Kiai

Kiai

Kiai

Oleh: Medina Alexandria

 

“Sabar, Di. Perbanyak zikir dan doa.”

Kiai sepuh tersenyum. Sekilas aku menatap beliau, lalu kembali menunduk dan berpikir, haruskah aku teruskan pembicaraan ini?

“Iya, Kiai Sepuh. Tapi di zaman ini, yang lurus tak akan pernah diurus, yang punya uang akan dapat peluang. Semua harus pakai pelicin atau koneksi. Tanpa itu semua, Laila tak akan pernah diangkat. Buktinya, beberapa kali ikut ujian dia tidak pernah lolos.”

Biasanya, aku tak pernah mendebat. Selain karena pimpinan pondok dan bupati terpilih, beliau sudah kuanggap orang tua sendiri. Apa pun yang Kiai Sepuh katakan, ikhlas kuterima sebagai perintah.  Namun, kali ini demi Laila, aku berkata lebih banyak dari biasanya.

Laila anakku, sudah enam tahun mengabdi sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar negeri. Sebagai orang tua, aku ingin dia menjadi pegawai negeri agar terjamin kehidupannya sampai tua nanti. Namun, tampaknya rezeki belum juga berpihak padanya.

Terpilihnya Kiai dalam pilkada melambungkan asaku untuk bisa melihat Laila sukses dalam profesinya. Dalam angan, aku membayangkan Kiai–dengan kekuasaan beliau–akan membantu mewujudkan mimpi kami.

Terdengar Kyai menghela napas panjang. Aku memaku pandangan pada ubin di bawah kaki beliau. Waswas, menunggu jawaban .

“Laila itu cucuku, sama seperti semua anak muda di kabupaten kita ini. Kalau aku membantu satu dari mereka, berarti aku zalim terhadap yang lain.”

Aku menunduk semakin dalam. Kealiman Kiai Sepuh tak pernah kuragukan. Dan mungkin, karena hatinya yang bersih itulah masyarakat memilih beliau untuk memimpin sekaligus mengayomi mereka lima tahun ke depan.

“Yakinlah pada Gusti Allah, Di. Kalau Laila memang mampu, dia akan mendapat posisi yang lebih layak.”

“Laila pandai, Kyai. Atasannya sendiri yang memuji-muji dia. Tapi dia tidak pernah lulus tes karena dia anak orang miskin!” racauku tak terbendung. Penglihatanku mulai mengabur oleh genangan air mata.

“Astaghfirullah! Istighfar, Di …!” Suara Kiai Sepuh meninggi.

Bentakan itu terdengar laksana petir, lalu menyambar tepat di jantung dan seketika mengembalikan kesadaranku.

“Astaghfirullahalazim, ampuni saya, Kiai ….” Sejenak aku terenyak, kemudian beringsut cepat, bersimpuh memeluk kaki beliau erat. Air mata menetes tanpa terasa, seumur hidup menjadi abdi pondok, baru kali ini Kiai Sepuh berkata keras kepadaku.

“Keluarlah, dan panggilkan Fauzan!” hela Kiai.

Kali ini aku memilih patuh–seperti biasanya. Dengan terus menunduk aku mengucap salam, lalu beringsut mundur.

***

Walaupun rumah yang kutinggali–Kiai membangunnya saat aku menikah–berada dalam lingkungan pondok pesantren. Seharusnya tiap hari aku bisa melihat Kiai, tetapi beberapa hari terakhir sosok beliau tak pernah tampak. Semenjak beliau terpilih menjadi pemimpin daerah tiga bulan lalu, Kiai Sepuh memang terlihat lebih sibuk di luar.

Kadang aku merasa kasihan setiap melihat gurat lelah di wajah beliau. Mengurus carut marut kabupaten ini pasti sangat menyita pikirannya.

Aku sangat ingin bertemu Kiai. Ampunan harus kudapatkan karena sebelum mendengar kata maaf terucap dari bibir beliau, hidupku tak akan pernah tenang.

“Mas, Mas Hamdi, buatkan kopi, dong!” suara Pak Fauzan melemparku kembali ke alam sadar.

Aku mengangguk kemudian bergegas menuju dapur, membuat secangkir kopi hitam pesanan sang ajudan.

“Pak Fauzan … apakah Kiai Sepuh marah pada saya?” tanyaku lemah, sesaat setelah meletakkan kopi di meja.

“Marah tentang apa, Mas?” Pak Fauzan mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Kedua alisnya mengernyit saat menatapku.

“Terakhir saya menghadap beliau itu, Pak. Saya membuat Kiai Sepuh murka.”

Pak Fauzan meraih cangkir kopi, menyeruput isinya, lalu dengan perlahan ia meletakkan kembali cangkir beserta lepek itu di atas meja. Ia menarik napas panjang kemudian mendeham.

“Sampean jauh lebih mengenal beliau daripada saya, bukan? Dan sampean meminta beliau melakukan keburukan, Mas. Sampean itu gimana, to?!”

Aku tak menjawab. Dan memang tak ada yang perlu dijawab.

Pak Fauzan menatap tajam tepat ke dalam mataku. Aku hanya mampu menunduk malu. Sangat malu. Aku merasa sangat bersalah pada Kiai. Aku sangat menyesal. Dalam hati, kupanjatkan doa, semoga Allah senantiasa menjaga Kiai, melimpahkan kesehatan dan kebaikan pada beliau.

 

Tentang Penulis,

Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.

Editor: Respati

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

Leave a Reply