” jawabku dengan suara parau. Air mata sudah tak terbendung lagi. Tangan kiriku terus berusaha menghalau semut-semut sialan itu.

“Sudah, hentikan kegilaanmu! Mas banyak kerjaan,” ketusnya, kemudian mematikan sambungan.

Aku melolong, menangis sejadi-jadinya. Semut-semut itu selalu menerorku, tetapi kenapa Mas Ibram tak pernah percaya. Selalu saja menganggapku berhalusinasi.

Aku terus saja menangis ketakutan. Hingga pada satu waktu aku menyadari semut-semut itu sudah menghilang, hanya menyisakan gatal dan nyeri di kaki. Ke mana mereka?

Si kembar, tiba-tiba aku teringat mereka. Semoga mereka baik-baik saja.

Aku menyeka air mata yang tersisa dengan punggung tangan, kemudian berlari ke kamar. Begitu sampai pintu, aku syok melihat seekor semut raksasa berdiri di samping tubuh Agita. Agnia? Di mana Agnia? Pikiran buruk terlintas, jangan-jangan hewan itu sudah memakannya. Otak bekerja, aku harus menyingkirkan makhluk setan sialan itu. Aku butuh senjata untuk melawannya. Pisau buah di meja makan mungkin bisa jadi solusi.

Aku mengambil pisau tersebut kemudian mengendap-endap mendekat ke ranjang. Semut raksasa itu sedang mengendus-endus wajah Agita. Dadaku naik turun. Sekuat tenaga, aku menghunjamkan pisau tersebut ke punggung hewan itu berkali-kali.

“Mati kau! Mati! Mati! Mati! Mati!” geramku dengan dada bergemuruh menahan amarah. “Tidak ada lagi makhluk menyeramkan. Mati!”

Semut raksasa itu ambruk bersimbah darah. Aku puas melihatnya tak berdaya. Kemudian terdengar tangis melengking, setelah itu, sepi. Aku menyeringai puas. Dan tiba-tiba aku menjadi seperti orang gila, tergagap saat menyadari tubuh Agnia terkulai bersimbah darah. Aku menangis, meraung memeluk jasadnya.

Mungkin benar kata Mas Ibram. Aku gila. Hanya aku ibu yang membunuh anaknya sendiri. Pantaslah dia kini mengirimku ke sini. Menempatkanku dalam kamar sempit di sebuah rumah sakit jiwa. Terpisah dari orang-orang terkasih.

Hari semakin larut. Rumah sakit ini semakin sepi. Aku menangis mengenang semuanya. Kemudian terhenti saat tiba-tiba kamar ini terasa begitu mencekam. Hawa dingin menusuk tulang. Aku duduk memeluk lutut, mencoba menghalau dinginnya udara yang menyentuh kulit, juga rasa takut yang tiba-tiba menyerang. Hingga mataku menangkap seekor semut keluar dari nat lantai yang retak. Satu, dua, tiga, lima, sepuluh, dua belas, banyak! Kenapa tiba-tiba jadi banyak semut di sini?

Aku histeris. Bayangan Agnia meregang nyawa berkelebat. Aku merapatkan badan ke dinding, semut-semut itu semakin banyak. Aku menjerit sekuat tenaga, berharap suster ‘kan datang kemudian menolongku. Namun, percuma. Tak satu pun mendengar teriakanku.

Aku memejamkan mata saat semut-semut itu makin dekat. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. Suara yang dulu sangat kukenal.

“Takut semut?”

“Ghena?” tanyaku seraya membuka mata. Tampak di hadapan, semut raksasa yang pernah kulihat malam itu. Badannya seperti semut, tetapi memiliki tangan, kaki, dan kepala serupa manusia. Wajahnya rusak, penuh luka borok yang dikerubungi semut. Komplotan semut itu seakan berebut memakan wajah yang membusuk itu dengan serakah. Dia juga mempunyai taring yang tajam, terlihat saat ia menyeringai. Aku gemetar. Ghena lebih menyeramkan dari iblis yang kulihat di film-film.

“Iya, Ghena si gadis myrmecophobia.”

“Kamu sudah mati, jangan ganggu aku!”

“Ha-ha-ha …. sekarang kamu  tahu seperti apa rasanya takut?” tanyanya dengan seringai menyeramkan. Matanya yang semerah darah melotot, seperti hendak keluar dari tempatnya. “Bukannya dulu kamu yang bilang, tidak perlu takut sama semut? Ke mana jiwa sok beranimu?”

“Pergi! Kamu sudah mati!” Aku semakin merapatkan badan ke tembok.

“Belum, aku belum mati saat kau melemparkan tubuhku ke dalam jurang yang penuh dengan semut. Aku belum mati sebelum semut-semut pemakan daging itu melahap seluruh tubuhku,” ucapnya seraya mendekat. Kukunya yang runcing, hitam, dan tajam menyusuri hidung, pipi, dan daguku. Mulut dan badannya menguarkan aroma bangkai yang begitu memuakkan, hingga isi perutku seakan-akan meronta ingin keluar saat membauinya.

“Apa kabar temanku yang cantik? Yang rela membunuh sahabatnya dua hari sebelum pernikahannya hanya demi seorang Ibram?”

Aku semakin gemetar. Kupejamkan mata saat wajah penuh borok itu hanya berjarak sekitar tiga senti di depan mata. “Terima kasih sudah melempar jasadku di tempat yang tepat. Tempat di mana aku bisa menemukan ratu iblis yang siap membantu menuntaskan dendamku,” ucapnya. Perutku semakin mual mencium bau bangkai dari mulutnya.

Aku membuka mata dan mengembuskan napas lega saat ia menarik mundur wajahnya.

“Enam tahun, Risma! Enam tahun aku menunggu kesempatan ini.”

Aku menangis. Teringat kejadian enam tahun lalu, saat aku mengantarnya ke salon untuk perawatan. Aku tidak benar-benar mengantarnya ke salon, melainkan membawanya ke sebuah bangunan tua bekas jajahan Belanda di tepi hutan. Ghena yang polos percaya saja saat aku bilang ingin ber- swapoto. Di sanalah aku menjerat lehernya dengan kawat kecil yang sudah kusiapkan dari rumah. Mayatnya kuseret dengan motor ke tengah hutan, kemudian melemparkannya ke jurang. Dua tahun kemudian, Mas Ibram benar-benar menjadi milikku.

“Enam tahun lebih aku menunggumu merasakan ketakutan sepertiku, Risma!” geramnya. Setelah itu ia memunggungiku, dan berkata, “Teman, silakan menikmati hadiah kalian!” perintahnya dengan kedua tangan terangkat tinggi-tinggi.

Ajaib, pasukan semut merah yang tadi berbaris di belakangnya tiba-tiba berubah. Tubuh mereka kini begitu besar menyerupai tikus dengan mata yang merah menyala. Semut-semut itu begitu buas, menerkamku membabi buta. Aku menjerit, sudah tak bisa menghindar, di belakang hanya ada tembok dingin yang seakan berdiri pongah menertawakan nasibku.

Semut-semut itu mempunyai taring yang kuat, mampu merobek kulit dan dagingku. Mendatangkan sensasi sakit, perih, linu, dan nyeri yang luar biasa. Aku terus menjerit dan berusaha melawan, tetapi mereka begitu banyak dan kuat. Aku memejamkan mata saat melihat bagian pahaku terkoyak menampilkan tulang berwarna keputihan. Ujung jari-jemariku sudah habis di mangsa semut-semut itu. Sakit, sangat sakit. Darah segar keluar dari setiap luka yang menganga. Sementara di ujung sana, Ghena tertawa terbahak-bahak melihatku menderita.

Tuhan, cabut nyawaku sekarang juga!

TAMAT

 

Cikarang, 25 Februari 2020

 

Bionarasi

Nur Khotimah, ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Editor : Freky Mudjiono

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply